Malam semakin larut, tetapi lampu di kantor Nathaniel masih menyala terang. Ruangan itu sunyi kecuali suara lembaran dokumen yang dibolak-balik oleh Nathaniel dan suara jemari Arissa yang mengetik cepat di laptopnya.Mereka telah menghabiskan berjam-jam bersama, mencoba mencari celah untuk menghadapi serangan Markus Reinhardt yang semakin gencar. Nathaniel merasa sedikit lebih tenang karena kini ia tidak sendiri. Arissa ada di sampingnya, memberikan ide-ide yang tajam dan solusi yang selama ini tidak terpikirkan olehnya.Nathaniel melirik ke arah Arissa yang sedang serius menatap layar laptopnya. Rambutnya tergerai lembut, wajahnya terlihat fokus, dan ada cahaya tertentu di matanya saat ia bekerja."Apa yang kau temukan?" tanya Nathaniel sambil menyesap kopi yang sudah mulai dingin.Arissa menghela napas dan menoleh padanya. "Aku melihat pola dalam cara Markus menyerang bisnis kita. Ia tidak hanya menggunakan informasi yang ia curi, tetapi juga memanipulasi media dan pihak ketiga yang
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, tetapi bagi Nathaniel dan Arissa, setiap waktu yang mereka habiskan bersama terasa lebih bermakna. Kedekatan mereka semakin terasa, bukan hanya dalam urusan pekerjaan, tetapi juga dalam hal-hal pribadi yang selama ini jarang mereka bagi dengan orang lain.Nathaniel, yang sebelumnya selalu menjaga jarak dengan orang-orang karena pengkhianatan yang pernah ia alami, kini menemukan kenyamanan dalam keberadaan Arissa. Ia mulai lebih terbuka, menceritakan beban yang selama ini ia simpan sendiri—tentang keluarganya, tentang tekanan yang ia hadapi, dan bahkan tentang ketakutannya akan masa depan.Malam itu, mereka duduk berdua di ruang kerja Nathaniel setelah menyelesaikan laporan penting. Sebuah botol anggur telah terbuka di atas meja, memberikan sedikit kehangatan dalam percakapan mereka."Aku tidak pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan berada dalam posisi ini," ujar Nathaniel, memainkan gelas anggurnya sambil menatap keluar jendela. "Dikhianati ol
Malam di kantor Nathaniel terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya lampu redup menerangi ruangan kerja yang dipenuhi tumpukan berkas dan dokumen yang baru saja mereka selesaikan. Arissa merasakan kelelahan menjalar di tubuhnya setelah seharian bekerja tanpa henti, tetapi ada sesuatu dalam suasana malam itu yang membuatnya enggan untuk segera pulang.Nathaniel duduk di seberang meja, mengamati layar laptopnya dengan mata yang terlihat letih. Kemejanya sedikit kusut, dan dasinya sudah lama ia lepaskan. Di antara kesibukan mereka menghadapi proyek besar yang baru saja selesai, ada ketegangan lain yang mengendap di antara mereka—sesuatu yang tak terucapkan, tetapi perlahan mulai terasa lebih nyata.Arissa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menggeliat dalam dirinya. Sejak beberapa waktu lalu, kedekatannya dengan Nathaniel semakin terasa berbeda. Mereka tidak hanya bekerja bersama, tetapi juga berbagi waktu lebih banyak, berbicara tentang hal-hal yang lebih pe
Arissa duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma samar hujan yang baru saja reda. Ia memeluk lututnya sendiri, mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya yang terus berkecamuk sejak Nathaniel mengungkapkan perasaannya malam itu.Ia menghela napas panjang, mencoba memilah pikirannya yang kusut. Di satu sisi, hatinya ingin merespons perasaan Nathaniel, ingin percaya bahwa hubungan mereka bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar rekan kerja atau teman. Namun, di sisi lain, bayangan masa lalunya terus menghantui, membisikkan ketakutan bahwa semua ini bisa berakhir dengan cara yang sama seperti sebelumnya—pengkhianatan, luka, dan kehancuran.Nathaniel adalah pria yang berbeda, itu yang selalu berusaha ia yakinkan pada dirinya sendiri. Nathaniel selalu menunjukkan kesabaran, perhatian, dan ketulusan yang sulit untuk diabaikan. Namun, semakin ia dekat dengan pria itu, semakin besar pula ketak
Nathaniel mencoba memberi Arissa waktu dan ruang untuk berpikir, tetapi semakin hari, ia merasa frustrasi karena tidak tahu bagaimana cara meyakinkan Arissa bahwa perasaannya tulus. Ia telah melakukan berbagai cara untuk mendukung Arissa, namun perempuan itu tetap terlihat ragu untuk melangkah lebih jauh dalam hubungan mereka.Sejak malam ketika Nathaniel mengungkapkan perasaannya, Arissa menjadi lebih pendiam. Ia tetap menjalankan tugasnya di klinik seperti biasa, tetapi sikapnya terhadap Nathaniel sedikit berubah. Ia tidak lagi menghindari tatapan pria itu, namun juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia siap menerima perasaannya. Hal ini membuat Nathaniel semakin tidak tenang.Nathaniel bukanlah tipe pria yang mudah menyerah. Ia telah melalui banyak tantangan dalam hidupnya, baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi. Namun, menghadapi Arissa yang terus menerus ragu, membuatnya merasa seperti menghadapi rintangan terbesar dalam hidupnya. Ia ingin Arissa tahu bahwa ia tidak akan m
Nathaniel duduk di ruang kantornya dengan ekspresi wajah yang tegang. Tumpukan dokumen berserakan di meja, mencerminkan kekacauan yang tengah terjadi dalam hidupnya. Serangan dari Markus semakin menggila. Informasi-informasi yang tersebar di media dan dunia bisnis mengenai keluarganya telah mencoreng reputasinya secara signifikan. Beberapa klien yang awalnya setia mulai menarik diri, sementara para investor mulai meragukan posisinya sebagai pemimpin.Arissa mengetuk pintu sebelum masuk dengan hati-hati. Ia bisa melihat kelelahan yang terpancar dari wajah Nathaniel. Pria itu terlihat seakan memikul beban dunia di pundaknya. Tanpa berkata-kata, Arissa meletakkan secangkir kopi panas di meja Nathaniel.“Terima kasih,” gumam Nathaniel, suaranya terdengar serak.Arissa menarik kursi dan duduk di depannya. Ia bisa merasakan tekanan yang semakin berat di pundak Nathaniel. “Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kau harus tetap fokus, Nathaniel. Kau tidak boleh membiarkan Mar
Arissa duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat isi dokumen yang sedang terbuka. Pikirannya terlalu sibuk dengan hal lain—lebih tepatnya, dengan seseorang. Nathaniel.Ia semakin sulit menghindari perasaannya. Setiap kali melihat bagaimana Nathaniel berjuang menghadapi semua tekanan yang datang bertubi-tubi, bagaimana lelaki itu tetap teguh meski dihujani berbagai masalah, ia tidak bisa mengabaikan kekaguman yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.Namun, ia tetap berusaha menahan diri. Rasa takut masih ada di dalam hatinya, berakar dari pengalaman pahit di masa lalu. Ia tidak ingin terjatuh dalam hubungan yang nantinya hanya akan melukai dirinya sendiri. Tidak lagi.Pintu ruangannya terbuka pelan, dan Lila, sahabat sekaligus rekan kerjanya, masuk dengan membawa secangkir kopi. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan cangkir itu di meja Arissa.Arissa tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja. Hanya... ba
Malam itu, setelah pertemuan dengan klien penting yang penuh tekanan, Nathaniel merasa butuh udara segar. Beban bisnis yang semakin berat, ditambah dengan pengkhianatan keluarganya, membuat pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Ia menoleh ke arah Arissa yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Wanita itu terlihat lelah, tapi tetap menunjukkan ketenangan seperti biasa. Nathaniel tahu bahwa ia sangat beruntung memiliki Arissa di sisinya, meskipun hubungan mereka masih dalam ketidakpastian.Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan mobil ke sebuah taman kota yang tenang. Lampu-lampu jalan menyala lembut, menerangi jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rindang. Ia mematikan mesin mobil dan menoleh ke Arissa."Ayo keluar sebentar," katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Arissa menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka pintu. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang jalan setapak yang sepi. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, membe
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa