Di desa kecil yang tersembunyi di kaki pegunungan, terdapat seorang anak laki-laki bernama Akiyama. Sejak kecil, ia selalu merasa berbeda dari anak-anak lainnya. Akiyama dilahirkan di malam yang gelap, tepat saat gunung yang terletak jauh di utara meletus, menghancurkan kota-kota dan menyebabkan bencana besar yang mengubah dunia selamanya. Kelahirannya sendiri diselimuti misteri, dan desas-desus pun mulai tersebar di desa bahwa dia adalah pembawa malapetaka. Desa itu adalah satu-satunya tempat yang selamat dari bencana besar, tetapi bayangan kegelapan selalu membuntuti.
Seiring waktu, Akiyama tumbuh terisolasi. Anak-anak lain tidak mau bermain dengannya, dan orang-orang dewasa menatapnya dengan curiga. Hanya Yumi, seorang gadis sebayanya, yang mau berinteraksi dengannya. Yumi selalu berada di sampingnya, meskipun semua orang menganggap Akiyama berbahaya. Di dalam dirinya, Akiyama merasakan kekuatan besar, tetapi dia tidak tahu apa itu, atau bagaimana cara mengendalikannya. Yang dia tahu hanyalah, setiap kali dia marah atau takut, kekuatan itu bangkit, membuat segalanya di sekitarnya terasa aneh dan tak terkendali. --- Akiyama masih berdiri di tepi desa, merenungkan kata-kata Shin. Udara malam yang dingin menusuk tulang, dan desiran angin membawa aroma hutan yang kering. Saat dia menatap ke arah hutan utara, matanya mulai terasa berat. Namun, rasa takut dan tanggung jawab yang tiba-tiba ia rasakan membuat tidur terasa mustahil. Ketika pikirannya mengembara, bayangan masa kecil yang dipenuhi kesepian menghantui. Semua yang terjadi malam ini hanya menambah beban itu. Tiba-tiba, langkah kaki yang lembut mendekat. Yumi berdiri di sampingnya, wajahnya yang lembut dan penuh perhatian menenangkan pikiran Akiyama, meski ketakutan masih menggantung di antara mereka. "Akiyama, kau terlihat cemas," ujar Yumi, menatapnya dengan tatapan penuh empati. Akiyama hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa dia menjelaskan beban besar yang baru saja dia terima kepada seseorang yang selama ini selalu ada untuknya? "Aku... hanya merasa semuanya terlalu cepat," kata Akiyama akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Aku tak pernah meminta semua ini. Aku bahkan tak tahu bagaimana menghadapi kekuatan ini, apalagi seorang Raja Iblis." Yumi menggenggam tangannya dengan lembut, mengalirkan kehangatan di malam yang dingin itu. "Kau tidak sendiri, Akiyama. Kita sudah bersama-sama melewati banyak hal. Aku tidak akan meninggalkanmu, apapun yang terjadi." Kata-kata Yumi memberikan sedikit kedamaian pada hati Akiyama. Dia menarik napas dalam-dalam, merasa lebih tenang, meskipun ketakutan masih tersisa di sudut pikirannya. Namun, sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah hutan utara. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan dari kejauhan, mereka bisa melihat bayangan hitam melesat di antara pepohonan. Akiyama memicingkan mata, berusaha menangkap bentuk yang bergerak cepat itu. "Itu... bayangan hidup yang diceritakan Haruto," gumam Yumi, wajahnya berubah pucat. Akiyama merasakan adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya. "Aku harus melihat lebih dekat. Jika benar ini ulah Zerathos, kita harus tahu apa yang sedang terjadi." Yumi menggenggam lengannya dengan erat. "Akiyama, jangan! Itu terlalu berbahaya. Kita bahkan belum tahu apa yang sebenarnya kita hadapi." "Tapi aku harus tahu. Kalau Zerathos memang akan bangkit, aku harus siap. Tidak ada jalan lain." Akiyama melepaskan genggaman Yumi dengan lembut, lalu berjalan menuju arah hutan dengan tekad yang bulat. Yumi mencoba mencegahnya, tetapi dia tahu bahwa Akiyama tidak akan mundur begitu saja. Dia memutuskan untuk mengikuti dari belakang, meskipun rasa takut menggerogoti hatinya. Dalam beberapa menit, mereka tiba di pinggiran hutan. Gelap, sunyi, dan menakutkan. Bayangan pepohonan menjulang tinggi, seolah-olah hidup dan mengamati setiap gerakan mereka. "Berhati-hatilah," bisik Yumi dengan suara gemetar. Akiyama menatap dalam-dalam ke kegelapan di depannya. Langkah demi langkah, mereka masuk lebih dalam ke hutan, mengikuti suara gemuruh yang semakin jelas. Saat mereka berjalan, suara ranting patah dan daun yang bergesekan dengan angin menciptakan suasana mencekam. Tiba-tiba, di depan mereka, sebuah bayangan besar muncul dari balik pohon. Makhluk itu berbentuk manusia, tetapi tubuhnya terbuat dari bayangan gelap yang bergerak-gerak, seolah-olah tidak sepenuhnya berada di dunia ini. Mata merah menyala menatap mereka dengan intens, dan seketika, Akiyama merasakan hawa dingin menusuk hingga ke tulangnya. Makhluk itu berdiri diam selama beberapa detik sebelum akhirnya mulai bergerak, menyerbu ke arah Akiyama dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Akiyama mencoba menghindar, tapi makhluk itu terlalu cepat. Dengan gerakan refleks, Akiyama mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, tanpa disadarinya, kekuatan besar mengalir dari tubuhnya. Sebuah ledakan cahaya merah menyala keluar dari tangan Akiyama, mengenai makhluk bayangan itu dan meledakkannya menjadi asap hitam yang berhamburan di udara. Akiyama terdiam, matanya terbuka lebar, terkejut dengan apa yang baru saja dia lakukan. Nafasnya terengah-engah, dan dia merasakan dadanya sesak. Yumi berlari mendekat. "Akiyama! Kau... apa yang baru saja kau lakukan?" "Aku... tidak tahu," jawab Akiyama sambil menatap tangannya yang kini memancarkan sisa-sisa cahaya merah. "Itu terjadi begitu saja." Mereka berdua berdiri dalam diam, merenungi apa yang baru saja terjadi. Makhluk itu mungkin telah hancur, tetapi bayangan kegelapan yang lebih besar masih menggantung di atas mereka. Akiyama tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. "Ayo, kita kembali ke desa," kata Akiyama akhirnya. "Kita perlu memberi tahu Shin apa yang kita lihat." Yumi mengangguk pelan, masih terguncang oleh kejadian tadi. Mereka berdua bergegas kembali ke desa, meninggalkan hutan yang kembali sunyi, tetapi tidak sepenuhnya tenang. Bayangan itu mungkin telah hilang, tapi mereka tahu bahwa ancaman yang lebih besar sedang mengintai di kegelapan. Saat mereka kembali ke desa, Akiyama mulai merasakan ketakutan bercampur dengan rasa tanggung jawab yang semakin besar. Kini dia tahu bahwa kekuatan dalam dirinya bukan sekadar anugerah, melainkan pedang bermata dua yang bisa melindungi sekaligus menghancurkan. Suatu malam, saat desa tengah tidur lelap, terdengar suara gemuruh dari utara. Gunung yang selama ini dianggap mati mulai memancarkan cahaya merah yang aneh. Akiyama terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Di luar jendela, dia melihat bayangan-bayangan bergerak di kejauhan, seolah-olah hidup dan mengikuti setiap gerakannya. "Akiyama..." bisik suara halus dari balik jendela. Akiyama menoleh dan melihat Yumi berdiri di luar, wajahnya pucat. "Yumi? Ada apa?" tanyanya. Yumi mendekat, matanya bergetar penuh ketakutan. "Ada sesuatu yang terjadi di hutan utara. Orang-orang desa bilang mereka melihat bayangan hidup." Akiyama merasakan jantungnya berdegup kencang. "Bayangan hidup?" Yumi mengangguk. "Aku mendengar orang-orang tua bicara tadi. Mereka bilang, ini mungkin... ini mungkin terkait dengan Zerathos." Nama itu asing bagi Akiyama, tetapi getaran di hatinya terasa nyata. "Zerathos? Siapa itu?" Sebelum Yumi sempat menjawab, suara ketukan keras di pintu rumah Akiyama terdengar. Shin, pendeta tua yang selama ini menjadi pembimbing spiritual desa, berdiri di sana dengan wajah cemas. "Akiyama, ikut aku. Ada sesuatu yang harus kau ketahui," kata Shin dengan nada serius. Mereka berjalan menuju kuil tua di tengah desa. Di dalam kuil itu, terdapat sebuah ruangan yang jarang dibuka oleh siapapun. Shin membawa Akiyama masuk ke dalam, di mana sebuah segel besar terpahat di lantai. Cahaya aneh memancar dari segel itu, seakan-akan bereaksi terhadap sesuatu. "Ini adalah segel yang menahan Zerathos, Raja Iblis yang pernah menghancurkan dunia ribuan tahun lalu," kata Shin, suaranya bergetar. "Tapi segel ini mulai melemah sejak letusan gunung malam kau dilahirkan. Ada kekuatan besar di dalam dirimu, Akiyama, yang terhubung dengan Zerathos. Kau bukan penyebabnya, tapi kau adalah kunci untuk menghentikan kebangkitannya." Akiyama mundur selangkah, terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu aku terhubung dengan Raja Iblis? Aku hanya anak biasa!" Shin menatapnya dengan tatapan mendalam. "Kau bukan anak biasa, Akiyama. Kau lahir dengan tanda mata yang berbeda—sesuatu yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih untuk membawa kekuatan besar. Kekuatan Phoenix yang ada di dalam dirimu mungkin menjadi satu-satunya cara untuk melawan Zerathos, tapi untuk itu, kau harus belajar mengendalikannya." Akiyama menunduk, merasakan beban yang luar biasa. Selama ini dia sudah tahu ada sesuatu yang tidak biasa tentang dirinya, tetapi dia tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari sesuatu yang begitu besar dan mengerikan. "Tapi... bagaimana aku bisa melawan sesuatu yang begitu kuat?" Akiyama bertanya, suaranya gemetar. Shin tersenyum tipis, meski wajahnya tetap serius. "Perjalananmu baru saja dimulai, Akiyama. Kau tidak sendirian. Ada orang-orang yang akan kau temui, yang juga memiliki kekuatan dan takdir mereka sendiri. Mereka akan membantumu. Tapi kau harus siap menghadapi bayangan dalam dirimu, karena Zerathos akan mencoba mempengaruhimu dari dalam." Malam itu, Akiyama tak bisa tidur. Pikiran tentang Zerathos dan kekuatan besar yang tersegel di dalam dirinya menghantuinya. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang seluruh dunia yang ada di ambang kehancuran. Jika Zerathos bangkit kembali, kegelapan akan menyelimuti segala sesuatu. Di tengah malam yang sunyi, Akiyama berdiri di tepi desa, menatap hutan utara yang kini tampak lebih menyeramkan dari biasanya. Angin dingin berhembus, membawa serta bisikan-bisikan dari kegelapan. Di kejauhan, dia bisa merasakan sesuatu—sebuah kekuatan besar yang menunggu untuk dilepaskan. "Zerathos..." gumamnya pelan. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini." Bab pertama berakhir dengan Akiyama yang kini menghadapi awal dari perjalanan besar yang akan mengubah hidupnya dan nasib dunia. Kegelapan mulai merambat, tetapi Akiyama tahu bahwa di dalam dirinya, ada kekuatan yang menunggu untuk bangkit. ---Pagi itu, desa tampak tenang seperti biasanya. Penduduk desa yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari, tak menyadari bahaya yang semakin dekat. Namun, bagi Akiyama, ketenangan itu palsu. Apa yang terjadi semalam terus berputar dalam pikirannya—bayangan hidup, kekuatan yang meledak dari dalam dirinya, dan ancaman Zerathos yang semakin nyata. Di dalam kuil, Shin menatap serius pada Akiyama dan Yumi yang duduk di hadapannya. Keduanya baru saja kembali dari hutan, dengan berita tentang bayangan yang menyerang mereka. Wajah Shin tampak lebih tegang dari biasanya, seakan dia sudah mengantisipasi berita buruk itu. "Kalian pasti lelah," kata Shin sambil menghela napas panjang. "Tapi aku tak punya pilihan lain. Akiyama, kau harus tahu bahwa apa yang kau hadapi bukanlah sekadar bayangan biasa. Itu adalah Manifestasi Kegelapan—bentuk fisik dari kekuatan Zerathos." Akiyama mengernyit. "Manifestasi Kegelapan? Apa itu artinya Zerathos sudah bangkit?" Akiyama berdiri di tengah lapangan, masih
Pagi itu, desa terlihat dalam keadaan kacau setelah serangan malam sebelumnya. Penduduk yang selamat berkumpul untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur, namun bayang-bayang ketakutan masih menyelimuti mereka. Akiyama memandangi desa dari kejauhan, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Apa yang seharusnya menjadi penyelamatan, berakhir dengan kehancuran lebih besar. Shin mendekatinya. Wajahnya tenang, namun ada ketegasan di dalamnya. "Jangan biarkan ini mengganggumu, Akiyama," ucap Shin dengan nada bijak. "Apa yang kau lakukan semalam adalah langkah pertama untuk memahami kekuatanmu. Namun, kau masih perlu belajar lebih banyak tentang pengendalian." Akiyama mengangguk pelan, namun beban di dadanya belum sepenuhnya hilang. "Aku tahu, tapi aku takut, Shin. Setiap kali kekuatan itu muncul, aku merasa kehilangan kendali. Bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa menghentikannya? Bagaimana jika aku justru menghancurkan semua yang ingin kulindungi?" Shin menepuk bahunya dengan lembut. "Itulah s
Saat Akiyama melangkah masuk ke dalam Kuil Api Abadi, dia merasakan perubahan langsung dalam atmosfer. Udara di dalam kuil terasa hangat dan nyaman, berbeda dari dinginnya pegunungan di luar. Cahaya kemerahan yang berasal dari api abadi di sudut-sudut ruangan memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Meskipun kuil ini telah ditinggalkan selama ratusan tahun, api itu tetap menyala tanpa pernah padam. Yumi dan Shin mengikuti di belakangnya, memperhatikan setiap detail. Yumi tampak terpesona oleh keagungan tempat ini, sementara Shin tetap tenang, seolah-olah dia sudah sering melihat pemandangan seperti ini. Namun, Akiyama tahu bahwa tempat ini bukan sekadar bangunan tua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di balik dinding-dinding kuno ini. “Ini... luar biasa,” gumam Yumi sambil menatap api abadi yang menyala terang di depan mereka. “Bagaimana mungkin api ini bisa tetap menyala selama ratusan tahun?” Shin mendekat, lalu menjelaskan dengan suara tenang. “Api ini bukan api
Setelah beberapa hari Akiyama menghabiskan waktu di Kuil Api Abadi, dia merasa kekuatannya semakin stabil. Setiap kali dia melatih dirinya di hadapan api suci, kendalinya atas energi Phoenix semakin kuat. Namun, Shin selalu mengingatkannya bahwa latihan di tempat suci ini hanyalah permulaan. Dunia luar jauh lebih kejam, dan kekuatan Akiyama akan diuji saat dia menghadapi ancaman nyata. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Yumi sambil memperhatikan Akiyama yang baru saja menyelesaikan latihannya pagi itu. Akiyama tersenyum tipis. “Lebih baik. Aku bisa merasakan kekuatan itu lebih terarah. Tidak lagi meluap-luap seperti sebelumnya. Tapi tetap saja... aku masih belum yakin apakah aku siap menghadapi Zerathos.” Shin yang sedang duduk di sudut ruangan, menatap keduanya. “Kekuatanmu berkembang pesat, Akiyama. Tapi satu hal yang perlu kau ingat—kekuatan ini bukan hanya soal kemampuan fisik. Ini soal batinmu. Setiap raja Phoenix yang pernah ada harus menguasai dirinya terlebih dahulu sebelu
Ledakan energi yang dikeluarkan oleh Akiyama menciptakan gelombang kehangatan yang menyebar ke seluruh ruangan, membuat semua makhluk bayangan menghilang seolah-olah ditelan oleh cahaya. Api suci yang bersinar di sekelilingnya memberi rasa aman dan kekuatan, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang terhubung dengan semua Phoenix yang pernah ada. Namun, di tengah kemenangan ini, Ragnar tidak tampak terpengaruh. Dia tetap berdiri di tempatnya, wajahnya menampilkan ekspresi mengesankan. “Menarik sekali, Akiyama. Kau telah membangkitkan kekuatanmu. Tapi, apakah kau pikir itu sudah cukup untuk mengalahkanku?” Akiyama mengatur napasnya, merasa kelelahan setelah menggunakan kekuatan penuh itu. Meskipun dia berhasil mengalahkan makhluk-makhluk bayangan, Ragnar tetap menjadi ancaman yang nyata. “Aku tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa kuat kau, aku akan melindungi orang-orang yang aku cintai!” Ragnar mengangkat bahunya, seolah meremehkan semangat Akiyama. “Cinta? Itu sangat menggelik
Setelah membersihkan sisa-sisa kekuatan kegelapan yang tersisa di kuil, mereka berkumpul untuk mendiskusikan langkah berikutnya. "Zerathos pasti sudah tahu kita mengalahkan tangan kanannya," kata Shin, wajahnya serius. "Dia tidak akan tinggal diam. Kita harus bergerak cepat sebelum dia mengambil tindakan balasan." Yumi menyisir rambutnya yang kusut, matanya tampak lelah namun penuh tekad. "Tapi, ke mana kita harus pergi? Zerathos bisa berada di mana saja, dan kekuatan kegelapannya menyelimuti banyak wilayah." Akiyama menatap api yang perlahan mulai redup di tengah kuil. Api suci yang memberinya kekuatan, kini tampak seperti simbol bahwa waktunya untuk bertindak sudah tiba. Dia mengingat pesan dari roh Phoenix yang pernah muncul dalam mimpinya. "Ada satu tempat... sebuah kota tua di selatan, tempat di mana Phoenix pertama kali muncul di dunia ini. Tempat itu mungkin menyimpan jawaban tentang cara mengalahkan Zerathos." Shin mengangguk perlahan, tampaknya mengenali tempat yang d
Setelah pertarungan yang melelahkan melawan sosok berjubah dan makhluk bayangannya, Akiyama, Yumi, dan Shin berdiri di tengah hutan yang kini terasa lebih tenang. Kabut yang sebelumnya menutupi area itu perlahan menghilang, dan cahaya matahari mulai menembus celah-celah pepohonan. Mereka merasakan lega, tetapi kelelahan masih menyelimuti tubuh mereka. “Apakah kalian baik-baik saja?” tanya Akiyama, memeriksa keadaan Yumi dan Shin. “Ya, sedikit lelah, tapi kita masih bisa melanjutkan,” jawab Shin, mengusap peluh di dahinya. “Tapi kita harus lebih berhati-hati. Zerathos pasti tidak akan membiarkan kita mencapai Alkaeron tanpa perlawanan.” Yumi mengangguk setuju, melihat ke arah hutan yang semakin terang. “Kita perlu mencari informasi lebih lanjut tentang Zerathos. Kita harus tahu apa yang akan kita hadapi di Alkaeron.” Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang berliku. Hutan yang sebelumnya terasa menakutkan kini mulai menunjukkan keindahan alamnya. Burung-burung be
Saat Akiyama, Yumi, dan Shin melangkah lebih dalam ke dalam Gua Harapan, suasana semakin mencekam. Dinding gua dipenuhi dengan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan kisah-kisah heroik dan tragedi yang pernah terjadi. Namun, ada juga gambaran gelap yang tampak mencolok di antara yang lainnya—lukisan-lukisan tentang pengkhianatan, kehilangan, dan penderitaan. Ketika mereka melewati lorong sempit yang berkelok-kelok, suara bergema kembali terdengar di sekitar mereka. “Siapa yang berani memasuki ujian ini? Hanya mereka yang kuat yang akan dapat melaluinya.” Akiyama meneguhkan hati. “Kami di sini untuk membuktikan bahwa kami layak. Kami ingin mendapatkan Api Legendaris.” Suara itu tertawa, gemanya seperti mengundang rasa takut yang mendalam. “Bukti? Kau tidak akan bisa mendapatkan artefak ini tanpa menghadapi kegelapan dalam dirimu sendiri.” Tiba-tiba, gua bergetar, dan kabut tebal muncul dari kegelapan. Akiyama dan yang lainnya merasakan ada sesuatu yang menyelimuti mereka, seolah-o