Meskipun badai di perusahaan mulai mereda, hati Arissa masih dipenuhi oleh gelombang ketidakpastian. Hubungannya dengan Nathaniel mengalami perubahan signifikan—mereka semakin sering bekerja bersama, berbagi ide, bahkan saling mendukung dalam menghadapi masa sulit. Namun, di balik semua itu, ada dinding tak kasat mata yang masih berdiri di antara mereka.Arissa menyadari bahwa dirinya tidak bisa sepenuhnya melepaskan ketakutan yang masih menghantui. Nathaniel adalah pria yang luar biasa, seseorang yang dengan sabar dan tulus ingin mendekatinya. Tapi bisakah ia benar-benar membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam? Bagaimana jika semuanya berakhir dengan kekecewaan?Di dalam kantor Nathaniel, sore itu, mereka duduk berhadapan. Nathaniel sedang membaca laporan keuangan terbaru, sementara Arissa meninjau beberapa dokumen yang berkaitan dengan proyek baru perusahaan. Suasana di antara mereka terasa nyaman, namun juga penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.“Apa kau yakin tidak ingin pulang
"Bagaimana kalau kita makan di tempat yang lebih tenang?" Nathaniel bertanya ketika mereka berdiri di dekat mobilnya.Arissa mengerutkan kening. "Makan malam? Hanya kita berdua?"Nathaniel tersenyum lembut. "Ya, hanya kita berdua. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Arissa. Tidak ada agenda tersembunyi, aku hanya ingin berbicara denganmu di luar suasana kantor."Arissa ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi jangan pilih tempat yang terlalu mewah. Aku lebih suka sesuatu yang sederhana."Nathaniel mengangguk setuju. "Aku tahu tempat yang sempurna."Mereka akhirnya tiba di sebuah restoran kecil dengan suasana hangat dan nyaman. Tempat itu bukan restoran mahal dengan pelayanan mewah, melainkan sebuah kedai yang terkenal dengan makanan rumahan yang lezat. Arissa langsung merasa lebih santai.Setelah mereka memesan makanan, Nathaniel menatap Arissa dengan penuh perhatian. "Aku menyadari satu hal," katanya perlahan. "Kita sering berbicara tentang pekerjaanku, tentang perusahaa
Kedekatan antara Arissa dan Nathaniel semakin nyata dalam keseharian mereka. Setelah melewati berbagai konflik, baik dalam hubungan pribadi maupun masalah perusahaan, keduanya kini lebih sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi juga sebagai dua insan yang saling memahami.Nathaniel mulai membiasakan diri untuk mengajak Arissa makan malam, berjalan-jalan di taman kota setelah seharian bekerja, atau sekadar menikmati kopi di sebuah kafe kecil yang memiliki suasana tenang. Awalnya, Arissa merasa canggung dengan kebiasaan baru ini. Ia bukan tipe wanita yang terbiasa diperhatikan dengan begitu hangat.Suatu sore, setelah mereka menyelesaikan rapat penting di kantor, Nathaniel mengajak Arissa berjalan-jalan di taman dekat pusat kota. Matahari mulai tenggelam, langit berubah warna menjadi oranye keemasan yang memancarkan kehangatan. Arissa merasa aneh ketika Nathaniel secara alami menyesuaikan langkahnya agar tetap sejajar dengannya."Kau tidak keberatan ber
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca dokumen yang terbuka di depannya. Pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan Arissa—tentang bagaimana ia bisa merasakan perubahan dalam hubungan mereka, tetapi juga menyadari ada sesuatu yang masih menghambat wanita itu untuk benar-benar membuka diri.Beberapa minggu terakhir, mereka semakin dekat, tetapi setiap kali Nathaniel merasa hubungan mereka hampir mencapai titik yang lebih dalam, Arissa selalu mundur. Ia tidak ingin menekan Arissa, tetapi di saat yang bersamaan, ia juga tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian.Lila, yang kebetulan masuk ke ruangannya untuk menyerahkan beberapa berkas, memperhatikan ekspresi Nathaniel yang tampak jauh lebih serius dari biasanya."Kelihatannya ada yang mengganggu pikiranmu," kata Lila hati-hati.Nathaniel menghela napas dan menutup laptopnya. "Aku hanya berpikir tentang Arissa."Lila tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di depan meja Nathaniel.
Nathaniel duduk di kursi ruang rapat dengan rahang mengeras. Selama beberapa bulan terakhir, Markus Reinhardt telah menjadi ancaman besar bagi perusahaannya, tetapi kali ini, serangannya terasa lebih personal. Bukan hanya tentang bisnis, tapi juga tentang keluarganya.Ia menatap layar tablet yang ada di depannya, membaca ulang berita yang baru saja dirilis oleh salah satu media bisnis ternama. Berita itu tidak hanya menyoroti ketegangan antara perusahaan mereka, tetapi juga membeberkan detail tentang kehidupan pribadinya—termasuk beberapa skandal lama yang melibatkan keluarganya."Ini bukan kebetulan," gumamnya pelan.Lila, yang duduk di sampingnya, ikut membaca berita itu dan menghela napas panjang. "Sepertinya Markus benar-benar tidak akan berhenti sampai kau benar-benar hancur."Nathaniel mengangkat kepalanya, menatap Lila dengan ekspresi tajam. "Yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah... bagaimana dia bisa mendapatkan informasi ini?"Lila menatapnya ragu. "Kau berpikir ada seseo
Nathaniel menatap kosong ke luar jendela kantornya yang tinggi. Kota di bawahnya tampak hidup, kendaraan berlalu-lalang, lampu-lampu gedung menyala terang, dan hiruk-pikuk kesibukan terus berjalan seperti biasa. Namun, di dalam hatinya, kekacauan sedang menguasai segalanya.Ia baru saja mengalami pukulan yang lebih menyakitkan daripada serangan bisnis mana pun—pengkhianatan dari keluarganya sendiri.Pamannya, Victor Legrand, ternyata bukan satu-satunya yang terlibat dalam rencana jahat ini. Setelah menggali lebih dalam, ia menemukan bahwa beberapa anggota keluarganya yang lain juga memiliki andil dalam usaha menjatuhkannya.Nathaniel menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memijat pelipisnya.Selama ini, ia berusaha menjadi pewaris yang bertanggung jawab. Ia telah bekerja keras untuk mempertahankan perusahaan yang diwariskan kepadanya, melindungi warisan keluarganya, dan memastikan semuanya berjalan sesuai visi yang ia yakini. Namun, ternyata tidak semua orang menginginkan hal yang sama.M
Malam semakin larut, tetapi lampu di kantor Nathaniel masih menyala terang. Ruangan itu sunyi kecuali suara lembaran dokumen yang dibolak-balik oleh Nathaniel dan suara jemari Arissa yang mengetik cepat di laptopnya.Mereka telah menghabiskan berjam-jam bersama, mencoba mencari celah untuk menghadapi serangan Markus Reinhardt yang semakin gencar. Nathaniel merasa sedikit lebih tenang karena kini ia tidak sendiri. Arissa ada di sampingnya, memberikan ide-ide yang tajam dan solusi yang selama ini tidak terpikirkan olehnya.Nathaniel melirik ke arah Arissa yang sedang serius menatap layar laptopnya. Rambutnya tergerai lembut, wajahnya terlihat fokus, dan ada cahaya tertentu di matanya saat ia bekerja."Apa yang kau temukan?" tanya Nathaniel sambil menyesap kopi yang sudah mulai dingin.Arissa menghela napas dan menoleh padanya. "Aku melihat pola dalam cara Markus menyerang bisnis kita. Ia tidak hanya menggunakan informasi yang ia curi, tetapi juga memanipulasi media dan pihak ketiga yang
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, tetapi bagi Nathaniel dan Arissa, setiap waktu yang mereka habiskan bersama terasa lebih bermakna. Kedekatan mereka semakin terasa, bukan hanya dalam urusan pekerjaan, tetapi juga dalam hal-hal pribadi yang selama ini jarang mereka bagi dengan orang lain.Nathaniel, yang sebelumnya selalu menjaga jarak dengan orang-orang karena pengkhianatan yang pernah ia alami, kini menemukan kenyamanan dalam keberadaan Arissa. Ia mulai lebih terbuka, menceritakan beban yang selama ini ia simpan sendiri—tentang keluarganya, tentang tekanan yang ia hadapi, dan bahkan tentang ketakutannya akan masa depan.Malam itu, mereka duduk berdua di ruang kerja Nathaniel setelah menyelesaikan laporan penting. Sebuah botol anggur telah terbuka di atas meja, memberikan sedikit kehangatan dalam percakapan mereka."Aku tidak pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan berada dalam posisi ini," ujar Nathaniel, memainkan gelas anggurnya sambil menatap keluar jendela. "Dikhianati ol
Malam di kota masih terang dengan lampu-lampu gedung yang berpendar, menciptakan pemandangan yang tenang namun penuh makna bagi Nathaniel. Ia berdiri di depan jendela ruang kantornya, menatap hiruk-pikuk kota yang tetap hidup meskipun hari sudah larut. Namun, pikirannya tidak tertuju pada bisnis, bukan pada perusahaan yang masih dalam tahap pemulihan, melainkan pada seseorang—Arissa.Nathaniel telah menghadapi banyak hal dalam beberapa bulan terakhir—pengkhianatan Damien, pertempuran bisnis melawan Markus, dan perjuangan keras untuk mempertahankan perusahaan yang diwariskan kepadanya. Namun, di antara semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi titik terang dalam hidupnya: Arissa.Wanita itu bukan hanya sekadar mitra dalam bisnis, tetapi juga sumber kekuatan terbesar yang membuatnya tetap berdiri tegak. Di saat semua orang meragukan dirinya, Arissa tetap ada. Di saat ia merasa hampir menyerah, Arissa memberikan keyakinan bahwa ia masih bisa ber
Malam itu, suasana terasa lebih tenang dari sebelumnya. Setelah bertahun-tahun menghadapi ancaman, pengkhianatan, dan konflik, akhirnya Nathaniel bisa duduk dengan lebih rileks. Namun, pikirannya masih dipenuhi banyak hal, terutama tentang seseorang yang selalu ada di sisinya—Arissa.Ia berdiri di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Udara malam yang sejuk berhembus lembut, membawa ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun, ketenangan itu tidak cukup untuk menghilangkan gelisah yang bersarang di hatinya.Beberapa bulan terakhir telah mengubah segalanya. Sebelum ini, hubungan mereka hanya sebatas mitra bisnis dan sekutu yang berjuang bersama. Namun, setelah menghadapi Markus, pengkhianatan Damien, dan segala rintangan lainnya, Nathaniel menyadari bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Arissa lebih dari sekadar rasa terima kasih atau rasa hormat.Arissa adalah orang yang selalu berada di sisinya, orang ya
Ruang pertemuan besar itu dipenuhi keheningan tegang. Wartawan, investor, dan pemegang saham menunggu dengan napas tertahan, sementara Markus berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan dan keputusasaan. Di seberangnya, Nathaniel berdiri tegak dengan ekspresi dingin dan penuh kemenangan.Nathaniel mengambil langkah maju, tatapannya tajam menembus Markus yang kini tampak lebih lemah dari sebelumnya. "Ini adalah akhir dari permainanmu, Markus," katanya dengan suara datar, namun mengandung kekuatan luar biasa.Markus mencemooh, meskipun senyumnya tidak lagi sekuat dulu. "Jangan terlalu percaya diri, Nathaniel. Aku masih punya sekutu yang bisa membantuku keluar dari ini."Nathaniel tersenyum miring. "Sekutu? Maksudmu mereka yang mulai meninggalkanmu setelah semua bukti yang telah kami ungkap?"Markus mengepalkan tinjunya. Ia menoleh ke sekeliling ruangan, mencari dukungan, tetapi yang ia lihat hanyalah wajah-wajah yang dipenuhi kebimbangan dan
Malam yang sunyi terasa begitu menegangkan bagi Nathaniel dan Arissa. Mereka sudah melewati berbagai cobaan, dari pengkhianatan Damien hingga perjuangan melawan pengaruh Markus dalam bisnis mereka. Namun, semua itu belum berakhir. Markus, seperti ular berbisa yang terluka, tidak akan mundur begitu saja tanpa perlawanan terakhir.Berita tentang kebangkitan kembali perusahaan Nathaniel menyebar dengan cepat. Setelah pertemuan dengan para investor, kepercayaan terhadap kepemimpinan Nathaniel mulai pulih. Klien yang sempat ragu kini kembali menjalin kerja sama, dan perlahan tapi pasti, perusahaan yang hampir runtuh itu kembali berdiri kokoh.Namun, di sisi lain, Markus semakin terpojok. Semua rencananya untuk menjatuhkan Nathaniel berantakan. Sekutunya satu per satu meninggalkannya, dan kini ia hanya memiliki segelintir orang yang masih setia padanya.“Aku tidak akan membiarkan Nathaniel menang begitu saja,” gumam Markus dengan penuh kebencian saat ia duduk di ruang kantornya yang semakin
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak skandal yang mengguncang perusahaan Nathaniel. Banyak hal telah berubah, tetapi satu yang tetap konstan adalah keberadaan Arissa di sisinya.Nathaniel bukanlah pria yang mudah menunjukkan kelemahannya, tetapi setelah semua yang terjadi, ia belajar bahwa tidak semua beban harus ia pikul sendiri. Dan Arissa? Ia bukan hanya sekadar seseorang yang mengisi keheningan di saat Nathaniel termenung—ia adalah cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan.Arissa menatap Nathaniel dari seberang meja kerja mereka. Selama beberapa minggu terakhir, ia semakin menyadari satu hal: hubungannya dengan Nathaniel bukan sekadar hubungan profesional atau bahkan sekadar perasaan suka yang samar. Ia benar-benar peduli pada pria itu, lebih dari yang pernah ia bayangkan.Ia melihat Nathaniel berusaha keras, bekerja siang dan malam, memperbaiki apa yang sempat hancur akibat pengkhianatan Damien. Tapi di balik sikapnya yang tegar, Arissa tahu bahwa Nathaniel masih menyimpan
Langit pagi terlihat kelabu ketika Nathaniel berdiri di depan jendela kantornya, menatap kosong ke arah kota yang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Sudah beberapa hari sejak Damien disingkirkan dari perusahaan, tetapi luka yang ditinggalkan masih menganga di hatinya.Tidak peduli seberapa besar ia mencoba menepis rasa sakit itu, kehilangan tetaplah kehilangan.Nathaniel selalu berpikir bahwa ia telah melalui banyak hal dalam hidupnya—tantangan bisnis, persaingan, bahkan pengkhianatan dari orang luar. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi pengkhianatan dari saudara kandungnya sendiri.Damien bukan hanya saudaranya. Ia adalah seseorang yang telah ia besarkan, seseorang yang ia lindungi dengan segenap hatinya. Tapi nyatanya, kepercayaan itu tidak cukup.Nathaniel mengepalkan tangannya. Ia bukan orang yang suka berlarut dalam kesedihan, tetapi kali ini berbeda. Ada bagian dari dirinya yang merasa hancur, seolah sesuatu yang penting telah diambil darinya.Pintu kantor
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama in
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedul