Share

Bab 17

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-11-07 08:03:18

Setelah mengeluarkan kemampuan mengebutku yang sangat payah, aku berhasil sampai di Kuta tepat pada pukul lima kurang sepuluh menit. Aku memarkirkan motor yang yang kugunakan sedikit asal, pasti ada tukang parkir yang akan mengaturnya nanti.

Karena efek buru-buru itu, aku bahkan masih mengenakan kebaya dan juga kain kamen, dan tak lupa sepatu fantofel yang ada di genggaman tanganku, yang kulepas agar bisa merasakan pasir pantai ini. Aku sangat salah kostum datang ke pantai ini, aku bahkan bisa merasakan mata dari para turis yang memandangku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus berjalan menuju spot yang bisa melihat matahari terbenam dengan jelas.

Setelah menemukannya, aku hanya terus berdiri, sangat tidak memungkinkan untukku duduk di pasir dengan kain ini. Walaupun kaki ini sedikit keram, tapi tak masalah, karena aku sangat mencintai pantai, matahari terbit dan juga matahari terbenam.

Hanya beberapa menit, dan perlahan matahari itu mulai turun dengan cahaya oranye yang sangat indah itu. Walaupun aku sudah sering melihatnya, tapi hal ini sama sekali tak membosankan. Setelah seharian memandangi hutan serta air terjun di Kayon, memandangi matahari terbenam di pantai juga tak buruk. Ini terapiku.

Aku bisa saja merekam atau memotret fenomena alami ini, lalu aku tinggal memandangi dari ponselku, dan aku tak perlu menempuh perjalanan jauh ke pantai ini. Hanya saja, rasanya tak akan sama ketika aku bisa memandangi secara langsung seperti ini.

Selang beberapa menit aku memandangi keindahan itu, perlahan matahari mulai hilang dan hanya menyisakan jejak oranye. Mbak Gita bahkan sering menasehatiku untuk tak selalu melakukan hal ini. Menempuh perjalanan jauh hanya untuk melihat pemandangan yang hanya beberapa menit ini.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai, beberapa orang mulai meninggalkan pantai. Seketika pandanganku terpusat pada seorang pria yang juga berdiri jauh di sampingku. Dia juga sepertinya baru pulang menyelesaikan pekerjaannya. Jasnya ia genggam di tangan, kemeja putih itu juga sudah tak rapi lagi. Jadi bukan hanya aku saja yang meninggalkan pekerjaan buru-buru hanya untuk mengejar matahari terbenam ini.

Aku sudah bersiap meninggalkan pantai ketika mataku tak sengaja menatap pria itu lagi, dan pria itu juga sedang menatapku. Wajah pria ini cukup familiar untukku, tapi aku kesulitan mengingatnya. Kami bahkan cukup lama bertatapan. Apa pria ini juga mengenalku?

Perlahan ia berjalan ke arahku, dan aku sama sekali tak bergerak dari posisiku. Aku sedikit penasaran dengan pria ini, jadi sepertinya hatiku memerintahku untuk tetap berdiri di sini menunggu pria itu.

“Enjoy the sunset?” tanya pria itu setelah sampai di hadapanku.

“Apa kita saling mengenal?” Aku mengerutkan dahiku mencoba mengingat siapa sebenarnya pria ini. Aku tak memiliki banyak teman di Bali, apalagi yang berpenampilan seperti pria ini.

“Sepertinya kamu tak mampu mengenali wajahku dengan baik, ya? Bagaimana dengan ini?” Pria itu membalik tubuhnya, memperlihatkan punggung lebarnya, “Aku bahkan belum memotong rambutku,” ucapnya.

Aku tak mengerti apa yang di maksud pria ini, dan seketika pikiranku berpusat pada satu pria dengan punggung lebar yang sama seperti ini. Hanya ada satu orang, dan itu pria yang menjadi tamu tempo hari, yang baru saja di tinggalkan oleh tunangannya.

“Ah, saya baru ingat. Maaf, ingatan saya tentang wajah orang lain sangat buruk,” ujarku menyesal.

Pria itu mulai membalikkan badannya lagi, dan memasang senyum di bibirnya yang tak ia tunjukkan saat itu. “Gak masalah, kamu juga waktu itu hanya mengingat punggungku.”

Aku hanya memberikan senyuman. Ini pertemuan tak terduga yang sangat canggung. Aku masih sama seperti minggu lalu, tak mampu memberikan reaksi lebih, kami juga tak sedekat itu untuk saling menyapa ketika bertemu seperti ini.

“Saya Erlangga.”

Pria itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Apa ini sangat di haruskan? Maksudku berkenalan. Ini sedikit aneh untuk ku pikirkan sendiri. Dengan ragu aku menjabat tangan yang terulur itu, hanya untuk sopan santun saja. Siapa tahu dengan begini ia akan kembali menginap di Kayon.

“Vania.”

Pria itu tersenyum lagi, dan itu membuatnya semakin tampan. Jika aku bersama Emi sekarang, mungkin kami akan berteriak berbarengan dan sibuk memandangi ketampanannya, dari jauh tentu saja.

“Apa kamu keberatan kalau kita makan malam dulu? Saya traktir, anggap saja sebagai rasa terima kasih karena sudah mendengarkan cerita saya waktu itu.”

Aku melirik arlojiku, “ Tapi mungkin saya tak bisa lama, karena saya harus kembali ke Ubud.”

Pria itu hanya tersenyum lalu memimpin jalan kami menuju rumah makan terdekat. Aku menikmati makan malam itu, tapi aku tahu kalau makan malam itu adalah awal masalah baru yang akan menimpaku.

**

Aku keluar dari ruang meeting dengan lesu. Ini bukan hanya rapat bulanan seperti biasanya. Aku tak menyangka mereka akan secepat ini mengeluarkan surat resmi pengangkatanku sebagai manajer.

“Saya sangat bahagia karena pada akhirnya kami sampai pada keputusan bahwa kamu adalah kandidat paling cocok dengan jabatan manajer ini.”

Ucapan Mister Benjamin tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, dengan campuran bahasa Indonesia dan logat Perancisnya, yang mengatakan hal itu. Untung dia tampan, kalau tidak mungkin aku akan mengamuk di dalam ruangan tadi.

Ini hanya terlalu cepat untukku, dan aku sangat tahu pasti banyak yang menentangnya, meski di dalam ruangan tadi mereka mengucapkan selamat dan tersenyum lebar. Aku sangat tahu kalau semua itu sangat palsu, ini bukan seperti aku yang baru satu hari bekerja pada bidang ini. Terkutuklah Mister Benjamin dengan ketampanannya itu.

Aku berjalan lunglai menuju Kepitu restoran, restoran utama di resort ini. Aku melihat mereka sedang berkumpul di dekat bar, entah apa yang mereka bicarakan. Tujuanku adalah ruang istirahat. Rapat tadi berjalan cukup lama, dan aku harus menahan kebosananku selama lebih dari sembilan puluh menit.

Baru aku ingin membuka pintu ruang istirahat, sebenarnya ini bukan ruang istirahat, hanya tempat penyimpanan cutleries dan juga beberapa linen, tapi kami sering menjadikan ruang ini sebagai tempat istirahat kami ketika tamu sedang memenuhi restoran.

Viki menahan tanganku yang akan membuka pintu, “Bu manajer, ini terlalu dini untuk istirahat,” ucap Viki. Ia menggelengkan kepalanya dengan dramatis sembari mengerakkan telunjuknya kekanan dan kiri di depan wajahku.

Aku menatapnya memelas, percayalah saat ini yang kuinginkan hanyalah duduk sebentar setelah rapat intens tadi.

“Kita harus mengadakan perayaan kecil untuk ini, kan? Bu manajer?”

Itu suara ‘si uler’ yang aku katakan kemarin, dengan nada mengejeknya yang sangat kentara. Dialah kandidat yang sangat menginginkan jabatanku sejak dulu, bahkan sangat terobsesi. Aku tak tahu kenapa Mister Benjamin tidak memberikan jabatan ini saja padanya. Dia terlihat sangat cocok.

Wanita itu sangat menyebalkan, sejak awal aku sudah tak menyukainya, dan aku sudah membencinya. Demi Lucas dan semua tato di tubuhnya, aku setidaknya harus menunjukkan sikap yang baik sebagai manajer mereka, suka atau tidak.

Aku menunjukkan senyum tipisku, lalu menghampiri kerumunan di meja bar itu, “Jadi kita harus melakukan apa?”

“Sebelum para tamu datang, kita harus merayakannya sedikit. Oneshot?” Bara menyerahkan satu sloki whiskey padaku. Dia adalah Head Bar yang sangat mumpuni dalam dunia minuman keras.

Aku menerimanya, satu tegukan whiskey tak mampu membuatku mabuk. Aku tahu itu adalah minuman haram yang sangat di larang dalam agamaku, tapi ini bukan pertama kali aku mencoba minuman ini. Tingkat toleransiku terhadap alkohol juga sangat tinggi, tapi jika Lucas mengetahui aku meminum cairan itu, akan ku sarankan kalian untuk menjauhinya. Ia sangat mengerikan ketika mengamuk.

Aku mengambil gelas kecil itu dan meneguknya dalam hitungan detik, rasanya pahit. Aku tak pernah menyukai jenis alkohol apapun itu bentuknya. Wine mungkin? Rasanya pas untukku. Oke, sebenarnya minum alkohol ketika masih dalam lingkungan pekerjaan itu sangat di larang, karena aku sudah menjadi manajer maka akan kuberikan pengecualian. Hanya hari ini saja.

“Gimana rasanya jadi manajer, aku bertaruh pasti kamu merasa berkuasa sekarang, kan?”

‘Si uler’ lagi. Dan belum saatnya kalian mengetahui namanya, aku masih belum berminat untuk memberitahukan namanya. Ceritanya akan sangat panjang, dan hanya menguras otakku saja untuk memikirkannya.

“Sepertinya begitu, jadi, kembali ke pekerjaan kalian masing-masing. Para tamu sudah menunggu.”

Aku segera membubarkan kerumunan yang sebenarnya tak ramai itu. Dengan dengusan sinis ‘si uler’ itu tentu saja yang sangat merendahkanku. Aku tak peduli, toh aku yang jadi manajer. Dan jika ia menginginkan jabatan ini, ia bisa saja meminta pada Mister Benjamin secara langsung.

“Jadi, apa sekarang aku bisa mulai mengencani manajer baru yang cantik ini?” tanya Bara. Ia tersenyum manis dan sedikit mengedipkan matanya padaku.

Bara ini hampir mirip dengan Lucas, memiliki tato di sepanjang lengannya dan aku yakin di bagian tubuhnya yang lain juga ada gambaran abstrak itu. Kulitnya sawo matang, perawakannya tinggi berisi tapi tak gemuk. Ia sangat manis ketika tersenyum di wajahnya yang kasar itu. Dan ia sangat suka menggodaku.

“Next time?” Aku berlalu dengan kerlingan mata yang juga sama menggodanya.

**

Related chapters

  • Pilihan Kedua   Bab18

    Aku melewati meja resepsionis ketika selesai mengantar pesanan tamu, aku hendak bersiap pulang karena jam kerjaku sudah selesai. “Van…” Suara panggilan dari Ismi, salah satu resepsionis yang bertugas sore ini menghentikanku. Aku menghampirinya, “Kenapa?” “Ada yang nyariin kamu, katanya dia temen kamu,” ucap Ismi sembari menunjuk orang yang di maksud, orang itu duduk di sofa yang membelakangi meja resepsionis. “Tamu di sini?” Aku bertanya lagi. “Iya, dia baru aja check-in, katanya sebelum ke villanya dia mau ketemu kamu dulu.” Aku hanya menganggukkan kepala dan berterima kasih pada Ismi. Aku segera menghampiri orang itu. Setahuku, aku tak memiliki teman di Bali kecuali rekan kerjaku. Apa mungkin itu Lucas? Dia kemarin berjanji akan berkunjung lagi ketika cutinya sudah di terima oleh Pak Robert. Atau yang lebih buruknya, itu Ritchie atau Tio. Aku mendekatinya dengan perlahan, untuk memastikan siapa pria ini, “Permisi.” Pria itu mendongakkan wajahnya, dan ini adalah wajah yang ku

    Last Updated : 2022-11-07
  • Pilihan Kedua   Bab 19

    Namanya Clarissa, ingat sesuatu? Ya, namanya sama seperti temanku di Batam, tapi percayalah mereka hanya berbagi nama yang sama, dan mungkin sifat yang sama juga. Dia cantik—ini jujur—dan umurnya itu sudah dua sembilan, lebih muda sedikit dari Mbak Gita, tapi ia sama sekali tak sedewasa Mbak Gita. Masalah dia cantik, aku harus jujur, karena dia memang cantik. Kulitnya kuning langsat, dan dia asli orang Bali. Dari cerita yang kudengar, orang tuanya cukup berada, ia bahkan alumni salah satu kampus bergengsi di Australia, lalu aku sangat penasaran kenapa sifatnya tak mencerminkan pendidikannya. Mungkin, masalahnya memang ada pada wanita itu sendiri. Pertama kali aku melamar di resort ini, aku memang melamar sebagai asisten manajer karena memang bagian itu yang kosong. Aku lolos dalam semua tes yang di lakukan oleh personalia, lalu aku resmi menjadi karyawan di sini. Sejak awal Clarrisa memang tak menyukaiku dan aku tak tahu awal permasalahan kami dari mana. Yang aku tahu, aku melakukan

    Last Updated : 2022-11-07
  • Pilihan Kedua   Bab 20

    “Mbak Vania!”Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara yang meneriakiku, padahal ia tahu ini restoran. Beruntung para tamu baru menyelesaikan makan siangnya, sehingga restoran sepi.Galang terlihat mengatur napasnya yang ngos-ngosan itu. Aku sudah menatapnya dengan garang siap untuk melayangkan omelan. Galang ini termasuk salah satu waiter selain Viki, dan ia hari ini bertugas di room service.“Mbak, maafin aku,” ucap Galang. Napasnya sangat ngos-ngosan, aku bahkan bisa merasakan rasa lelahnya.“Kamu memang harusnya minta maaf. Ini restoran dan kamu berteriak gak pada tempatnya! Lain kali jangan di ulangi,” omelku.“Bu—bukan itu, Mbak.”“Jadi kamu gak akan minta maaf karena teriak-teriak di restoran?” tanyaku.Aku melipat tanganku di dada, menantinya berbicara. Aku tidak bermaksud kejam, tapi menjadi seorang pemimpin harus tegas, kan? Ketika di luar pekerjaan aku tak akan melakukan hal ini. Aku cukup profesional untuk membedakan urusan pekerjaan dan pribadi.“Itu juga aku minta m

    Last Updated : 2022-11-07
  • Pilihan Kedua   Bab 21

    Ubud Palace atau yang biasa dikenal dengan Puri Saren Agung adalah istana yang menjadi tempat tinggal para raja dahulu. Bangunan ini kental akan seni dan budaya Bali. Selama tahun 1930-an Bali menjadi saksi bisu gelombang pengunjung luar negeri yang signifikan. Gelombang wisata pertama di fokuskan di Ubud di bawah kepemimpinan Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat mahir berbahasa Inggris dan Belanda. Ia juga lah yang berinisiatif mengundang komposer artis terkenal Walter Spies untuk tinggal dan bekerja di Ubud. Lalu setelahnya beberapa seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker mulai bergabung untuk menghadirkan seni lukis modern. Mulailah kabar tentang keindahan Ubud yang mempesona menyebar dan menjadi tuan rumah dari wajah-wajah terkenal seperti Noël Coward, Charlie Chaplin, H.G Wells dan antropolog terkenal Margaret Mead. Pada tahun 1936, asosiasi pelukis yang di namai Pita Maha mulai terbentuk, hasil kolaborasi antara Tjokorde Gede Agung, Walter Spies, Rudolf Bonnet

    Last Updated : 2022-11-07
  • Pilihan Kedua   Bab 22

    Apa kalian pernah merasakan ingin membenci seseorang, tapi berakhir dengan meragukan perasaan tersebut? Aku sedang merasakan hal tersebut. Aku sangat ingin membenci Erlangga, tapi sepertinya aku harus menjadi orang munafik ketika bersamanya. Apa kalian tahu isi perbincangan kami di warung makan tadi? Aku tak ingin menceritakan hal ini sebenarnya, tapi aku ingin berbagi dengan orang lain. Jika Lucas ada bersamaku sekarang, maka aku akan dengan semangat menceritakan hal ini. “Aku tertarik padamu,” ucapnya. Tanpa kalimat pembukaan, atau setidaknya ia harus mengawalinya dengan sesuatu yang lebih lembut. “Lalu?” Aku membalasnya dengan tak kalah sarkas. “Kamu tak memiliki reaksi lain?” Aku mengangkat alis, kali ini benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya. Aku bahkan tak tahu harus membalasnya seperti apa. “Aku benar-benar serius,” lanjutnya. Raut wajahnya memang menunjukkan keseriusan, tapi apa aku harus percaya? “Itu alasan kamu minta nomor aku secara paksa ke Galang?” “Kare

    Last Updated : 2022-11-10
  • Pilihan Kedua   Bab 23

    Aku sudah menceritakan tentang Erlangga pada Lucas. Aku tak bisa menahan kekesalanku seorang diri, dan Lucas adalah orang yang paling cocok untuk itu. Karena aku tak punya teman berbagi yang lain sebenarnya. Lucas memintaku untuk sedikit mempercayai Erlangga, karena kita tak bisa menilai seseorang hanya karena ia mengingatkan kita pada masa lalu yang ingin di lupakan. Aku mengiyakan, tapi aku tetap tak bisa begitu mudah mempercayai Erlangga. Apa jaminan dari aku yang mempercayai Erlangga? Jika ada yang akan menjamin hatiku akan baik-baik saja jika mempercayai Erlangga maka aku akan mengambil resiko. “Kamu gak bisa nyamain dia sama Ritchie gitu aja, gimana kalau dia bener-bener serius suka sama kamu,” ucapnya. Masih mencoba untuk meyakinkan hatiku. Percayalah, hatiku sudah sangat sulit mempercayai lelaki dan cinta, serta ucapan mereka yang mengatakan kalau mereka serius atau mereka menyukaiku. Aku tak peduli jika mereka bilang aku berpikir terlalu dangkal, aku memiliki trauma sendir

    Last Updated : 2022-11-10
  • Pilihan Kedua   Bab 24

    Aku selalu bersyukur dengan kehadiran Lucas, di manapun itu. Walaupun obrolan kami tak berjalan baik kemarin, tapi ia menepati janjinya untuk kembali ke Bali lagi. Yang lebih terpenting dari kejadian tadi sore adalah, aku juga berpapasan dengan Erlangga yang akan segera meninggalkan resort. Jika tak mengingat aku sedang berada di lingkungan kerja, maka aku akan memeluk Lucas begitu saja.Aku bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana perubahan raut wajah Erlangga ketika melihat senyumku pada Lucas. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, tapi aku sangat ingin membuatnya cemburu. Itupun jika ia merasakannya, yang kuyakin seratus persen ia tak merasakannya. Mungkin ia hanya kaget bahwa aku bisa sangat manis bersama pria lain, tapi tidak dengannya.Yang paling terpenting dari semua itu, aku sangat yakin besok akan timbul gosip baru yang mengatasnamakan diriku. Yah, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Apa tidak ada wartawan infotainment yang ingin mewawancaraiku? Aku yakin bisa menimbulkan i

    Last Updated : 2022-11-10
  • Pilihan Kedua   Bab 25

    Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama tiga hari untuk menemani Lucas dan Ina di Bali. Ini pertama kalinya selama enam bulan kami bisa berjalan-jalan seperti ini, dan aku memang butuh orang seperti mereka untuk mencerahkan hariku yang suram. “Kamu bahagia di Bali?” Ina bertanya padaku ketika kami mendudukkan diri di pasir pantai Kuta. Sebentar lagi kami akan melihat matahari terbenam, dan Lucas sedang membelikan kami cemilan serta air kelapa. “Aku ngerasa bakal ada kejadian buruk di sini, tapi ya, aku bahagia. Kalau memungkinkan aku akan lari lagi, luar negeri mungkin?” Aku sudah menceritakan tentang Clarissa pada Ina dan juga Lucas. Perjuanganku mencapai posisi manajer walau aku tak menginginkannya, dan juga Erlangga. Sampai saat ini, pikiran tentang Erlangga sangat menggangguku. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ini akan buruk. “Nyebelin, ya? Pasti dia gabungan Tsania sama Bella, atau mereka belum puas mojokin kamu di Batam, jadi mereka bikin kloning gabungan bua

    Last Updated : 2022-11-10

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

  • Pilihan Kedua   Bab 28

    Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k

  • Pilihan Kedua   Bab 27

    Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan

  • Pilihan Kedua   Bab 26

    Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda

DMCA.com Protection Status