"Sayang, di depan ada Papa Hadi dan Mama Mira, juga ada Raga dan papanya." Salma menghampiri Ayuna yang sedang menemani putra putrinya belajar. Empat bulan sudah kepergian Sadewa, dan Ayuna nampak lebih tegar, meski berubah menjadi sosok pendiam. Wanita itu membatasi diri dari kegiatan dan orang-orang di luar sana. Namun, bagi Salma dan Bram, perubahan sang putri sudah cukup membuat mereka lega. "Tumben datang barengan? Ada acara apa?" Ayuna menatap sang Mama yang nampak gugup. "Nanti kamu tahu sendiri. Ayo, kita temui mereka." Salma mendekat ke arah cucu-cucunya dan mengusap rambut mereka bergantian. "Kalian lanjutkan belajar. Oma mau ngajak Mama keluar dulu," ujarnya lembut. "Iya, Oma." Athalla mengangguk dan tersenyum, kemudian kembali fokus pada buku di depannya. "Ada apa sih, Ma? Kayaknya penting banget." Ayuna kembali bertanya setelah keluar dari kamar putra putrinya. Rasa penasaran makin menjadi ketika menyaksikan mereka sudah berkumpul di ruang tamu dengan wajah yang namp
Dara terduduk di atas ranjang dengan memeluk lutut. Semalaman ia menangis, mengingat pria yang dicintainya besok akan melaksanakan pernikahan dengan wanita yang konon masih dicintai pria tersebut. Sepuluh tahun Dara menutup hati untuk pria lain dan tetap menyimpan nama Raga di hatinya, nyatanya berakhir sia-sia. Pria yang ia harapkan menjadi imam, kini justru kembali pada mantan kekasihnya. Dara masih mengingat ketika Raga mengatakan bahwa pria itu tidak bisa mengatakan alasan mengapa harus menikahi Ayuna. Namun dari Yunita, ia bisa mengetahui semuanya. Menikah karena amanat dari Sadewa adalah alasan yang sebenarnya. Sungguh, Dara tidak habis pikir mengapa Sadewa harus meninggalkan amanat seperti itu. Bagi, Dara, keluarga Sadewa dan keluarga Ayuna cukup egois. Mereka mengorbankan pria lain demi amanat yang menurutnya tidak masuk akal. Mengapa harus menikah? Bukankah Raga juga berhak menentukan siapa wanita yang akan pria itu jadikan pendamping hidup?"Apa kita memang tidak ditakdir
"Kamu cantik sekali, Sayang." Suara Salma bergetar menahan tangis. Hari ini, untuk yang kedua kalinya ia akan menyaksikan sang putri kembali memasuki babak baru sebagai seorang istri, tetapi dengan pria yang berbeda. Rasa haru-nya masih sama. Namun, kebahagiaan-nya sedikit berbeda sebab pernikahan kali ini dilaksanakan bukan atas keinginan putrinya.Sedangkan Ayuna tidak bereaksi sama sekali. Tatapannya kosong. Salma yang melihatnya mencelos. Ia paham putrinya sangat keberatan dengan pernikahan ini, tetapi terpaksa menerima karena keadaan."Keluarga pengantin pria sudah datang, Tante." Olivia memasuki kamar sahabatnya. Mendekat ke arah Salma dan memeluk Mama dari Ayuna tersebut. "Kenapa jadi seperti ini, Tante? Kenapa Ayuna harus merasakan penderitaan lagi," ujarnya dengan terisak. Melihat sahabatnya yang seakan kehilangan gairah hidup, Olivia tak kuasa menahan tangis."Semuanya ketetapan yang di atas, Liv. Kita sebagai makhluk-Nya hanya bisa menerima dan bertawakal. Mungkin sudah tak
"Ada yang melempar bom molotov tepat di depan rumah. Security yang berjaga di depan berusaha mengejar mereka, tetapi gagal. Saya sudah menghubungi pihak yang berwajib untuk menyelidiki kasus ini," terang Hadiwijaya setelah keadaan lebih tenang dan mereka berkumpul di ruang keluarga. Semua tamu sudah pulang, pun dengan bekas kekacauan itu sedang dibersihkan oleh asisten rumah tangga dan security serta beberapa tetangga dekat. Sedangkan Ayuna dan anak-anaknya, dibawa kembali ke kamar oleh Salma, Miranda serta Yunita, juga dengan Dara yang ditahan oleh Zeya yang masih kangen pada gadis tersebut. "Mereka?" ulang Raga. "Ya. Dua orang pria yang mengendarai motor tiba-tiba saja melempar bom itu," jawab Hadiwijaya seusai dengan keterangan yang ia dengar dari Security. "Kira-kira siapa mereka? Apa mungkin kejadian ini ada hubungannya dengan meninggalnya Sadewa dan pengeroyokan yang Raga alami kemarin?" tebak Pras. Kemarin sore, Pras dikejutkan dengan wajah sang putra yang penuh lebam. Rag
"Kamu yakin ingin melanjutkan rencana ini? Sebaiknya kita sudahi saja, Airin. Sadewa sudah meninggal dan aku rasa dendam-mu sudah terbalas.""Tidak!" Wanita yang ternyata adalah Airin menoleh dan memberi tatapan tajam pada pria yang berdiri di belakangnya. "Dendamku bukan hanya pada Sadewa, tapi juga Ayuna. Wanita itu telah menghina dan menamparku dan sampai kapanpun aku akan mengingatnya!" Wajah Airin merah padam menahan amarah. Pria di depannya berjalan mendekat dan memeluknya. "Oke, aku minta maaf," ujarnya lirih. "Jangan lagi mencoba menghentikan aku, Mas. Aku tidak akan menyudahi dendam ini sampai melihat Ayuna menderita. Karena mereka aku dipecat dari Cafe karena kejadian waktu itu diviralkan oleh seseorang yang menyaksikan kami. Aku dituduh sebagai pelakor sampai mamaku drop karena melihat video itu dan akhirnya meninggal. Mereka penyebab penderitaanku. Sejak saat itu aku bersumpah untuk membalas dendam hingga akhirnya aku bertemu kamu, Mas."Airin mendongak. Menatap sayu p
Raga melirik Ayuna yang nampak biasa saja. Kehadiran Dara pagi ini membuatnya canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Jika saja bukan karena Zeya, pria itu enggan berhubungan lagi dengan Dara, sebab tidak ingin menyakiti gadis itu lebih dalam. Rupanya Zeya tidak main-main dengan permintaannya tadi malam. Sang putri menghubungi Dara dan meminta gadis itu datang untuk ikut liburan hari ini. "Sudah siap semuanya?" Raga memperhatikan putra dan putri sambungnya, pun dengan Zeya yang masing-masing sudah membawa tas berisi pakaian ganti. Rencananya hari ini Raga mengajak mereka ke kolam renang dan wahana permainan sesuai keinginan mereka tadi malam. "Sudah, Om." Alika menyahut dengan nada antusias. "Kalau begitu kita berangkat sekarang.""Zeya ikut mobil Tante Dara saja ya, Pa."Raga tertegun. Melirik Ayuna yang juga tengah menatapnya. "Boleh. Ra, titip Zeya, ya." Raga tidak kuasa menolak keinginan sang putri. "Iya, Mas. Tenang saja," jawab Dara dengan mengulas senyum. Ayuna
"Saya sudah mendapat laporan dari orang suruhan yang saya tugaskan untuk menyelidiki kematian Sadewa. Dia mendapat keterangan dari seorang pemuda yang kebetulan sedang menunggu taksi online di sana tepat di waktu kejadian." Hadiwijaya menghela napas panjang. Mengurai rasa sesak saat harus menceritakan kembali apa yang menimpa sang putra. "Waktu itu mobil Sadewa tiba-tiba saja oleng dan menabrak pembatas jalan. Setelah mobilnya diperiksa, ternyata ada yang menyabotase. Remnya blong."Raga dan Bram yang mendengar keterangan Hadiwijaya sama-sama terkejut. Mereka sedang berada di depan ruang rawat Dara setelah gadis itu dipindahkan dari ruang IGD. "Siapa yang melakukan tindakan kriminal ini? Apa ada petunjuk lain yang mengarah ke siapa pelakunya?" tanya Raga. "Mereka masih mencari rekaman cctv di hari terakhir Sadewa pulang dari kantor. Siapa tahu dari sana mereka bisa menemukan siapa orang yang melakukan sabotase," terang Hadiwijaya. "Ya. Semoga pelakunya cepat tertangkap. Kita tidak
Airin Natasya.Ayuna tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan wanita itu dengan penampilan yang jauh berbeda. Semua yang melekat di tubuh Airin adalah barang-barang branded. Pun dengan wajah dan tubuhnya yang nampak putih bersih bak pualam, menandakan kehidupan Airin jauh lebih baik jika dibanding dengan dulu. "Apa kabar, Ayuna?" Airin kembali menyapa. "Baik. Aku baik. Kamu sendiri apa kabar? Tapi sepertinya kamu juga sangat baik." Ayuna berbicara seramah mungkin, meski hatinya tetap tidak menyukai wanita ini. Kejadian di masa lalu belum bisa benar-benar Ayuna lupakan. Apalagi, Airin pernah menjebak Sadewa dengan cara yang sangat murahan. "Seperti yang kamu lihat. Aku memang sangat baik." Airin tersenyum, tetapi senyuman itu nampak lain di mata Ayuna. Bukan. Bukan senyum ramah yang wanita itu tunjukkan, melainkan senyum penuh kepuasan yang entah karena apa, Ayuna pun tidak tahu. "Oh ya. Bagaimana kabar Sadewa? Kalian sudah punya anak berapa?" Ayuna memalingkan wajah s