Pagi itu, desa tampak tenang seperti biasanya. Penduduk desa yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari, tak menyadari bahaya yang semakin dekat. Namun, bagi Akiyama, ketenangan itu palsu. Apa yang terjadi semalam terus berputar dalam pikirannya—bayangan hidup, kekuatan yang meledak dari dalam dirinya, dan ancaman Zerathos yang semakin nyata.
Di dalam kuil, Shin menatap serius pada Akiyama dan Yumi yang duduk di hadapannya. Keduanya baru saja kembali dari hutan, dengan berita tentang bayangan yang menyerang mereka. Wajah Shin tampak lebih tegang dari biasanya, seakan dia sudah mengantisipasi berita buruk itu. "Kalian pasti lelah," kata Shin sambil menghela napas panjang. "Tapi aku tak punya pilihan lain. Akiyama, kau harus tahu bahwa apa yang kau hadapi bukanlah sekadar bayangan biasa. Itu adalah Manifestasi Kegelapan—bentuk fisik dari kekuatan Zerathos." Akiyama mengernyit. "Manifestasi Kegelapan? Apa itu artinya Zerathos sudah bangkit?" Akiyama berdiri di tengah lapangan, masih merasakan sisa-sisa energi yang berdenyut dalam tubuhnya. Sekarang dia tahu bahwa kekuatannya nyata, tapi itu juga membuatnya sadar betapa berbahayanya potensi yang ada di dalam dirinya. Api yang dia lepaskan tadi tidak hanya membakar makhluk bayangan, tapi juga menghancurkan beberapa bangunan di desa. Penduduk desa yang selamat menatapnya dengan rasa takut bercampur hormat. Yumi mendekat, menggenggam lengannya dengan lembut. "Akiyama, kau memang memiliki kekuatan besar. Tapi kita harus berhati-hati. Setiap tindakanmu akan berdampak besar, baik bagi kita maupun dunia." Akiyama mengangguk, menyadari betul tanggung jawab barunya. Tantangan yang akan datang tidak hanya soal Zerathos, tapi juga bagaimana dia bisa mengendalikan kekuatan yang semakin tumbuh ini tanpa menghancurkan segalanya di sekitarnya. Shin menggeleng pelan. "Belum. Tapi segel yang selama ini menahannya semakin lemah. Makhluk yang kau lihat semalam adalah tanda bahwa Zerathos mulai mempengaruhi dunia dari dalam segelnya. Semakin lama, semakin banyak manifestasi yang akan muncul." Yumi, yang sejak tadi mendengarkan dengan cemas, tiba-tiba angkat bicara. "Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan Zerathos? Bukankah kau bilang, Akiyama adalah kunci?" Shin mengangguk. "Betul. Akiyama, kekuatan yang kau tunjukkan semalam adalah bukti bahwa kau memiliki potensi besar. Namun, kekuatan itu belum sepenuhnya terbangun. Kau harus belajar mengendalikannya sebelum Zerathos benar-benar bebas." Akiyama merasakan beban berat di dadanya. "Tapi bagaimana caranya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kekuatan itu muncul." "Itu akan membutuhkan waktu dan latihan," kata Shin. "Dan bukan hanya latihan fisik. Kau juga harus memperkuat tekadmu, karena Zerathos akan mencoba mempengaruhi pikiran dan hatimu." Shin berdiri, lalu berjalan menuju rak tua di sudut kuil. Dari dalam rak itu, ia mengambil sebuah gulungan tua yang ditulis dengan tinta emas. Gulungan itu terlihat sangat kuno, seolah-olah sudah berusia ribuan tahun. "Ini adalah Gulungan Phoenix, salah satu peninggalan terakhir dari masa sebelum bencana besar," kata Shin sambil menyerahkan gulungan itu kepada Akiyama. "Di dalamnya terdapat catatan tentang Phoenix, makhluk mitologi yang kekuatannya kau warisi. Hanya sedikit yang tersisa dari pengetahuan tentang Phoenix, tapi ini mungkin bisa membantumu memahami kekuatan yang kau miliki." Akiyama membuka gulungan itu dengan hati-hati. Tulisan-tulisan kuno yang rumit terukir di atasnya, dalam bahasa yang hampir tak bisa ia mengerti. Namun, satu simbol menarik perhatiannya—sebuah burung besar dengan sayap yang terbakar cahaya merah menyala, jelas menggambarkan Phoenix. Di bawah simbol itu, tertulis sebuah kalimat yang bisa dia pahami: "Api Phoenix adalah api pembaharuan. Kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan baru." Akiyama merasakan sesuatu yang dalam bergema di dalam dirinya saat membaca kalimat itu. Mungkinkah itu berarti kekuatannya adalah kekuatan yang bisa mengubah dunia? Sebelum Akiyama sempat memikirkannya lebih jauh, suara gemuruh terdengar dari luar kuil. Semua orang langsung berlari keluar. Di depan mereka, terlihat sekelompok penduduk desa yang berlarian panik ke arah mereka, wajah mereka penuh ketakutan. "Ada yang menyerang desa!" teriak salah satu dari mereka. "Bayangan hidup itu kembali!" Akiyama merasakan tubuhnya menegang. Tanpa berpikir panjang, dia berlari ke arah pusat desa, diikuti oleh Yumi dan Shin. Sesampainya di sana, mereka melihat makhluk bayangan yang lebih besar dari sebelumnya, menghancurkan rumah-rumah penduduk. Wajahnya seperti kabut hitam yang terus berubah bentuk, matanya bersinar merah terang, menebar rasa takut di hati siapapun yang melihatnya. "Kau harus menghadapi makhluk itu, Akiyama," kata Shin dengan nada mendesak. "Ini adalah kesempatanmu untuk memahami kekuatanmu." Akiyama ragu sejenak. Jantungnya berdebar kencang, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Namun, dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain. Jika dia tidak bertindak, desa ini akan hancur. Yumi berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. "Aku percaya padamu, Akiyama. Kau bisa melakukannya." Dengan napas dalam, Akiyama maju ke depan. Saat dia mendekati makhluk itu, dia merasakan kembali energi aneh yang mengalir dalam dirinya, seperti api yang mulai menyala di dalam dadanya. Makhluk bayangan itu melihatnya dan langsung menyerang, meluncur dengan kecepatan yang luar biasa. Akiyama mengangkat tangannya, mencoba memanggil kekuatan yang ia rasakan semalam. Namun, tidak ada yang terjadi. Bayangan itu semakin mendekat, dan dalam sekejap, makhluk itu melingkarkan dirinya di sekitar Akiyama, meremasnya dengan kekuatan yang sangat besar. Nafas Akiyama tersengal-sengal, dan dia mulai kehilangan kesadaran. Namun, di tengah rasa putus asa itu, sesuatu dalam dirinya mulai bangkit. Gambar burung Phoenix dari gulungan tadi muncul di pikirannya. "Kematian bukanlah akhir..." bisik suara dalam hatinya. Tiba-tiba, Akiyama merasakan api menyala dari dalam tubuhnya. Matanya terbuka lebar, dan cahaya merah menyala dari tubuhnya. Bayangan yang melingkar di sekelilingnya langsung tersentak mundur, seolah-olah terbakar oleh cahaya itu. Dengan teriakan keras, Akiyama melepaskan ledakan energi dari dalam dirinya. Api merah melesat ke segala arah, membakar bayangan itu hingga menghilang dalam asap hitam. Semua orang terdiam, menyaksikan pemandangan itu dengan kagum. Akiyama berdiri di tengah lapangan, tubuhnya masih memancarkan sisa-sisa cahaya merah. Nafasnya terengah-engah, tapi dia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan bahwa kekuatan Phoenix benar-benar ada dalam dirinya. Shin mendekatinya, senyum tipis muncul di wajahnya. "Kau berhasil, Akiyama. Tapi ini baru permulaan. Kekuatannya akan terus tumbuh, dan tantangan yang kau hadapi akan semakin besar." Akiyama hanya mengangguk, merasa lega namun sekaligus khawatir. Dia tahu bahwa makhluk-makhluk seperti ini hanya akan menjadi lebih kuat. Zerathos masih tersegel, tapi kekuatannya mulai merasuki dunia ini. Dan sekarang, Akiyama adalah satu-satunya yang bisa menghentikannya. Dengan ancaman Zerathos yang semakin nyata, Akiyama harus mulai berlatih dengan lebih keras, dan mencari sekutu yang bisa membantunya dalam perjalanan yang berbahaya ini.Pagi itu, desa terlihat dalam keadaan kacau setelah serangan malam sebelumnya. Penduduk yang selamat berkumpul untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur, namun bayang-bayang ketakutan masih menyelimuti mereka. Akiyama memandangi desa dari kejauhan, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Apa yang seharusnya menjadi penyelamatan, berakhir dengan kehancuran lebih besar. Shin mendekatinya. Wajahnya tenang, namun ada ketegasan di dalamnya. "Jangan biarkan ini mengganggumu, Akiyama," ucap Shin dengan nada bijak. "Apa yang kau lakukan semalam adalah langkah pertama untuk memahami kekuatanmu. Namun, kau masih perlu belajar lebih banyak tentang pengendalian." Akiyama mengangguk pelan, namun beban di dadanya belum sepenuhnya hilang. "Aku tahu, tapi aku takut, Shin. Setiap kali kekuatan itu muncul, aku merasa kehilangan kendali. Bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa menghentikannya? Bagaimana jika aku justru menghancurkan semua yang ingin kulindungi?" Shin menepuk bahunya dengan lembut. "Itulah s
Saat Akiyama melangkah masuk ke dalam Kuil Api Abadi, dia merasakan perubahan langsung dalam atmosfer. Udara di dalam kuil terasa hangat dan nyaman, berbeda dari dinginnya pegunungan di luar. Cahaya kemerahan yang berasal dari api abadi di sudut-sudut ruangan memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Meskipun kuil ini telah ditinggalkan selama ratusan tahun, api itu tetap menyala tanpa pernah padam. Yumi dan Shin mengikuti di belakangnya, memperhatikan setiap detail. Yumi tampak terpesona oleh keagungan tempat ini, sementara Shin tetap tenang, seolah-olah dia sudah sering melihat pemandangan seperti ini. Namun, Akiyama tahu bahwa tempat ini bukan sekadar bangunan tua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di balik dinding-dinding kuno ini. “Ini... luar biasa,” gumam Yumi sambil menatap api abadi yang menyala terang di depan mereka. “Bagaimana mungkin api ini bisa tetap menyala selama ratusan tahun?” Shin mendekat, lalu menjelaskan dengan suara tenang. “Api ini bukan api
Setelah beberapa hari Akiyama menghabiskan waktu di Kuil Api Abadi, dia merasa kekuatannya semakin stabil. Setiap kali dia melatih dirinya di hadapan api suci, kendalinya atas energi Phoenix semakin kuat. Namun, Shin selalu mengingatkannya bahwa latihan di tempat suci ini hanyalah permulaan. Dunia luar jauh lebih kejam, dan kekuatan Akiyama akan diuji saat dia menghadapi ancaman nyata. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Yumi sambil memperhatikan Akiyama yang baru saja menyelesaikan latihannya pagi itu. Akiyama tersenyum tipis. “Lebih baik. Aku bisa merasakan kekuatan itu lebih terarah. Tidak lagi meluap-luap seperti sebelumnya. Tapi tetap saja... aku masih belum yakin apakah aku siap menghadapi Zerathos.” Shin yang sedang duduk di sudut ruangan, menatap keduanya. “Kekuatanmu berkembang pesat, Akiyama. Tapi satu hal yang perlu kau ingat—kekuatan ini bukan hanya soal kemampuan fisik. Ini soal batinmu. Setiap raja Phoenix yang pernah ada harus menguasai dirinya terlebih dahulu sebelu
Ledakan energi yang dikeluarkan oleh Akiyama menciptakan gelombang kehangatan yang menyebar ke seluruh ruangan, membuat semua makhluk bayangan menghilang seolah-olah ditelan oleh cahaya. Api suci yang bersinar di sekelilingnya memberi rasa aman dan kekuatan, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang terhubung dengan semua Phoenix yang pernah ada. Namun, di tengah kemenangan ini, Ragnar tidak tampak terpengaruh. Dia tetap berdiri di tempatnya, wajahnya menampilkan ekspresi mengesankan. “Menarik sekali, Akiyama. Kau telah membangkitkan kekuatanmu. Tapi, apakah kau pikir itu sudah cukup untuk mengalahkanku?” Akiyama mengatur napasnya, merasa kelelahan setelah menggunakan kekuatan penuh itu. Meskipun dia berhasil mengalahkan makhluk-makhluk bayangan, Ragnar tetap menjadi ancaman yang nyata. “Aku tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa kuat kau, aku akan melindungi orang-orang yang aku cintai!” Ragnar mengangkat bahunya, seolah meremehkan semangat Akiyama. “Cinta? Itu sangat menggelik
Setelah membersihkan sisa-sisa kekuatan kegelapan yang tersisa di kuil, mereka berkumpul untuk mendiskusikan langkah berikutnya. "Zerathos pasti sudah tahu kita mengalahkan tangan kanannya," kata Shin, wajahnya serius. "Dia tidak akan tinggal diam. Kita harus bergerak cepat sebelum dia mengambil tindakan balasan." Yumi menyisir rambutnya yang kusut, matanya tampak lelah namun penuh tekad. "Tapi, ke mana kita harus pergi? Zerathos bisa berada di mana saja, dan kekuatan kegelapannya menyelimuti banyak wilayah." Akiyama menatap api yang perlahan mulai redup di tengah kuil. Api suci yang memberinya kekuatan, kini tampak seperti simbol bahwa waktunya untuk bertindak sudah tiba. Dia mengingat pesan dari roh Phoenix yang pernah muncul dalam mimpinya. "Ada satu tempat... sebuah kota tua di selatan, tempat di mana Phoenix pertama kali muncul di dunia ini. Tempat itu mungkin menyimpan jawaban tentang cara mengalahkan Zerathos." Shin mengangguk perlahan, tampaknya mengenali tempat yang d
Setelah pertarungan yang melelahkan melawan sosok berjubah dan makhluk bayangannya, Akiyama, Yumi, dan Shin berdiri di tengah hutan yang kini terasa lebih tenang. Kabut yang sebelumnya menutupi area itu perlahan menghilang, dan cahaya matahari mulai menembus celah-celah pepohonan. Mereka merasakan lega, tetapi kelelahan masih menyelimuti tubuh mereka. “Apakah kalian baik-baik saja?” tanya Akiyama, memeriksa keadaan Yumi dan Shin. “Ya, sedikit lelah, tapi kita masih bisa melanjutkan,” jawab Shin, mengusap peluh di dahinya. “Tapi kita harus lebih berhati-hati. Zerathos pasti tidak akan membiarkan kita mencapai Alkaeron tanpa perlawanan.” Yumi mengangguk setuju, melihat ke arah hutan yang semakin terang. “Kita perlu mencari informasi lebih lanjut tentang Zerathos. Kita harus tahu apa yang akan kita hadapi di Alkaeron.” Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang berliku. Hutan yang sebelumnya terasa menakutkan kini mulai menunjukkan keindahan alamnya. Burung-burung be
Saat Akiyama, Yumi, dan Shin melangkah lebih dalam ke dalam Gua Harapan, suasana semakin mencekam. Dinding gua dipenuhi dengan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan kisah-kisah heroik dan tragedi yang pernah terjadi. Namun, ada juga gambaran gelap yang tampak mencolok di antara yang lainnya—lukisan-lukisan tentang pengkhianatan, kehilangan, dan penderitaan. Ketika mereka melewati lorong sempit yang berkelok-kelok, suara bergema kembali terdengar di sekitar mereka. “Siapa yang berani memasuki ujian ini? Hanya mereka yang kuat yang akan dapat melaluinya.” Akiyama meneguhkan hati. “Kami di sini untuk membuktikan bahwa kami layak. Kami ingin mendapatkan Api Legendaris.” Suara itu tertawa, gemanya seperti mengundang rasa takut yang mendalam. “Bukti? Kau tidak akan bisa mendapatkan artefak ini tanpa menghadapi kegelapan dalam dirimu sendiri.” Tiba-tiba, gua bergetar, dan kabut tebal muncul dari kegelapan. Akiyama dan yang lainnya merasakan ada sesuatu yang menyelimuti mereka, seolah-o
Setelah menghadapi ujian kegelapan, Akiyama dan Yumi merasakan semangat yang mengalir kembali dalam diri mereka. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan mereka belum berakhir, langkah pertama untuk mengatasi ketakutan telah mereka lalui. Namun, di saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke dalam Gua Harapan, ketenangan mereka mendadak terganggu oleh suara gemuruh dari dalam gua. “Ini tidak bagus,” kata Akiyama, menatap ke arah sumber suara. “Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi.” Yumi mengangguk, ekspresinya menunjukkan kecemasan. “Kita harus mencari Shin. Dia mungkin juga dalam masalah.” Mereka berlari menyusuri lorong gua, semakin mendekati suara gemuruh yang semakin keras. Dinding-dinding gua bergetar, dan keduanya dapat merasakan getaran yang kuat di tanah. Akiyama mencoba mengaktifkan kekuatan Phoenix di dalam dirinya, berharap agar dapat memberi mereka cahaya untuk menerangi kegelapan di depan. Saat mereka berlari, lorong itu tiba-tiba meluas, dan mereka memasuk