Nathaniel duduk di ruang kerjanya dengan wajah yang tegang. Tangannya mengepal di atas meja, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan dokumen-dokumen terkait bisnis keluarganya. Sejak informasi yang diberikan Markus mulai menyebar, reputasinya terguncang. Namun, lebih dari itu, ia merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri.
Ia tidak bisa mengabaikan masalah ini lebih lama. Jika ia ingin mempertahankan perusahaan yang telah dibangun dengan kerja keras, ia harus menghadapi mereka secara langsung. Tidak ada jalan lain.
Arissa memperhatikan dari sudut ruangan, melihat ekspresi Nathaniel yang penuh tekanan. Ia tahu betapa sulitnya situasi ini baginya. Dikhianati oleh keluarga sendiri bukanlah sesuatu yang mudah diterima, apalagi saat pengkhianatan itu berpotensi menghancurkan segalanya.
“Kau sudah memutuskan apa yang akan kau lakukan?” tanya Arissa pelan, menghampiri meja Nathaniel.
Nathaniel menghela napas panjang sebelum mengangguk. &ldqu
Malam itu, suasana terasa begitu tenang. Langit yang biasanya dipenuhi gemerlap bintang kini tertutup awan tipis, meninggalkan cahaya bulan redup yang menyelimuti kota. Nathaniel dan Arissa duduk di balkon apartemen Nathaniel, menikmati keheningan setelah hari yang panjang dan melelahkan.Mereka tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya duduk berdampingan, ditemani secangkir teh hangat di tangan masing-masing. Nathaniel menoleh ke arah Arissa, memperhatikannya dalam diam. Ia bisa melihat cahaya lampu kota yang memantul di mata wanita itu, menciptakan kilau yang lembut.“Kau kelihatan begitu tenang malam ini,” ujar Nathaniel akhirnya, memecah keheningan.Arissa menyesap tehnya perlahan sebelum menatap Nathaniel. “Aku hanya sedang berpikir.”Nathaniel tersenyum kecil. “Tentang apa?”Arissa menghela napas panjang sebelum menjawab. “Tentang kita.”Jantung Nathaniel berdegup lebih cep
Nathaniel menghela napas panjang saat ia menutup berkas terakhir di mejanya. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya, tetapi bukan karena beban pekerjaan semata—melainkan karena keputusan besar yang baru saja ia buat. Menghadapi keluarganya adalah langkah yang sulit, tetapi ia tahu ia tidak bisa terus-menerus membiarkan mereka merusak hidup dan perusahaannya.Di sisi lain, ada Arissa. Wanita yang kini mengisi hari-harinya lebih dari sekadar seorang rekan kerja atau penasihat. Arissa adalah seseorang yang membuatnya ingin menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih berani.Nathaniel menatap ke arah meja kerja Arissa, yang kini kosong. Ia baru saja pulang setelah seharian bekerja keras bersamanya, mendukungnya dalam menghadapi tantangan dari keluarganya yang berusaha menjatuhkan bisnisnya.Setelah beberapa menit merenung, Nathaniel mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Arissa.Nathaniel: Sudah sampai rumah?
Malam itu, Nathaniel berdiri di balkon apartemennya, menatap kota yang dipenuhi cahaya lampu. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, tetapi pikirannya masih berputar pada satu hal—Arissa. Wanita yang telah mengguncang dunianya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.Arissa sendiri berada di apartemennya, duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian beberapa bulan terakhir—bagaimana hidupnya berubah sejak bertemu Nathaniel, bagaimana pria itu perlahan-lahan meruntuhkan tembok yang ia bangun selama bertahun-tahun.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nathaniel.Nathaniel: Bolehkah aku menemuimu malam ini? Aku perlu bicara.Arissa menatap layar ponselnya sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menarik napas dalam sebelum mengetik balasan.Arissa: Baiklah. Aku akan menunggumu.Tak butuh waktu lama, Nathaniel tiba di
Malam itu, Nathaniel duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi tegang. Cahaya dari layar laptopnya memantulkan serangkaian berita negatif tentang dirinya dan perusahaannya. Markus Reinhardt telah melancarkan serangan besar, menyebarkan desas-desus yang merusak citranya di mata para investor dan klien utama.Beberapa dokumen palsu beredar luas di media bisnis, mengindikasikan bahwa ada kebocoran informasi internal perusahaan yang melibatkan Nathaniel secara langsung. Beberapa artikel bahkan menyebutnya sebagai pemimpin yang tidak kompeten, yang membiarkan perusahaannya jatuh ke tangan rival tanpa perlawanan.Arissa melihat Nathaniel dari pintu ruang kerjanya. Pria itu tampak lebih tegang dari biasanya. Sejak kabar buruk ini beredar, Nathaniel semakin sibuk menangani berbagai masalah yang datang bertubi-tubi.Arissa melangkah mendekat dan meletakkan secangkir kopi di meja Nathaniel. "Kamu sudah makan?" tanyanya lembut.Nathaniel tersentak dari lamunannya dan
Nathaniel duduk diam di kursinya, menatap layar komputer yang menampilkan grafik saham perusahaannya yang terus menurun. Pagi ini, laporan keuangan menunjukkan bahwa nilai saham perusahaan telah anjlok hampir sepuluh persen sejak rumor negatif tentang dirinya mulai menyebar. Investor yang sebelumnya percaya pada kepemimpinannya kini mulai mempertimbangkan untuk menarik modal mereka.Di luar ruangannya, Arissa melihat Nathaniel yang semakin tertekan. Pria itu nyaris tidak keluar dari kantornya dalam dua hari terakhir. Pekerjaan menumpuk, dan semua pihak mengharapkan solusi darinya.Arissa akhirnya memutuskan untuk masuk. Ia membawa secangkir kopi panas dan meletakkannya di meja Nathaniel. "Kamu harus istirahat sejenak," katanya lembut.Nathaniel mengangkat kepalanya, matanya tampak lelah. "Aku tidak bisa, Arissa. Kalau aku berhenti sekarang, semuanya bisa hancur."Arissa menghela napas dan duduk di kursi di seberangnya. "Aku tahu ini sulit, t
Malam semakin larut, namun suasana di kantor Nathaniel masih dipenuhi ketegangan. Di dalam ruangan kerjanya, Nathaniel duduk dengan wajah lelah, menatap layar laptopnya yang penuh dengan dokumen dan laporan. Ia telah bekerja tanpa henti sejak pagi, mencoba mencari celah untuk membalikkan keadaan, tetapi setiap rencana yang ia buat terasa seperti menemui jalan buntu.Di seberang meja, Arissa duduk dengan ekspresi khawatir. Ia melihat bagaimana beban yang ditanggung Nathaniel semakin berat, dan itu membuatnya semakin ingin membantu. Namun, ia juga sadar bahwa Nathaniel adalah pria yang tidak mudah menerima bantuan, apalagi jika itu menyangkut harga dirinya sebagai pemimpin perusahaan.“Aku sudah memikirkan sesuatu,” kata Arissa akhirnya, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.Nathaniel mengangkat kepalanya dari layar laptop dan menatapnya. “Apa itu?”Arissa menarik napas dalam sebelum menjelaskan, “
Malam telah larut, tetapi lampu-lampu di gedung kantor Nathaniel masih menyala terang. Di dalam ruangan kerjanya, Nathaniel duduk dengan tatapan kosong, menatap layar komputer yang penuh dengan laporan keuangan dan dokumen strategi. Matanya yang sembab menunjukkan betapa sedikitnya waktu istirahat yang ia dapatkan dalam beberapa hari terakhir.Arissa berdiri tak jauh darinya, memperhatikannya dengan rasa cemas yang semakin besar. Nathaniel selalu dikenal sebagai pria yang tangguh dan penuh percaya diri, tetapi kali ini, tekanan yang terus menerus datang membuatnya terlihat seperti seseorang yang tengah berjuang di ujung jurang.“Sudah berapa lama kamu tidak tidur?” tanya Arissa dengan suara lembut.Nathaniel menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku tidak punya waktu untuk itu.”Arissa melipat tangannya di dada. “Nathaniel, kalau kamu terus seperti ini, kamu bisa jatuh sakit. Bagaimana kamu akan menghadapi Markus jika kamu bahkan tidak bisa menjaga di
Nathaniel duduk di kursi kantornya, kepalanya tertunduk, tangannya terkepal di atas meja. Ruangan yang biasanya terasa seperti pusat kendali penuh kekuatan, kini seakan berubah menjadi tempat yang penuh bayangan ketidakpastian.Semua tekanan yang menumpuk semakin membebaninya. Markus Reinhardt telah menggempur perusahaan dari segala sisi—mencemari reputasi, merusak kepercayaan investor, bahkan menanam pengkhianat di dalam perusahaannya sendiri.Nathaniel telah melalui banyak hal dalam hidupnya, tapi kali ini, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terpojok.Arissa memperhatikannya dengan tatapan khawatir. Pria yang selama ini selalu terlihat tangguh kini tampak rapuh. Ia tahu betul bahwa Nathaniel bukan tipe orang yang mudah menyerah, tapi situasi kali ini benar-benar menguji batasnya.Tanpa ragu, Arissa melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di seberang meja Nathaniel. Ia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya berkata dengan s
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa