Apa kalian pernah merasakan ingin membenci seseorang, tapi berakhir dengan meragukan perasaan tersebut? Aku sedang merasakan hal tersebut. Aku sangat ingin membenci Erlangga, tapi sepertinya aku harus menjadi orang munafik ketika bersamanya. Apa kalian tahu isi perbincangan kami di warung makan tadi? Aku tak ingin menceritakan hal ini sebenarnya, tapi aku ingin berbagi dengan orang lain. Jika Lucas ada bersamaku sekarang, maka aku akan dengan semangat menceritakan hal ini.
“Aku tertarik padamu,” ucapnya. Tanpa kalimat pembukaan, atau setidaknya ia harus mengawalinya dengan sesuatu yang lebih lembut.
“Lalu?” Aku membalasnya dengan tak kalah sarkas.
“Kamu tak memiliki reaksi lain?”
Aku mengangkat alis, kali ini benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya. Aku bahkan tak tahu harus membalasnya seperti apa.
“Aku benar-benar serius,” lanjutnya. Raut wajahnya memang menunjukkan keseriusan, tapi apa aku harus percaya?
“Itu alasan kamu minta nomor aku secara paksa ke Galang?”
“Karena aku tahu jawaban kamu kalau aku minta secara langsung, itu bagian dari usaha.”
“Kalau mau jadikan aku pelampiasan lebih baik kamu cari orang lain.”
Erlangga menatap mataku serius. Well, aku mengabaikannya. Aku tahu jenis pria seperti ini, dan aku tak akan tertipu lagi.
“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” tanyanya heran.
“Sejak kapan? Apa pertemuan di pantai itu di sengaja? Apa aku terlihat mudah untukmu? Dan ini ada hubungannya dengan kamu yang menginap di Kayon?”
Apa aku sudah terlihat menyebalkan? Karena aku bertujuan seperti itu. Aku sedang tak ingin berhubungan dengan siapapun. Aku tak ingin meninggalkan Bali dengan alasan yang sama seperti dulu. Bali terlalu indah untuk kutinggalkan sia-sia seperti itu.
“Apa aku terlihat seperti penguntit untukmu?” tanyanya lagi dengan mata menyipit dan wajah yang kesal.
“Ya terlihat seperti itu, dan kamu menyentuhku dengan seenaknya. Jadi, bagian mana yang harus membuatku percaya padamu?”
“Dan kamu tak menolak sentuhan itu sama sekali.”
Aku diam. Untuk yang itu aku terpaksa mengiyakan.
“Tindakan terlihat lebih meyakinkan di banding perkataan,” lanjutnya lagi.
Sungguh sangat sialan! Apa semua pria tampan sangat pemaksa? Ritchie juga seperti itu pada awalnya, dan aku berakhir seperti ini. Lalu aku harus mempercayai pria ini? Bunuh saja aku agar penderitaan ini berakhir.
Dan sekarang aku akan terjebak dengannya, seharian mungkin. Aku akan mencari alasan agar aku terbebas dari dirinya secepatnya.
Kami masih menelusuri pasar seni Ubud. Ia tak menggandeng tanganku atau memelukku lagi, dan anehnya aku merasa ada yang hilang. Genggaman tangannya sangat hangat, aku tak berbohong, dan ini yang baru saja kusebut dengan munafik.
Perlakuannya sangat sama seperti Ritchie, itu yang sangat kubenci. Terlepas dari semua itu, dia tampan, dan dalam satu hari ini aku sudah menyebutnya berkali-kali. Mungkin kalian sudah muak, dan akan kubuat kalian muak dengan semua yang aku rasakan kali ini.
Ia menghentikan jalannya dan melirikku ke belakang. Aku memang memilih berjalan di belakang, aku ingin menetralkan jantungku yang selalu berdetak, aku hanya tak ingin terlihat bodoh dan ia bisa dengan gampang mengetahui perasaanku. Ia kembali menatapku dengan tatapan yang sama ketika ingin memelukku seperti tadi. Ketika ia melangkah mendekat, aku tak bisa melakukan apapun selain berdiri terrpaku di tempatku.
“Aku sepertinya tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat ini.”
Ia berbisik sangat dekat dengan wajahku, dan kembali melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku. Aku sudah menduga ini, dan jantungku semakin menggila.
“Kalau-kalau kamu ingin melarikan diri lagi,” bisiknya.
Kenapa ia harus melakukan itu? Apa ia tak tahu betapa gilanya aku saat ini menerima semua perlakuannya yang sangat spontan dan memaksa itu.
“Sudah berapa wanita yang kamu pelakukan seperti ini setelah kamu putus dari tunanganmu?” Aku bertanya dengan sarkas.
Sebenarnya aku bisa saja meninggalkan sarkasme itu, tapi percayalah, aku melakukan itu untuk menutupi kegugupan dan jantungku yang terus berdetak dengan kencang. Bahkan aku tak pernah merasakan seperti ini ketika bersama Ritchie dulu. Apa kali ini aku benar-benar jatuh cinta?
“Aku tak ingin menjawab itu, dan lebih baik jika kamu berhenti bicara. Aku bisa melakukan hal lain yang ekstrem.”
Ia mengucapkan hal itu dengan santai, seolah itu hal biasa yang ia lakukan. Ini semakin membuatku percaya kalau ia tetap sama seperti Ritchie dan pria lainnya yang brengsek tentu saja. Tapi, kenapa justru yang kutemukan adalah pria seperti ini?
Kami menyusuri pasar seni itu dengan sunyi. Jika biasanya aku akan sangat bersemangat, maka kali ini aku sangat di penuhi beban. Ia juga hanya melirik dan sesekali tersenyum dengan para penjual yang menjajakan dagangannya.
“Apa ini caramu untuk meyakinkanku, kalau kamu benar-benar serius?” tanyaku.
Aku menatapnya kali ini. Aku ingin sekali saja bertemu dengan pria normal, yang juga menyukaiku dengan cara yang normal. Yang bisa menatapku dengan penuh cinta, bukan dengan tatapan serius seperti ini. Meski ia tersenyum, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak yakin ia benar-benar mencintaiku.
Pertemuan kami sangat aneh. Aku yang mendengar curhatannya, lalu kami bertemu secara tak sengaja, dan kami bertemu kembali lalu ia menyatakan kalau ia tertarik padaku. Ia juga tak mengatakan alasannya tertarik padaku. Apa ia menganggapku seperti pelayan hotel yang mampu memberinya pelayanan plus jika ia merayuku?
“Berikan saja aku alasan kenapa kamu melakukan hal ini. Aku tak butuh tindakanmu yang kamu bilang lebih serius dari perkataanmu. Kamu memperlakukanku seperti gadis sewaan yang kamu sewa ketika kamu bosan.”
Aku serius mengatakan hal itu, tidak dengan nada sarkastis seperti sebelumnya. Bagiku ini hal yang serius. Kepercayaanku sudah hilang karena pria brengsek di masa lalu itu, dan aku sudah menyebut namanya berkali-kali hari ini. Hal yang sudah tak kulakukan sejak enam bulan yang lalu.
“Berikan aku kesempatan untuk membuktikannya hari ini,” jawabnya.
“Kalimatmu sama sekali tak menjawab pertanyaanku.”
Kami bertatapan selama beberapa detik, dan kami sedang berada di tengah-tengah pasar. Kami sudah sangat mirip dengan adegan sinetron Indonesia yang menurutku menggelikan itu.
“Kamu berbeda.”
Jawaban klise. Ia bahkan tak bisa lebih pintar dalam mengarang alasan.
“Karena aku acuh, tak seperti wanita lain yang kamu dekati, yang sangat mudah kamu dapatkan itu? Setidaknya berilah aku alasan yang lebih meyakinkan.”
Aku melepaskan lilitan lengannya di pinggangku, untuk yang kesekian kalinya di hari ini. Aku juga ingat Ritchie memberiku alasan yang sama ketika aku bertanya alasannya. Dulu aku merasakan kebanggaan ketika ia mengatakan itu, tapi sekarang yang aku rasakan hanya muak. Sepertinya aku tak salah jika mengatakan kalau semua pria itu sama.
Dan seperti yang sudah kuduga, ia akan mencekal tanganku. Kenapa ia tak membiarkan aku sendiri? Ia sama sekali tak mendapat keuntungan ketika mengejarku. Ia tampan dan sangat potensial, mendapatkan wanita yang setara dengannya sangat mudah, dan ia malah mengejarku? Ia sama konyolnya seperti Ritchie.
“Tinggalkan saja aku sendiri, apa kamu bisa melakukannya? Aku muak bertemu pria sepertimu,” ucapku.
**
Aku sudah menceritakan tentang Erlangga pada Lucas. Aku tak bisa menahan kekesalanku seorang diri, dan Lucas adalah orang yang paling cocok untuk itu. Karena aku tak punya teman berbagi yang lain sebenarnya. Lucas memintaku untuk sedikit mempercayai Erlangga, karena kita tak bisa menilai seseorang hanya karena ia mengingatkan kita pada masa lalu yang ingin di lupakan. Aku mengiyakan, tapi aku tetap tak bisa begitu mudah mempercayai Erlangga. Apa jaminan dari aku yang mempercayai Erlangga? Jika ada yang akan menjamin hatiku akan baik-baik saja jika mempercayai Erlangga maka aku akan mengambil resiko. “Kamu gak bisa nyamain dia sama Ritchie gitu aja, gimana kalau dia bener-bener serius suka sama kamu,” ucapnya. Masih mencoba untuk meyakinkan hatiku. Percayalah, hatiku sudah sangat sulit mempercayai lelaki dan cinta, serta ucapan mereka yang mengatakan kalau mereka serius atau mereka menyukaiku. Aku tak peduli jika mereka bilang aku berpikir terlalu dangkal, aku memiliki trauma sendir
Aku selalu bersyukur dengan kehadiran Lucas, di manapun itu. Walaupun obrolan kami tak berjalan baik kemarin, tapi ia menepati janjinya untuk kembali ke Bali lagi. Yang lebih terpenting dari kejadian tadi sore adalah, aku juga berpapasan dengan Erlangga yang akan segera meninggalkan resort. Jika tak mengingat aku sedang berada di lingkungan kerja, maka aku akan memeluk Lucas begitu saja.Aku bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana perubahan raut wajah Erlangga ketika melihat senyumku pada Lucas. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, tapi aku sangat ingin membuatnya cemburu. Itupun jika ia merasakannya, yang kuyakin seratus persen ia tak merasakannya. Mungkin ia hanya kaget bahwa aku bisa sangat manis bersama pria lain, tapi tidak dengannya.Yang paling terpenting dari semua itu, aku sangat yakin besok akan timbul gosip baru yang mengatasnamakan diriku. Yah, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Apa tidak ada wartawan infotainment yang ingin mewawancaraiku? Aku yakin bisa menimbulkan i
Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama tiga hari untuk menemani Lucas dan Ina di Bali. Ini pertama kalinya selama enam bulan kami bisa berjalan-jalan seperti ini, dan aku memang butuh orang seperti mereka untuk mencerahkan hariku yang suram. “Kamu bahagia di Bali?” Ina bertanya padaku ketika kami mendudukkan diri di pasir pantai Kuta. Sebentar lagi kami akan melihat matahari terbenam, dan Lucas sedang membelikan kami cemilan serta air kelapa. “Aku ngerasa bakal ada kejadian buruk di sini, tapi ya, aku bahagia. Kalau memungkinkan aku akan lari lagi, luar negeri mungkin?” Aku sudah menceritakan tentang Clarissa pada Ina dan juga Lucas. Perjuanganku mencapai posisi manajer walau aku tak menginginkannya, dan juga Erlangga. Sampai saat ini, pikiran tentang Erlangga sangat menggangguku. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ini akan buruk. “Nyebelin, ya? Pasti dia gabungan Tsania sama Bella, atau mereka belum puas mojokin kamu di Batam, jadi mereka bikin kloning gabungan bua
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda