Pagi itu, desa terlihat dalam keadaan kacau setelah serangan malam sebelumnya. Penduduk yang selamat berkumpul untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur, namun bayang-bayang ketakutan masih menyelimuti mereka. Akiyama memandangi desa dari kejauhan, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Apa yang seharusnya menjadi penyelamatan, berakhir dengan kehancuran lebih besar.
Shin mendekatinya. Wajahnya tenang, namun ada ketegasan di dalamnya. "Jangan biarkan ini mengganggumu, Akiyama," ucap Shin dengan nada bijak. "Apa yang kau lakukan semalam adalah langkah pertama untuk memahami kekuatanmu. Namun, kau masih perlu belajar lebih banyak tentang pengendalian." Akiyama mengangguk pelan, namun beban di dadanya belum sepenuhnya hilang. "Aku tahu, tapi aku takut, Shin. Setiap kali kekuatan itu muncul, aku merasa kehilangan kendali. Bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa menghentikannya? Bagaimana jika aku justru menghancurkan semua yang ingin kulindungi?" Shin menepuk bahunya dengan lembut. "Itulah sebabnya kita harus pergi. Ada tempat di mana kau bisa belajar untuk menguasai kekuatanmu sepenuhnya. Tempat di mana Phoenix pernah dilatih dan diwariskan kepada generasi sebelumnya." "Tempat?" Akiyama mengangkat alis. "Di mana?" "Di pegunungan utara, tersembunyi di antara salju dan kabut, ada Kuil Api Abadi," jelas Shin. "Di sanalah Phoenix pertama kali muncul, dan di sana juga, kau akan menemukan jawaban tentang kekuatanmu." Akiyama menatap Shin dengan tatapan ragu, tapi dia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk mengendalikan kekuatannya. Yumi, yang berdiri tak jauh dari mereka, mendekat dengan wajah penuh tekad. "Aku akan ikut," ucap Yumi tegas, menatap langsung ke mata Akiyama. "Kau tidak bisa pergi sendiri, dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian." Akiyama terkejut, tapi dia tahu bahwa Yumi tidak akan menerima penolakan. "Yumi, ini bisa sangat berbahaya. Aku tidak ingin kau terluka." Yumi hanya tersenyum tipis. "Aku tahu apa yang akan kita hadapi, Akiyama. Tapi kau butuh seseorang yang bisa kau percaya di sisimu. Kita sudah bersama selama ini, dan aku tidak akan berhenti sekarang." Akiyama merasa lega mendengar kata-kata itu. Yumi memang selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat terburuknya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi dengan Yumi di sisinya, dia merasa lebih kuat. Shin memberikan mereka beberapa perbekalan, lalu mereka bersiap-siap untuk berangkat. Matahari pagi baru saja naik di ufuk timur ketika mereka mulai berjalan menuju pegunungan utara. Perjalanan ini akan memakan waktu beberapa hari, melintasi hutan lebat dan medan berbatu yang berbahaya. Selama perjalanan, suasana di antara mereka terasa hening. Akiyama tenggelam dalam pikirannya, merenungkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Di sisi lain, Yumi berusaha menjaga semangat, tapi bahkan dia tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang perlahan merayap di dalam dirinya. Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di tepi hutan yang besar. Pepohonan menjulang tinggi di sekitar mereka, memberikan suasana suram yang hampir mistis. Suara burung dan hewan hutan bergema di kejauhan, menambah keheningan yang aneh di antara mereka. "Aku tidak suka tempat ini," bisik Yumi, matanya terus berkeliling, waspada. "Ada sesuatu yang aneh di sini." Akiyama juga merasakan hal yang sama. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, seolah-olah hutan itu sendiri menolak keberadaan mereka. Namun, Shin tetap tenang. "Kita harus melewati hutan ini jika ingin mencapai pegunungan," kata Shin, suaranya tenang tapi tegas. "Tetaplah waspada. Hutan ini dikenal sebagai tempat tinggal makhluk-makhluk yang tak terlihat." Mereka melanjutkan perjalanan, namun setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat. Bayangan pepohonan tampak bergerak-gerak, dan sesekali, Akiyama bisa merasakan sesuatu mengintai dari kegelapan di sekitarnya. Dia mencengkeram pedangnya lebih erat, siap menghadapi apapun yang mungkin muncul. Tiba-tiba, Yumi berhenti dan menunjuk ke arah semak-semak di depan mereka. "Ada sesuatu di sana!" Dari balik semak-semak, terdengar suara geraman rendah. Sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan, bergerak dengan cepat ke arah mereka. Akiyama segera menarik pedangnya dan bersiap melawan, namun Shin menghentikannya. "Jangan menyerang!" seru Shin. "Itu bukan musuh." Akiyama bingung, tapi dia menuruti perintah Shin. Dari balik semak-semak, muncul seekor serigala hitam besar, matanya bersinar dengan cahaya biru yang aneh. Serigala itu mendekat perlahan, namun tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyerang. Sebaliknya, ia berhenti beberapa meter di depan mereka dan menatap Shin dengan penuh arti. "Ini adalah Serigala Penjaga Hutan, makhluk yang menjaga keseimbangan alam di tempat ini," jelas Shin. "Dia bukan musuh kita." Serigala itu mengeluarkan suara pelan, lalu berbalik dan mulai berjalan ke arah hutan yang lebih dalam, seolah-olah mengundang mereka untuk mengikutinya. Shin mengangguk kepada Akiyama dan Yumi. "Kita harus mengikutinya. Serigala ini akan menunjukkan jalan." Mereka mengikuti serigala itu dengan hati-hati, melintasi jalur-jalur sempit yang tersembunyi di dalam hutan. Beberapa kali, mereka melihat bayangan makhluk lain yang mengintai dari kejauhan, tapi serigala itu seolah-olah melindungi mereka dari bahaya. Setelah berjam-jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah yang tersembunyi di balik gunung. Di tengah lembah itu berdiri sebuah kuil tua yang tampak megah meski sudah ditinggalkan selama ratusan tahun. Kuil itu memancarkan aura magis yang kuat, dan Akiyama bisa merasakan kekuatan yang sangat besar di sekitarnya. "Inilah Kuil Api Abadi," kata Shin sambil menatap kuil itu dengan hormat. "Di sinilah kau akan mulai perjalananmu yang sesungguhnya, Akiyama." Akiyama menatap kuil itu dengan penuh rasa hormat dan kagum. Dia tahu, tempat ini akan menjadi kunci untuk memahami kekuatannya. Namun, dia juga merasakan bahwa tantangan yang akan datang jauh lebih besar dari apapun yang pernah dia hadapi sebelumnya. Mereka melangkah menuju pintu masuk kuil, dan saat mereka mendekat, pintu kuil terbuka perlahan, seolah-olah menyambut mereka. Cahaya hangat menyinari mereka dari dalam, dan Akiyama merasakan energi yang luar biasa mengalir melalui tubuhnya. "Akiyama, perjalananmu baru saja dimulai," bisik Shin di belakangnya. "Di tempat ini, kau akan menemukan jawaban tentang Phoenix dan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirimu." Akiyama melangkah ke dalam kuil dengan hati yang dipenuhi tekad. Dia tahu bahwa perjalanannya untuk menjadi penguasa kekuatan Phoenix baru saja dimulai, dan dunia bergantung pada seberapa baik dia bisa mengendalikan kekuatan itu. Namun, di balik semua harapan, Akiyama juga sadar bahwa Zerathos semakin mendekat—dan waktunya hampir habis. --- Bab ini memperkenalkan perjalanan Akiyama menuju Kuil Api Abadi, tempat di mana dia akan belajar untuk mengendalikan kekuatan Phoenix. Perjalanan ini juga memperkenalkan Serigala Penjaga Hutan dan menciptakan ketegangan baru di sekitar ancaman Zerathos yang terus mendekat.Saat Akiyama melangkah masuk ke dalam Kuil Api Abadi, dia merasakan perubahan langsung dalam atmosfer. Udara di dalam kuil terasa hangat dan nyaman, berbeda dari dinginnya pegunungan di luar. Cahaya kemerahan yang berasal dari api abadi di sudut-sudut ruangan memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Meskipun kuil ini telah ditinggalkan selama ratusan tahun, api itu tetap menyala tanpa pernah padam. Yumi dan Shin mengikuti di belakangnya, memperhatikan setiap detail. Yumi tampak terpesona oleh keagungan tempat ini, sementara Shin tetap tenang, seolah-olah dia sudah sering melihat pemandangan seperti ini. Namun, Akiyama tahu bahwa tempat ini bukan sekadar bangunan tua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di balik dinding-dinding kuno ini. “Ini... luar biasa,” gumam Yumi sambil menatap api abadi yang menyala terang di depan mereka. “Bagaimana mungkin api ini bisa tetap menyala selama ratusan tahun?” Shin mendekat, lalu menjelaskan dengan suara tenang. “Api ini bukan api
Setelah beberapa hari Akiyama menghabiskan waktu di Kuil Api Abadi, dia merasa kekuatannya semakin stabil. Setiap kali dia melatih dirinya di hadapan api suci, kendalinya atas energi Phoenix semakin kuat. Namun, Shin selalu mengingatkannya bahwa latihan di tempat suci ini hanyalah permulaan. Dunia luar jauh lebih kejam, dan kekuatan Akiyama akan diuji saat dia menghadapi ancaman nyata. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Yumi sambil memperhatikan Akiyama yang baru saja menyelesaikan latihannya pagi itu. Akiyama tersenyum tipis. “Lebih baik. Aku bisa merasakan kekuatan itu lebih terarah. Tidak lagi meluap-luap seperti sebelumnya. Tapi tetap saja... aku masih belum yakin apakah aku siap menghadapi Zerathos.” Shin yang sedang duduk di sudut ruangan, menatap keduanya. “Kekuatanmu berkembang pesat, Akiyama. Tapi satu hal yang perlu kau ingat—kekuatan ini bukan hanya soal kemampuan fisik. Ini soal batinmu. Setiap raja Phoenix yang pernah ada harus menguasai dirinya terlebih dahulu sebelu
Ledakan energi yang dikeluarkan oleh Akiyama menciptakan gelombang kehangatan yang menyebar ke seluruh ruangan, membuat semua makhluk bayangan menghilang seolah-olah ditelan oleh cahaya. Api suci yang bersinar di sekelilingnya memberi rasa aman dan kekuatan, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang terhubung dengan semua Phoenix yang pernah ada. Namun, di tengah kemenangan ini, Ragnar tidak tampak terpengaruh. Dia tetap berdiri di tempatnya, wajahnya menampilkan ekspresi mengesankan. “Menarik sekali, Akiyama. Kau telah membangkitkan kekuatanmu. Tapi, apakah kau pikir itu sudah cukup untuk mengalahkanku?” Akiyama mengatur napasnya, merasa kelelahan setelah menggunakan kekuatan penuh itu. Meskipun dia berhasil mengalahkan makhluk-makhluk bayangan, Ragnar tetap menjadi ancaman yang nyata. “Aku tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa kuat kau, aku akan melindungi orang-orang yang aku cintai!” Ragnar mengangkat bahunya, seolah meremehkan semangat Akiyama. “Cinta? Itu sangat menggelik
Setelah membersihkan sisa-sisa kekuatan kegelapan yang tersisa di kuil, mereka berkumpul untuk mendiskusikan langkah berikutnya. "Zerathos pasti sudah tahu kita mengalahkan tangan kanannya," kata Shin, wajahnya serius. "Dia tidak akan tinggal diam. Kita harus bergerak cepat sebelum dia mengambil tindakan balasan." Yumi menyisir rambutnya yang kusut, matanya tampak lelah namun penuh tekad. "Tapi, ke mana kita harus pergi? Zerathos bisa berada di mana saja, dan kekuatan kegelapannya menyelimuti banyak wilayah." Akiyama menatap api yang perlahan mulai redup di tengah kuil. Api suci yang memberinya kekuatan, kini tampak seperti simbol bahwa waktunya untuk bertindak sudah tiba. Dia mengingat pesan dari roh Phoenix yang pernah muncul dalam mimpinya. "Ada satu tempat... sebuah kota tua di selatan, tempat di mana Phoenix pertama kali muncul di dunia ini. Tempat itu mungkin menyimpan jawaban tentang cara mengalahkan Zerathos." Shin mengangguk perlahan, tampaknya mengenali tempat yang d
Setelah pertarungan yang melelahkan melawan sosok berjubah dan makhluk bayangannya, Akiyama, Yumi, dan Shin berdiri di tengah hutan yang kini terasa lebih tenang. Kabut yang sebelumnya menutupi area itu perlahan menghilang, dan cahaya matahari mulai menembus celah-celah pepohonan. Mereka merasakan lega, tetapi kelelahan masih menyelimuti tubuh mereka. “Apakah kalian baik-baik saja?” tanya Akiyama, memeriksa keadaan Yumi dan Shin. “Ya, sedikit lelah, tapi kita masih bisa melanjutkan,” jawab Shin, mengusap peluh di dahinya. “Tapi kita harus lebih berhati-hati. Zerathos pasti tidak akan membiarkan kita mencapai Alkaeron tanpa perlawanan.” Yumi mengangguk setuju, melihat ke arah hutan yang semakin terang. “Kita perlu mencari informasi lebih lanjut tentang Zerathos. Kita harus tahu apa yang akan kita hadapi di Alkaeron.” Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang berliku. Hutan yang sebelumnya terasa menakutkan kini mulai menunjukkan keindahan alamnya. Burung-burung be
Saat Akiyama, Yumi, dan Shin melangkah lebih dalam ke dalam Gua Harapan, suasana semakin mencekam. Dinding gua dipenuhi dengan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan kisah-kisah heroik dan tragedi yang pernah terjadi. Namun, ada juga gambaran gelap yang tampak mencolok di antara yang lainnya—lukisan-lukisan tentang pengkhianatan, kehilangan, dan penderitaan. Ketika mereka melewati lorong sempit yang berkelok-kelok, suara bergema kembali terdengar di sekitar mereka. “Siapa yang berani memasuki ujian ini? Hanya mereka yang kuat yang akan dapat melaluinya.” Akiyama meneguhkan hati. “Kami di sini untuk membuktikan bahwa kami layak. Kami ingin mendapatkan Api Legendaris.” Suara itu tertawa, gemanya seperti mengundang rasa takut yang mendalam. “Bukti? Kau tidak akan bisa mendapatkan artefak ini tanpa menghadapi kegelapan dalam dirimu sendiri.” Tiba-tiba, gua bergetar, dan kabut tebal muncul dari kegelapan. Akiyama dan yang lainnya merasakan ada sesuatu yang menyelimuti mereka, seolah-o
Setelah menghadapi ujian kegelapan, Akiyama dan Yumi merasakan semangat yang mengalir kembali dalam diri mereka. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan mereka belum berakhir, langkah pertama untuk mengatasi ketakutan telah mereka lalui. Namun, di saat mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke dalam Gua Harapan, ketenangan mereka mendadak terganggu oleh suara gemuruh dari dalam gua. “Ini tidak bagus,” kata Akiyama, menatap ke arah sumber suara. “Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi.” Yumi mengangguk, ekspresinya menunjukkan kecemasan. “Kita harus mencari Shin. Dia mungkin juga dalam masalah.” Mereka berlari menyusuri lorong gua, semakin mendekati suara gemuruh yang semakin keras. Dinding-dinding gua bergetar, dan keduanya dapat merasakan getaran yang kuat di tanah. Akiyama mencoba mengaktifkan kekuatan Phoenix di dalam dirinya, berharap agar dapat memberi mereka cahaya untuk menerangi kegelapan di depan. Saat mereka berlari, lorong itu tiba-tiba meluas, dan mereka memasuk
Gua Harapan kini menjadi semakin mencekam. Portal yang bergetar dengan energi gelap mulai membuka lebih lebar, dan sosok besar muncul dari balik cahayanya. Bayangan itu semakin nyata, tubuhnya tinggi dan mengerikan, dengan mata merah menyala yang menembus kegelapan. Sosok itu tampak seperti pemimpin dari semua kegelapan yang mereka hadapi selama ini—mungkin bahkan lebih kuat dari apa pun yang pernah mereka temui. “Apa ini...?” bisik Yumi, matanya terbuka lebar karena ngeri. Akiyama menggenggam pedangnya lebih erat, mencoba untuk tetap tenang. "Apapun itu, kita harus menghadapinya bersama." Sosok besar itu mendekat, dan dengan setiap langkah, lantai gua bergetar. Suaranya terdengar seperti ribuan jeritan yang menyatu, membuat ketiga sahabat itu terdiam sejenak dalam rasa takut. "Kalian pikir bisa menghancurkan kegelapan hanya dengan persahabatan kalian?" suaranya menggelegar. "Aku adalah inti dari segala ketakutan kalian. Aku adalah Pemimpin Kegelapan, kekuatan yang tak bisa kalian