Vanessa berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, kegelisahan tampak jelas di wajahnya. Sejak beberapa hari terakhir, segalanya mulai tidak terkendali. Informasi yang seharusnya tetap tersembunyi perlahan-lahan mulai terungkap. Ia tidak tahu dari mana kebocoran itu terjadi, tapi satu hal yang pasti—Arissa terlibat dalam semua ini.Wanita itu lebih cerdik dari yang ia duga. Awalnya, Vanessa menganggap Arissa hanya seorang terapis yang naif dan tidak tahu apa-apa tentang dunia bisnis. Tetapi, melihat bagaimana Arissa berhasil mendapatkan kepercayaan Nathaniel kembali, Vanessa mulai merasa terancam. Kini, dengan bukti-bukti yang mulai mengarah kepadanya, Vanessa tahu waktunya semakin menipis.Ia duduk dengan gusar, memandangi layar komputernya yang menampilkan laporan keuangan perusahaan. Ia telah bekerja keras untuk merusak proyek-proyek Nathaniel dan menyabotase beberapa kesepakatan bisnis penting. Namun, Markus memberitahu bahwa efek dari sabotase itu mulai memudar. Nathaniel berhasil
Suasana di kantor Nathaniel terasa tegang pagi itu. Semua staf bisa merasakan perubahan atmosfer yang berbeda. Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara para karyawan saat mereka melihat Nathaniel berjalan tegap menuju ruang rapat dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam.Arissa berdiri di dekat pintu kantornya, memperhatikan sosok Nathaniel yang tampak tegar namun jelas terbebani oleh keputusan yang akan diambilnya. Ia tahu betapa sulitnya ini bagi Nathaniel. Vanessa bukan hanya sekadar karyawan, tapi seseorang yang sudah bertahun-tahun berada di sisinya, membantu mengembangkan perusahaan hingga sebesar sekarang.Namun, dengan bukti-bukti yang telah ditemukan, tidak ada lagi keraguan. Vanessa tidak hanya berkhianat secara profesional, tetapi juga mencoba menghancurkan hubungan pribadi Nathaniel dengan menyebarkan kebohongan yang merusak kepercayaannya pada Arissa. Semua ini direncanakan dengan licik dan penuh perhitungan.Nathaniel berdiri di depan jendela besar ruang rapat, memandan
Pemecatan Vanessa membawa gelombang kejut ke seluruh perusahaan. Kabar mengenai kepergiannya dengan cepat menyebar, membuat sebagian besar karyawan terkejut dan tak sedikit yang merasa lega. Namun, ada juga yang masih mempertanyakan keputusan tersebut, terutama mereka yang selama ini menganggap Vanessa sebagai sosok yang berpengaruh dan loyal kepada perusahaan.Nathaniel duduk di kantornya, menatap laporan-laporan yang bertumpuk di meja. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian sebelumnya. Meskipun pemecatan Vanessa adalah keputusan yang harus diambil, ia tidak bisa menepis rasa bersalah yang mulai menyelinap ke dalam hatinya. Bagaimanapun juga, Vanessa telah bekerja bersamanya selama bertahun-tahun. Kepercayaannya yang buta selama ini telah membuatnya gagal melihat pengkhianatan yang ada di depan mata.Arissa masuk ke dalam kantor dengan membawa secangkir kopi. “Kau butuh ini,” katanya lembut sambil meletakkan cangkir itu di meja Nathaniel.Nathaniel menoleh dan tersenyum tipis. “Teri
Meskipun badai di perusahaan mulai mereda, hati Arissa masih dipenuhi oleh gelombang ketidakpastian. Hubungannya dengan Nathaniel mengalami perubahan signifikan—mereka semakin sering bekerja bersama, berbagi ide, bahkan saling mendukung dalam menghadapi masa sulit. Namun, di balik semua itu, ada dinding tak kasat mata yang masih berdiri di antara mereka.Arissa menyadari bahwa dirinya tidak bisa sepenuhnya melepaskan ketakutan yang masih menghantui. Nathaniel adalah pria yang luar biasa, seseorang yang dengan sabar dan tulus ingin mendekatinya. Tapi bisakah ia benar-benar membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam? Bagaimana jika semuanya berakhir dengan kekecewaan?Di dalam kantor Nathaniel, sore itu, mereka duduk berhadapan. Nathaniel sedang membaca laporan keuangan terbaru, sementara Arissa meninjau beberapa dokumen yang berkaitan dengan proyek baru perusahaan. Suasana di antara mereka terasa nyaman, namun juga penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.“Apa kau yakin tidak ingin pulang
"Bagaimana kalau kita makan di tempat yang lebih tenang?" Nathaniel bertanya ketika mereka berdiri di dekat mobilnya.Arissa mengerutkan kening. "Makan malam? Hanya kita berdua?"Nathaniel tersenyum lembut. "Ya, hanya kita berdua. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Arissa. Tidak ada agenda tersembunyi, aku hanya ingin berbicara denganmu di luar suasana kantor."Arissa ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi jangan pilih tempat yang terlalu mewah. Aku lebih suka sesuatu yang sederhana."Nathaniel mengangguk setuju. "Aku tahu tempat yang sempurna."Mereka akhirnya tiba di sebuah restoran kecil dengan suasana hangat dan nyaman. Tempat itu bukan restoran mahal dengan pelayanan mewah, melainkan sebuah kedai yang terkenal dengan makanan rumahan yang lezat. Arissa langsung merasa lebih santai.Setelah mereka memesan makanan, Nathaniel menatap Arissa dengan penuh perhatian. "Aku menyadari satu hal," katanya perlahan. "Kita sering berbicara tentang pekerjaanku, tentang perusahaa
Kedekatan antara Arissa dan Nathaniel semakin nyata dalam keseharian mereka. Setelah melewati berbagai konflik, baik dalam hubungan pribadi maupun masalah perusahaan, keduanya kini lebih sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi juga sebagai dua insan yang saling memahami.Nathaniel mulai membiasakan diri untuk mengajak Arissa makan malam, berjalan-jalan di taman kota setelah seharian bekerja, atau sekadar menikmati kopi di sebuah kafe kecil yang memiliki suasana tenang. Awalnya, Arissa merasa canggung dengan kebiasaan baru ini. Ia bukan tipe wanita yang terbiasa diperhatikan dengan begitu hangat.Suatu sore, setelah mereka menyelesaikan rapat penting di kantor, Nathaniel mengajak Arissa berjalan-jalan di taman dekat pusat kota. Matahari mulai tenggelam, langit berubah warna menjadi oranye keemasan yang memancarkan kehangatan. Arissa merasa aneh ketika Nathaniel secara alami menyesuaikan langkahnya agar tetap sejajar dengannya."Kau tidak keberatan ber
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca dokumen yang terbuka di depannya. Pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan Arissa—tentang bagaimana ia bisa merasakan perubahan dalam hubungan mereka, tetapi juga menyadari ada sesuatu yang masih menghambat wanita itu untuk benar-benar membuka diri.Beberapa minggu terakhir, mereka semakin dekat, tetapi setiap kali Nathaniel merasa hubungan mereka hampir mencapai titik yang lebih dalam, Arissa selalu mundur. Ia tidak ingin menekan Arissa, tetapi di saat yang bersamaan, ia juga tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian.Lila, yang kebetulan masuk ke ruangannya untuk menyerahkan beberapa berkas, memperhatikan ekspresi Nathaniel yang tampak jauh lebih serius dari biasanya."Kelihatannya ada yang mengganggu pikiranmu," kata Lila hati-hati.Nathaniel menghela napas dan menutup laptopnya. "Aku hanya berpikir tentang Arissa."Lila tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di depan meja Nathaniel.
Nathaniel duduk di kursi ruang rapat dengan rahang mengeras. Selama beberapa bulan terakhir, Markus Reinhardt telah menjadi ancaman besar bagi perusahaannya, tetapi kali ini, serangannya terasa lebih personal. Bukan hanya tentang bisnis, tapi juga tentang keluarganya.Ia menatap layar tablet yang ada di depannya, membaca ulang berita yang baru saja dirilis oleh salah satu media bisnis ternama. Berita itu tidak hanya menyoroti ketegangan antara perusahaan mereka, tetapi juga membeberkan detail tentang kehidupan pribadinya—termasuk beberapa skandal lama yang melibatkan keluarganya."Ini bukan kebetulan," gumamnya pelan.Lila, yang duduk di sampingnya, ikut membaca berita itu dan menghela napas panjang. "Sepertinya Markus benar-benar tidak akan berhenti sampai kau benar-benar hancur."Nathaniel mengangkat kepalanya, menatap Lila dengan ekspresi tajam. "Yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah... bagaimana dia bisa mendapatkan informasi ini?"Lila menatapnya ragu. "Kau berpikir ada seseo
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa