Nathaniel duduk di ruang kantornya dengan ekspresi wajah yang tegang. Tumpukan dokumen berserakan di meja, mencerminkan kekacauan yang tengah terjadi dalam hidupnya. Serangan dari Markus semakin menggila. Informasi-informasi yang tersebar di media dan dunia bisnis mengenai keluarganya telah mencoreng reputasinya secara signifikan. Beberapa klien yang awalnya setia mulai menarik diri, sementara para investor mulai meragukan posisinya sebagai pemimpin.
Arissa mengetuk pintu sebelum masuk dengan hati-hati. Ia bisa melihat kelelahan yang terpancar dari wajah Nathaniel. Pria itu terlihat seakan memikul beban dunia di pundaknya. Tanpa berkata-kata, Arissa meletakkan secangkir kopi panas di meja Nathaniel.
“Terima kasih,” gumam Nathaniel, suaranya terdengar serak.
Arissa menarik kursi dan duduk di depannya. Ia bisa merasakan tekanan yang semakin berat di pundak Nathaniel. “Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kau harus tetap fokus, Nathaniel. Kau tidak boleh membiarkan Mar
Arissa duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat isi dokumen yang sedang terbuka. Pikirannya terlalu sibuk dengan hal lain—lebih tepatnya, dengan seseorang. Nathaniel.Ia semakin sulit menghindari perasaannya. Setiap kali melihat bagaimana Nathaniel berjuang menghadapi semua tekanan yang datang bertubi-tubi, bagaimana lelaki itu tetap teguh meski dihujani berbagai masalah, ia tidak bisa mengabaikan kekaguman yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.Namun, ia tetap berusaha menahan diri. Rasa takut masih ada di dalam hatinya, berakar dari pengalaman pahit di masa lalu. Ia tidak ingin terjatuh dalam hubungan yang nantinya hanya akan melukai dirinya sendiri. Tidak lagi.Pintu ruangannya terbuka pelan, dan Lila, sahabat sekaligus rekan kerjanya, masuk dengan membawa secangkir kopi. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan cangkir itu di meja Arissa.Arissa tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja. Hanya... ba
Malam itu, setelah pertemuan dengan klien penting yang penuh tekanan, Nathaniel merasa butuh udara segar. Beban bisnis yang semakin berat, ditambah dengan pengkhianatan keluarganya, membuat pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Ia menoleh ke arah Arissa yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Wanita itu terlihat lelah, tapi tetap menunjukkan ketenangan seperti biasa. Nathaniel tahu bahwa ia sangat beruntung memiliki Arissa di sisinya, meskipun hubungan mereka masih dalam ketidakpastian.Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan mobil ke sebuah taman kota yang tenang. Lampu-lampu jalan menyala lembut, menerangi jalan setapak yang dipenuhi pepohonan rindang. Ia mematikan mesin mobil dan menoleh ke Arissa."Ayo keluar sebentar," katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Arissa menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka pintu. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang jalan setapak yang sepi. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, membe
Malam itu, di balkon apartemen Nathaniel yang menghadap ke kota yang berkilauan, Arissa duduk dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuannya. Hawa malam yang sejuk membawa aroma hujan yang tertinggal dari sore tadi, menambah suasana tenang yang mengelilingi mereka. Namun, dalam hati Arissa, badai masih berkecamuk.Nathaniel duduk di sebelahnya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kesabaran. Sejak pernyataan cintanya malam sebelumnya, ia tidak mendesak Arissa untuk segera menjawab. Ia tahu bahwa wanita itu masih berjuang dengan ketakutannya sendiri.Akhirnya, setelah keheningan yang panjang, Arissa menghela napas dalam-dalam sebelum berkata, “Nathaniel, aku ingin percaya padamu. Aku ingin percaya bahwa kita bisa memiliki sesuatu yang nyata. Tapi... aku tidak bisa mengabaikan rasa takut yang terus menghantuiku.”Nathaniel mengernyit, tidak sepenuhnya terkejut dengan kata-kata Arissa, tetapi tetap merasa sedih mendengarnya. “Aku tidak akan memaksamu, Arissa. Aku hanya ingin
Nathaniel duduk di seberang Arissa, matanya menatapnya dengan penuh ketulusan. Mereka berada di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota, tempat yang cukup tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan bisnis mereka. Aroma kopi yang menguar di udara terasa menenangkan, tetapi hati Arissa masih dipenuhi keraguan dan ketakutan."Aku tidak akan memaksamu, Arissa," kata Nathaniel dengan suara yang lembut namun tegas. "Aku tahu kau masih memiliki luka di masa lalu, dan aku tidak akan mencoba menghapusnya secara paksa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, dan aku akan tetap berjuang untuk mendapatkan kepercayaanmu."Arissa mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan lampu-lampu jalan yang mulai menyala saat senja merayap masuk. Kata-kata Nathaniel menyentuh hatinya, tetapi ketakutan itu masih ada. Ia sudah terlalu sering dikecewakan, dan bayangan masa lalu masih menghantuinya. Bagaimana jika Nathaniel juga hanya sementara? Bagaimana jika ia akhirnya pergi dan meninggal
Masalah keluarga Nathaniel semakin memburuk. Informasi yang disebarkan oleh Markus Reinhardt semakin menekan kredibilitasnya di dunia bisnis. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah pengkhianatan yang datang dari dalam keluarganya sendiri. Beberapa anggota keluarganya yang selama ini terlihat netral ternyata memiliki kepentingan tersembunyi dan mulai memperkeruh situasi. Mereka tidak hanya menjalin hubungan bisnis dengan Markus, tetapi juga diam-diam membocorkan informasi internal perusahaan demi keuntungan pribadi.Nathaniel merasa kewalahan. Perusahaannya berada di ambang krisis, dan setiap keputusan yang diambil seolah selalu menjadi bumerang. Ia mencoba mencari solusi terbaik, tetapi semakin banyak hambatan yang muncul. Beberapa investor mulai menarik diri, proyek-proyek besar terancam gagal, dan tekanan dari media semakin meningkat. Seolah-olah, seluruh dunia berkonspirasi untuk menjatuhkannya.Di tengah kekacauan ini, hanya ada satu orang yang selalu berada di sisinya—Arissa. M
Arissa mengamati Nathaniel yang duduk di belakang meja kerjanya, ekspresi wajahnya menunjukkan beban berat yang tengah ia pikul. Mata pria itu memancarkan kelelahan, namun ia tetap berusaha menjaga ketegaran. Setiap kali Arissa melihat Nathaniel seperti ini, hatinya terasa semakin terikat pada pria itu, meskipun ia masih enggan mengakuinya sepenuhnya.Situasi semakin buruk bagi Nathaniel. Masalah keluarganya tidak hanya berpengaruh terhadap bisnis, tetapi juga merusak hubungan profesionalnya dengan beberapa mitra utama. Saudara tirinya, Richard, tampaknya terus-menerus menyabotase langkah Nathaniel, menggunakan koneksi lamanya untuk menanamkan keraguan di benak para investor dan pemegang saham.Nathaniel menekan jemarinya ke pelipis, mencoba meredakan rasa sakit kepala yang terus menghantuinya. "Aku tidak menyangka keluargaku sendiri akan berusaha menjatuhkanku," katanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Arissa berdiri di dekat meja, ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Nathaniel.
Pertemuan dengan mitra bisnis yang selama ini diragukan akhirnya membuahkan hasil positif. Nathaniel berhasil meyakinkan para pemegang saham bahwa perusahaannya masih berada dalam kendali yang aman, meskipun ada berbagai serangan dari Markus dan keluarganya sendiri. Ini adalah kemenangan kecil, tetapi sangat berarti di tengah tekanan yang semakin besar.Arissa berdiri di dekat jendela kantor Nathaniel, melihat pemandangan kota yang berkilauan di bawah cahaya lampu malam. Hatinya terasa lebih ringan setelah melihat bagaimana Nathaniel berhasil menghadapi krisis ini dengan tenang dan penuh strategi. Ia merasa bangga, bukan hanya pada Nathaniel, tetapi juga pada dirinya sendiri.Ia telah banyak berkontribusi dalam keberhasilan ini—membantu Nathaniel menganalisis strategi lawan, mengatur ulang komunikasi dengan investor, serta memastikan bahwa perusahaan tetap berjalan dengan stabil. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arissa merasa bahwa ia bisa mempercayai seseorang lagi.Namun
Nathaniel tidak pernah tergesa-gesa dalam mencintai Arissa. Ia tahu bahwa luka yang dihadapi wanita itu bukanlah sesuatu yang bisa sembuh dalam semalam. Ia bisa merasakan betapa Arissa berjuang untuk membiarkan dirinya percaya lagi, tetapi di saat yang sama, rasa takut dalam dirinya masih menjadi tembok yang sulit ditembus.Namun, Nathaniel bukan pria yang mudah menyerah. Ia memilih untuk tetap berada di sisinya, tidak dengan desakan atau paksaan, melainkan dengan ketulusan yang perlahan-lahan mulai menggoyahkan ketakutan Arissa.Malam itu, setelah seharian bekerja keras, mereka berdua akhirnya mengambil waktu untuk beristirahat sejenak. Nathaniel mengajak Arissa ke sebuah restoran kecil di pinggir kota, jauh dari sorotan publik dan suasana bisnis yang penuh tekanan.“Tempat ini memang sederhana,” kata Nathaniel sambil menarik kursi untuknya, “tapi aku pikir kau akan menyukainya.”Arissa melihat sekeliling. Restoran itu memiliki suasana yang hangat, dengan lampu kuning redup dan musik
Malam yang sunyi terasa begitu menegangkan bagi Nathaniel dan Arissa. Mereka sudah melewati berbagai cobaan, dari pengkhianatan Damien hingga perjuangan melawan pengaruh Markus dalam bisnis mereka. Namun, semua itu belum berakhir. Markus, seperti ular berbisa yang terluka, tidak akan mundur begitu saja tanpa perlawanan terakhir.Berita tentang kebangkitan kembali perusahaan Nathaniel menyebar dengan cepat. Setelah pertemuan dengan para investor, kepercayaan terhadap kepemimpinan Nathaniel mulai pulih. Klien yang sempat ragu kini kembali menjalin kerja sama, dan perlahan tapi pasti, perusahaan yang hampir runtuh itu kembali berdiri kokoh.Namun, di sisi lain, Markus semakin terpojok. Semua rencananya untuk menjatuhkan Nathaniel berantakan. Sekutunya satu per satu meninggalkannya, dan kini ia hanya memiliki segelintir orang yang masih setia padanya.“Aku tidak akan membiarkan Nathaniel menang begitu saja,” gumam Markus dengan penuh kebencian saat ia duduk di ruang kantornya yang semakin
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak skandal yang mengguncang perusahaan Nathaniel. Banyak hal telah berubah, tetapi satu yang tetap konstan adalah keberadaan Arissa di sisinya.Nathaniel bukanlah pria yang mudah menunjukkan kelemahannya, tetapi setelah semua yang terjadi, ia belajar bahwa tidak semua beban harus ia pikul sendiri. Dan Arissa? Ia bukan hanya sekadar seseorang yang mengisi keheningan di saat Nathaniel termenung—ia adalah cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan.Arissa menatap Nathaniel dari seberang meja kerja mereka. Selama beberapa minggu terakhir, ia semakin menyadari satu hal: hubungannya dengan Nathaniel bukan sekadar hubungan profesional atau bahkan sekadar perasaan suka yang samar. Ia benar-benar peduli pada pria itu, lebih dari yang pernah ia bayangkan.Ia melihat Nathaniel berusaha keras, bekerja siang dan malam, memperbaiki apa yang sempat hancur akibat pengkhianatan Damien. Tapi di balik sikapnya yang tegar, Arissa tahu bahwa Nathaniel masih menyimpan
Langit pagi terlihat kelabu ketika Nathaniel berdiri di depan jendela kantornya, menatap kosong ke arah kota yang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Sudah beberapa hari sejak Damien disingkirkan dari perusahaan, tetapi luka yang ditinggalkan masih menganga di hatinya.Tidak peduli seberapa besar ia mencoba menepis rasa sakit itu, kehilangan tetaplah kehilangan.Nathaniel selalu berpikir bahwa ia telah melalui banyak hal dalam hidupnya—tantangan bisnis, persaingan, bahkan pengkhianatan dari orang luar. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi pengkhianatan dari saudara kandungnya sendiri.Damien bukan hanya saudaranya. Ia adalah seseorang yang telah ia besarkan, seseorang yang ia lindungi dengan segenap hatinya. Tapi nyatanya, kepercayaan itu tidak cukup.Nathaniel mengepalkan tangannya. Ia bukan orang yang suka berlarut dalam kesedihan, tetapi kali ini berbeda. Ada bagian dari dirinya yang merasa hancur, seolah sesuatu yang penting telah diambil darinya.Pintu kantor
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu
Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku
Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi