"Alana, ternyata kamu baik-baik saja. Perutmu sudah mulai membuncit, benar-benar menggemaskan," ucap Evan sambil memandangi foto Alana.Evan tak hentinya menatap foto yang dikirim oleh Detektif itu. Dalam foto tersebut, Alana terlihat sedang berdiri di tepi jalan seolah sedang menunggu seseorang.Merasa ada yang janggal, Evan segera menelepon Detektif tersebut."Hallo, aku ingin menanyakan tentang foto ini," ucap Evan."Ya, katakan saja.!""Bukankah Alana tidak ada yang mengawasi atau menjaga? Mengapa kalian tidak langsung membawanya pergi dari sana?" tanya Evan, dari suaranya saja bisa ketahuan jika ia sedang kesal."Memang di sisi foto ini istri Anda seperti seorang diri, tapi, tak jauh dari sana ia sedang di awasi. Bahkan, sepertinya Ibu Alana juga tahu jika dirinya terus dipantau," terang Detektif tersebut.Evan terdiam sejenak, padahal tadinya ia ingin memarahi Detektif itu karena telat bertindak. Namun, ternyata kenyataan sesungguhnya malah berbeda dari yang ia bayangkan."Baikl
Sopir taksi itu pun menambah kecepatan, kebetulan jalanan sedang sepi karena saat ini bukan jam sibuk, sehingga Evan pun sampai ke rumah hanya dalam hitungan menit."Pak, apa saya juga ikut masuk?" Danu merasa ragu."Masuk saja, anggap seolah kamu baru bekerja denganku belum lama," titah Evan."Baik, Pak."Setelah sampai di rumah, Evan melihat pintu terbuka lebar seolah ada tamu. Dengan dipapah Danu, ia pun segera masuk ke rumah tanpa tahu apa yang sedang terjadi."Evan, Kenapa tidak bilang kalau sudah di Indonesia, kan Ibu bisa meminta sopir untuk menjemputmu," ucap Jeni yang tampak khawatir."Tidak apa-apa," jawab Evan yang kini mulai berpura-pura sakit lagi.Saat itu, terlihat juga keluarga Alicia sedang duduk di ruang tamu. Sepertinya sedang ada perbincangan serius antara dua keluarga tersebut."Apa kamu bisa duduk sebentar dan menyimak?" tanya Jeni berharap Evan tidak keras kepala."Ah, iya. Aku bisa beristirahat sebentar di sini," jawab Evan, ia langsung duduk begitu saja."Apa
Disaat Evan tengah merasa cemas, disisi lain Alana sedang berada di posisi terdesak. Dimana ia mulai diganggu oleh Jack lagi."Apa yang kamu lakukan? Lepaskan tanganku!" bentak Alana."Kamu pikir aku takut? Hanya seorang wanita lemah, beraninya membentakku!" teriak Jack."Bos sudah berjanji untuk menjagaku. Apa kamu tidak takut jika aku mengadu?""Takut? Apa kamu bodoh? Pria yang biasa menyewamu itu sedang pulang ke negara asalnya. Kamu pikir, Bos masih akan melindungimu tanpa ada bayaran darinya?" Jack tertawa sambil menatap Alana dengan buas.Alana bergidik ngeri. Kepulangan Alvin ke Indonesia ternyata telah membuat keadaan yang semula damai menjadi kacau kembali. Jack yang tak tahu malu ternyata masih mengincar dirinya meski saat itu sudah mendapat peringatan."Sudahlah, aku hanya ingin menikmati kecantikanmu itu sekali saja. Mengapa kamu begitu pelit?" ucap Jack diiringi tawanya yang terlihat menjijikan. Gigi hitam sebagian, bibir pecah-pecah, bahkan bulu hidungnya pun terlihat ke
Evan masih dalam keadaan panik, nomor ponsel Cherry masih tidak dapat dihubungi."Ada apa dengan Cherry? Baru saja ia menanyakan soal Alana, sekarang malah tidak dapat dihubungi," protes Evan."Memang siapa dia?" Andrean tampak penasaran."Anak buahku. Dia orang Thailand asli yang sedang ku perintahkan untuk mengintai Alana," terang Evan."Oh, mungkin dia sedang bertugas. Biarkan saja, jika sudah selesai juga pasti menghubungimu lagi," ujar Andrean.Evan yang semula merasa gelisah pun perlahan mulai tenang setelah mendengar nasihat Andrean. Meski begitu, bukan berarti rasa cemasnya menghilang, ia tetap memikirkan apa yang sebenarnya sedang Cherry lakukan setelah nomornya tak bisa dihubungi."Evan, sekarang tinggal kamu memikirkan acara pertunangan yang hanya tinggal menghitung hari. Apa rencanamu sudah matang?" tanya Andrean berusaha memastikan."Ya, meski hasil akhirnya akan membuatku terlihat seperti bajingan pun tak masalah, asal aku bisa kembali bersama Alana dan Alicia bisa bersam
Evan terlihat gelisah setelah beberapa kali menatap layar ponselnya. Hal itu membuat Willy sedikit merasa kasihan pada cucunya itu."Apa yang terjadi?" tanya Willy yang kini terlihat lebih serius."Ini soal Alana, Kek," ucap Evan dengan suara yang sudah terdengar gemetar karena menahan tangis."Ada apa? Ceritakan pada Kakek!" titah Willy.Evan menghela napas dalam, ia pun menceritakan semuanya dari awal hingga mengapa kini tampak kesal dan marah."Kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin? Dasar bodoh! Kamu membiarkan istrimu di tempat seperti itu begitu lama," seru Willy yang geram melihat kebodohan cucunya itu."Memang kalau aku menceritakan pada Kakek masalah akan selesai?" protes Evan yang merasa kesal disalahkan oleh pak tua menyebalkan."Sudahlah, percuma aku berdebat dengan cucu bodoh sepertimu," ujar Willy. Ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.Willy tampak asyik berbincang, ia seperti sedang membahas sesuatu di luar yang berada di luar negeri. Evan tak terlalu menghi
"Cherry? Sial, kenapa aku sangat bodoh?" gumam Evan yang kesal pada dirinya sendiri.Merasa jika anak buahnya itu akan menyampaikan hal penting, tanpa menunggu lebih lama, Evan kemudian menelepon Cherry. Namun, berkali ia mencoba, nomor ponsel perempuan itu lagi-lagi tak dapat dihubungi."Ada apa dengan Cherry? Apa dia sudah tak berniat menjadi anak buahku?" gerutu lEvan yang kini beranjak dari tempat tidurnya untuk mencari makanan di dapur.Langit masih gelap, begitu juga di ruangan lain dalam rumah, hampir semua lampu masih mati, menandakan jika beberapa pelayan yang bertugas bersih-bersih masih belum bangun.Evan berjalan ke lantai bawah hanya untuk mencari makanan. Ia sengaja tak menghidupkan lampu karena tak ingin terbangun karenanya.Evan berjalan dengan perlahan mengandalkan penerangan dari ponsel. Tepat saat melewati ruang kerja orang tuanya, Evan yang sudah melihat lampu menyala dari kejauhan pun, memilih untuk tak bersuara dan melangkah dengan berhati-hati. Hingga, langkahnya
Evan langsung menengadahkan kepala dengan sangat pelan, bulir bening mengalir deras membasahi pipi, dadanya sesak tetapi lega. Akhirnya, perempuan pemilik setengah dari jiwanya yang selama ini selalu dinanti pun sedang berada di hadapannya."Alana? Istriku!" teriak Evan sambil memeluk kaki sang istri dengan perasaan rindu yang mendalam."Berhentilah menangis!" ujar Alana dengan air mata yang juga sudah tak terbendung.Alana duduk bersimpuh, memeluk sang suami yang kini sedang menangis sesenggukan. Keduanya melepas rindu yang selama ini tertahan, bahkan terhalang. Tak ada kalimat atau untaian kata, yang ada hanya dua anak manusia tengah berpelukan sambil menangis dalam pilu yang bercampur bahagia.Menit dan detik berlalu begitu saja, menyisakan dua anak manusia yang masih berpelukandan enggan untuk melepas. Siapa saja yang melihat Alana dan Evan, akan ikut merasakan apa yang sedang mereka rasa.Evan menciumi kening Alana juga mengusap perut sang istri yang kini mulai membuncit."Sayang
Evan keluar dari mobil, meski dalam hati kecil ada perasaan takut, ia berusaha untuk tenang agar bisa berbicara secara baik-baik dengan orang yang kini tengah menghadang jalannya.Meski terasa berat, Evan tetap melangkahkan kaki, menghampiri seorang pria yang dari penampilannya tampak seperti pemimpin dalam kelompok tersebut."Apa kamu pemimpinnya?" tanya Evan, dengan tatapannya yang tajam. Walaupun jantungnya berdebar kencang, ia tetap memberanikan diri agar tak terlihat lemah di depan orang-orang tersebut."Benar, ternyata nyalimu besar juga ya! Berani menghampiri kami seorang diri seperti ini, sungguh hal yang sangat mengejutkan," ujar pria dengan tato ular di leher. Tatapannya terlihat sangat meremehkan Evan."Aku hanya ingin berbicara baik-baik denganmu!" timpal Evan, tegas.Pria bertato itu tampak kesal melihat Evan yang seolah tak takut padanya, padahal ia sudah membawa banyak anak buah yang dilengkapi dengan senjata tumpul dan tajam."Memangnya kamu mau memberikan istrimu baik