Malam itu, setelah pertemuan dengan klien penting yang penuh tekanan, Nathaniel merasa butuh udara segar. Beban bisnis yang semakin berat, ditambah dengan pengkhianatan keluarganya, membuat pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Ia menoleh ke arah Arissa yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Wanita itu terlihat lelah, tapi tetap menunjukkan ketenangan seperti biasa. Nathaniel tahu bahwa ia sangat beruntung memiliki Arissa di sisinya, meskipun hubungan mereka masih dalam ketidakpastian.
Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan mobil ke sebuah taman kota yang tenang. Lampu-lampu jalan menyala lembut, menerangi jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rindang. Ia mematikan mesin mobil dan menoleh ke Arissa.
"Ayo keluar sebentar," katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Arissa menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka pintu. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang jalan setapak yang sepi. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, membe
Malam itu, di balkon apartemen Nathaniel yang menghadap ke kota yang berkilauan, Arissa duduk dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuannya. Hawa malam yang sejuk membawa aroma hujan yang tertinggal dari sore tadi, menambah suasana tenang yang mengelilingi mereka. Namun, dalam hati Arissa, badai masih berkecamuk.Nathaniel duduk di sebelahnya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kesabaran. Sejak pernyataan cintanya malam sebelumnya, ia tidak mendesak Arissa untuk segera menjawab. Ia tahu bahwa wanita itu masih berjuang dengan ketakutannya sendiri.Akhirnya, setelah keheningan yang panjang, Arissa menghela napas dalam-dalam sebelum berkata, “Nathaniel, aku ingin percaya padamu. Aku ingin percaya bahwa kita bisa memiliki sesuatu yang nyata. Tapi... aku tidak bisa mengabaikan rasa takut yang terus menghantuiku.”Nathaniel mengernyit, tidak sepenuhnya terkejut dengan kata-kata Arissa, tetapi tetap merasa sedih mendengarnya. “Aku tidak akan memaksamu, Arissa. Aku hanya ingin
Nathaniel duduk di seberang Arissa, matanya menatapnya dengan penuh ketulusan. Mereka berada di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota, tempat yang cukup tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan bisnis mereka. Aroma kopi yang menguar di udara terasa menenangkan, tetapi hati Arissa masih dipenuhi keraguan dan ketakutan."Aku tidak akan memaksamu, Arissa," kata Nathaniel dengan suara yang lembut namun tegas. "Aku tahu kau masih memiliki luka di masa lalu, dan aku tidak akan mencoba menghapusnya secara paksa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, dan aku akan tetap berjuang untuk mendapatkan kepercayaanmu."Arissa mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang mulai menyala saat senja merayap masuk. Kata-kata Nathaniel menyentuh hatinya, tetapi ketakutan itu masih ada. Ia sudah terlalu sering dikecewakan, dan bayangan masa lalu masih menghantuinya. Bagaimana jika Nathaniel juga hanya sementara? Bagaimana jika ia akhirnya pergi dan meninggal
Masalah keluarga Nathaniel semakin memburuk. Informasi yang disebarkan oleh Markus Reinhardt semakin menekan kredibilitasnya di dunia bisnis. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah pengkhianatan yang datang dari dalam keluarganya sendiri. Beberapa anggota keluarganya yang selama ini terlihat netral ternyata memiliki kepentingan tersembunyi dan mulai memperkeruh situasi. Mereka tidak hanya menjalin hubungan bisnis dengan Markus, tetapi juga diam-diam membocorkan informasi internal perusahaan demi keuntungan pribadi.Nathaniel merasa kewalahan. Perusahaannya berada di ambang krisis, dan setiap keputusan yang diambil seolah selalu menjadi bumerang. Ia mencoba mencari solusi terbaik, tetapi semakin banyak hambatan yang muncul. Beberapa investor mulai menarik diri, proyek-proyek besar terancam gagal, dan tekanan dari media semakin meningkat. Seolah-olah, seluruh dunia berkonspirasi untuk menjatuhkannya.Di tengah kekacauan ini, hanya ada satu orang yang selalu berada di sisinya—Arissa. M
Arissa mengamati Nathaniel yang duduk di belakang meja kerjanya, ekspresi wajahnya menunjukkan beban berat yang tengah ia pikul. Mata pria itu memancarkan kelelahan, namun ia tetap berusaha menjaga ketegaran. Setiap kali Arissa melihat Nathaniel seperti ini, hatinya terasa semakin terikat pada pria itu, meskipun ia masih enggan mengakuinya sepenuhnya.Situasi semakin buruk bagi Nathaniel. Masalah keluarganya tidak hanya berpengaruh terhadap bisnis, tetapi juga merusak hubungan profesionalnya dengan beberapa mitra utama. Saudara tirinya, Richard, tampaknya terus-menerus menyabotase langkah Nathaniel, menggunakan koneksi lamanya untuk menanamkan keraguan di benak para investor dan pemegang saham.Nathaniel menekan jemarinya ke pelipis, mencoba meredakan rasa sakit kepala yang terus menghantuinya. "Aku tidak menyangka keluargaku sendiri akan berusaha menjatuhkanku," katanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Arissa berdiri di dekat meja, ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Nathaniel.
Pertemuan dengan mitra bisnis yang selama ini diragukan akhirnya membuahkan hasil positif. Nathaniel berhasil meyakinkan para pemegang saham bahwa perusahaannya masih berada dalam kendali yang aman, meskipun ada berbagai serangan dari Markus dan keluarganya sendiri. Ini adalah kemenangan kecil, tetapi sangat berarti di tengah tekanan yang semakin besar.Arissa berdiri di dekat jendela kantor Nathaniel, melihat pemandangan kota yang berkilauan di bawah cahaya lampu malam. Hatinya terasa lebih ringan setelah melihat bagaimana Nathaniel berhasil menghadapi krisis ini dengan tenang dan penuh strategi. Ia merasa bangga, bukan hanya pada Nathaniel, tetapi juga pada dirinya sendiri.Ia telah banyak berkontribusi dalam keberhasilan ini—membantu Nathaniel menganalisis strategi lawan, mengatur ulang komunikasi dengan investor, serta memastikan bahwa perusahaan tetap berjalan dengan stabil. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arissa merasa bahwa ia bisa mempercayai seseorang lagi.Namun
Nathaniel tidak pernah tergesa-gesa dalam mencintai Arissa. Ia tahu bahwa luka yang dihadapi wanita itu bukanlah sesuatu yang bisa sembuh dalam semalam. Ia bisa merasakan betapa Arissa berjuang untuk membiarkan dirinya percaya lagi, tetapi di saat yang sama, rasa takut dalam dirinya masih menjadi tembok yang sulit ditembus.Namun, Nathaniel bukan pria yang mudah menyerah. Ia memilih untuk tetap berada di sisinya, tidak dengan desakan atau paksaan, melainkan dengan ketulusan yang perlahan-lahan mulai menggoyahkan ketakutan Arissa.Malam itu, setelah seharian bekerja keras, mereka berdua akhirnya mengambil waktu untuk beristirahat sejenak. Nathaniel mengajak Arissa ke sebuah restoran kecil di pinggir kota, jauh dari sorotan publik dan suasana bisnis yang penuh tekanan.“Tempat ini memang sederhana,” kata Nathaniel sambil menarik kursi untuknya, “tapi aku pikir kau akan menyukainya.”Arissa melihat sekeliling. Restoran itu memiliki suasana yang hangat, dengan lampu kuning redup dan musik
Nathaniel duduk di ruang kerjanya dengan wajah yang tegang. Tangannya mengepal di atas meja, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan dokumen-dokumen terkait bisnis keluarganya. Sejak informasi yang diberikan Markus mulai menyebar, reputasinya terguncang. Namun, lebih dari itu, ia merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri.Ia tidak bisa mengabaikan masalah ini lebih lama. Jika ia ingin mempertahankan perusahaan yang telah dibangun dengan kerja keras, ia harus menghadapi mereka secara langsung. Tidak ada jalan lain.Arissa memperhatikan dari sudut ruangan, melihat ekspresi Nathaniel yang penuh tekanan. Ia tahu betapa sulitnya situasi ini baginya. Dikhianati oleh keluarga sendiri bukanlah sesuatu yang mudah diterima, apalagi saat pengkhianatan itu berpotensi menghancurkan segalanya.“Kau sudah memutuskan apa yang akan kau lakukan?” tanya Arissa pelan, menghampiri meja Nathaniel.Nathaniel menghela napas panjang sebelum mengangguk. &ldqu
Malam itu, suasana terasa begitu tenang. Langit yang biasanya dipenuhi gemerlap bintang kini tertutup awan tipis, meninggalkan cahaya bulan redup yang menyelimuti kota. Nathaniel dan Arissa duduk di balkon apartemen Nathaniel, menikmati keheningan setelah hari yang panjang dan melelahkan.Mereka tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya duduk berdampingan, ditemani secangkir teh hangat di tangan masing-masing. Nathaniel menoleh ke arah Arissa, memperhatikannya dalam diam. Ia bisa melihat cahaya lampu kota yang memantul di mata wanita itu, menciptakan kilau yang lembut.“Kau kelihatan begitu tenang malam ini,” ujar Nathaniel akhirnya, memecah keheningan.Arissa menyesap tehnya perlahan sebelum menatap Nathaniel. “Aku hanya sedang berpikir.”Nathaniel tersenyum kecil. “Tentang apa?”Arissa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Tentang kita.”Jantung Nathaniel berdegup lebih cep
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa