"Cuman ini yang bisa aku lacak."
Kami sedang berkumpul di meja makan. Raka turun sambil menyerahkan tumpukan kertas yang dia jepit diatas papan dada.Aku pikir ini akan setebal aset-aset keluarga Theodora. Nyatanya kurang dari lima puluh lembar."Apa... Enggak sesuai ekspetasi Kakak?" Raka mulai bergabung menyantap makan malam miliknya."Aku jamin! Ini paling akurat. Kakak mau cari dimanapun engga akan seakurat yang aku temukan ini." Lanjutnya lagi."Kenapa bisa begtu?""Karen Tuan sudah menghapus dan mengganti sebagian besar data dirinya.""Wah. Aku pikir selama ini Tuan memang anak kandung dari Tuan besar.""Maksud kamu?" Tanyaku pada Genta yang mulai memperhatikan Raka."Sepertinya kalau aku yang ngomong, kalian engga akan percaya. Gimana kalau Kak Eva aja?" Usul Raka sambil menyendokan nasi ke mulutnya.Kini lagi-lagi semua mata tertuju pada Eva."Tuan adalah menantu Tuan besar. Sama seperti kalian. Dia adalah anak yang diselamatkan dari peperangan antar anggota mafia.""Apa Kakek hanya memiliki Ibu?""Nyonya merupakan anak bungsu keluarga Theodora. Sebelumnya Tuan besar memiliki empat putra dan satu putri.""Semua putranya sudah mati dibantai. Tersisa hanya Nyonya, karena beliau terlebih dahulu di pindahkan ke negara Asia sejak umur sepuluh tahun.""Sebelum menjadi menantu, Tuan adalah tangan kanan Tuan besar. Beliau sangat menyayanginya.""Jadi ketika Nyonya memberitahu ingin menikah dengan Tuan. Tuan besar tidak terlalu mempermasalahkannya.""Anthea Theodora, adalah putri kandung mereka?" Ini masih tebakanku saja."Betul Tuan Muda. Nyonya hampir tidak bisa memiliki keturunan. Karena ada kangker dalam rahimnya.""Tapi Nona membawa keberuntungan. Nona bisa sehat hingga saat dilahirkan. Maka dari itu setelah operasi sesar. Rahim Nyonya ikut diangkat."Jujur aku lelah. Terlalu banyak informasi yang aku serap hari ini. Kepalaku juga mulai pusing."Sebaiknya Tuan muda istirahat dan jangan lupa untuk minum obatnya.""Ide bagus Genta. Kalau begitu aku pergi ke kamar dulu."---Dari dalam lemari aku masih bisa melihat situasi ruang kamarku.Para pria bersenjata itu datang dan membombardirkan peluru ke segala arah.Aku ingin teriak tapi suaraku tidak keluar sama sekali.Hanya keringat dingin yang terus membasahi pelipis kepalaku.Salah satu dari mereka mencoba mendekati lemari tempat aku bersembunyi.Tidak! Aku harus tetap bersembunyi disini sesuai perintah Mommy.Tapi siapa yang aku tunggu, bagaimana kalau aku tidak bisa selamat seperti harapan Mommy."Tuan muda!"Panggilan Eva membuatku terbangun. Hah! Aku memimpikannya lagi?"Anda tidak apa-apa?" Eva langsung nendekat ketepi tempat tidurku."Kakak berteriak cukup kencang." Raka menunjukan raut cemasnya."Kami semua jadi khawatir. Apa yang Tuan muda rasakan. Ada yang tidak aku ketahui?" Genta mulai memeriksa denyut nadi dan jantungku secepat dokter profesional.Aku juga tidak pernah menanyakan apakah Eva dan juga Genta memang memiliki sertifikat lulusan kedokteran.Atau mereka terbiasa terlatih menghadapi situasi macam ini. Situasi apapun yang dialami keluarga Theodora tidak boleh diketahui publik."Awalnya aku pikir itu hanya mimpi buruk.""Lalu mimpi itu, sangat terasa seperti aku pernah merasakannya. Ingatanku yang hilang.""Ini akibat kepala Tuan muda sering terbentur. Memori yang hilang bisa muncul secara perlahan-lahan." Jelas Genta."Apa itu tidak mengganggu anda? Jika mengganggu saya akan meminta resep penenang untuk anda." Saran Eva."Untuk sementara tidak perlu. Maaf jika nanti aku tetap mengganggu kalian dengan teriakanku pada tengah malam.""Bukan mengganggu sih Kak. Kita yang kahwatir kalau Kakak kurang istirahat itu mempengaruhi pemulihan Kakak." Benar apa yang di tuturkan Raka.Aku melirik nakas yang tidak jauh dari tempat tidurku. Banyak botol-botol obat berjejer disana.Hampir semua permukaan nakas tertutupi oleh botol obat. Aku sudah lelah meminum mereka."Apa mau saya buatkan janji dengan psikiater?" Genta mulai mengecek ponselnya."Tidak, aku malah ingin mengurangi insterkasi dengan orang-orang selain kalian.""Aku tidak tahu reaksi ayah, kalau tahu aku masih hidup." Semuanya terdiam, setuju dengan apa yang aku ucapkan."Sebaiknya kalian kembali ke kamar kalian." Merekapun langsung mengikuti apa yang aku katakan.Kenapa selalu stuck disana, tidak bisakah aku mengingat secara keseluruhan ingatanku pada waktu itu.---"Kenapa kalian belum bersiap-siap?" Aku melihat Raka tengah bermain playstation dan Genta sedang mendengarkan lagu sambil membaca buku."Memangnya kita mau pergi kemana?" Di sela-sela permainannya Raka menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi ukuran 163 inci."Apa Tuan Muda tidak apa-apa?" Genta mulai mencabut earpohne yang di gunakannya."Jangan terlalu menundanya terlalu lama. Itu tidak baik.""Hm, sayangnya kami tidak bisa berada dilapangan." Jelas Genta yang membuat dahiku berkerut."Itu perjanjiannya. Kami bukan tugas di lapangan." Lanjut Raka.Jadi benar mereka sudah ada porsinya masing-masing. Tidak mencampuri urusan pekerjaan orang lain.Fokus hanya pada tugas yang diberikan pada mereka."Mungkin Kakak akan bertemu kembarannya Kak Eva.""Kembaran?""Mereka lebih sering diajak Tuan besar kalau soal lapangan.""Namanya Kak Evan. Dia bukan kembar yang lahir secara bersama-sama. Tapi muka mereka sangat mirip satu sama lain."Genta lebih rinci jika menjelaskan apapun dibandingkan Raka."Oh iya. Evan seumuran sama kami Kak. Jadi nanti Kakak enggak usah sungkan sama dia."Benar saja. Keduanya datang, dengan setelan jas hitam yang sama.Kalau Eva tidak berambut panjang mungkin aku benar-benar tidak bisa membedakan mereka berdua.Antara Eva yang terlihat muda dari umurnya atau Evan yang terlihat lebih tua. Cukup membuatku tersenyum memikirkannya."Evan." Ah, aku mengerti. Evan memang berwajah boros. Dia terlihat lebih dewasa dari umurnya."Trouble Maker." Celetuk Raka mulai merangkul Evan sambil menepuk pundaknya."Ah, bukan konotasi negarif kok. Kakak tenang saja." Sambungnya lagi."Dia umpan yang baik, serta pengendali situasi jika mulai tidak sesuai dengan rencana." Tutur Genta."Aku lebih suka menyebutnya dengan plan B." Itu terdengar positif dari pada trouble maker."Itu terlalu norak. Aku lebih suka di sebut Trouble Maker." Evan tersenyum dengan hanya mengangkat ujung bibirnya sebelah."Dia menamai dirinya sendiri begitu Kak!" Sewot Raka."Bersikaplah sopan di depan Tuan muda. Perhatikan Genta sebagai contoh.""Ah! Kak aku ini adikmu. Bukan Genta. Genta. Genta mulu."Bertambah satu orang normal lagi di rumah ini. Mungkin suatu hari nanti, rumah ini akan menjadi hangat.Layaknya rumah yang memiliki keluarga lengkap.Memikirkan tentang keluarga lengkap aku jadi merindukan keberadaanku ditengah keluarga Theodora.Lebih rindu lagi dengan dirinya. Apa dia hidup bahagia? Walaupun dia harus dijodohkan dengan suaminya.Aku berharap dia bisa mendapatkan suami yang pantas untuknya. Mencintai dan melindunginya sepenuh hati.Raka, mungkin suatu hari nanti aku butuh bantuanmu untuk mencari tahu tentangnya.Tidak sekarang, sebelum aku memiliki kekuatan untuk bertemu dengannya.Tanpa ketakutan yang tidak pasti, mungkin akan hasilnya akan sama dengan yang terakhir."Jadi kalian berdua yang akan menemaniku ke pelabuhan?""Tentu Tuan muda." Evan mengcungkan tangannya."Boleh aku memanggil Kakak, kayak Raka memanggilmu.""Evan!" Eva mulai geram dengan kelakuan adiknya yang dia rasa kurang sopan."Kenapa lagi? Orangnya juga belum jawab dan kelihatan baik-baik saja."Aku tersenyum melihat tingkah kedua kakak adik itu."Tentu saja boleh, kalau Eva dan juga Genta ingin memanggilku dengan Kakak juga boleh.""Tuh dengerin. Kali ini aku yang memang.""Tuan muda mohon maafkan kelakuan adikku yang tidak sopan ini.""Hahahha, tidak apa-apa Eva. Malah Raka dan Evan lah yang membuatku menjadi waras.""Memangnya apa yang salah dengan kami?" Ops! Apa Genta tersinggung.Tapi saat melihat ekspresi wajahnya. Sama datarnya, seperti dia menjelaskan atau sedang dalam permbincangan serius ataupun santai."Kalian beruda terlalu sempurna untuk disebut manusia."Aku mengoreksinya, mereka terlalu profesional samai pada kehidupan sehari-hari."Maksudnya?" Jawab Evan dan Raka berbarengan."Lihat saja ekspresi wajah mereka. Datar." Tawa Evan dan Raka pun pecah. Seolah aku berada dipihak mereka berdua.Sesuai rencana diawal, maka aku akan mulai dari tempat yang terdekat denganku.Selain untuk memudahkan ku menyusun rencana, juga menghindari agar tidak terlalu menimbulkan perhatian dari berbagai pihak.Hanya kami bertiga yang berangkat ke pelabuhan. Menurut Eva kehadiran dia dan adiknya sudah cukup bisa menjagaku.Mobil berhenti di salah satu gudang di samping pelabuhan.Aku mulai gugup, di depan pintu saja sudah ada dua orang yang berjaga."Ini." Evan yang duduk di kursi pengemudi menengok dan menyerahkan satu senjata api.Jenis Glock tapi aku tidak yakin ini tipe yang mana.Isinya bisa enam sampai delapan peluru tergantung tipe. Kecepatan dan jarak tembaknya juga berbeda-beda dalam setiap tipe. Mungkin aku harus mulai mecari tahu tentang jenis-jenis senjata api dalam waktu dekat ini."Tuan muda tidak usah diberi." Eva mengambil langsung dari tangan adiknya."Apa salahnya? Dia butuh itu sebagai jaga-jaga.""Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan, bagi Tuan muda yang belum terbias
Sudah seminggu untuk insiden akuisisi pelabuhan. Aku harus kembali kesana untuk mengisi kekosongan akibat terbunuhnya pemimpin mereka. Kata Eva mereka tidak boleh dibiarkan kebingungan. Hari ini, tidak seperti kemarin. Kami mengganti formasi. Evan tidak ikut sebab digantikan oleh Raka. Raka akan bertugas untuk menyiapkan segala keamanan gudang. Akan ada pemasangan cctv dan pemasangan kode agar tidak akan bisa sembarang orang masuk kedalam gudang nantinya. Eva masih ikut sebagai pelindungku. Itu yang dilontarkanya. "Jadi ini tempatnya?" Raka mengedarkan pandangannya. Bahkan sampai kepala dan badannya ikut berputar-putar. Mengajaknya kemari seperti mengajak anak pergi ke taman wisata. Ada dua koper berukuran besar yang ikut di dereknya."Apa ada masalah?" Tanyaku saat melihat senyuman di wajahnya tiba-tiba hilang."Hm, listriknya. Kayaknya ini gudang tua yang usang.""Kamu berharap ini apa? Taman bermain?""Seenggaknya instalasi listriknya memadailah." Setelah kami masuk mere
"Duh, ngapain kita disini sih?" Evan terlihat berjalan ogah-ogahan melintasi taman depan. "Bawa yang aku pesan?" Genta mengacungkan dua keresek besar di tangannya. Yup. Hari ini aku ingin sedikit merayakan keberhasilan kita. Merayakan diarea pelabuhan. Lebih tepatnya di halaman rumah singgah. Aku menamai rumah yang dulunya dimiliki boss dengan nama rumah singgah. Siapa pun bisa menggunakannya tidak hanya untukku saja. Satu peti kayu berisikan daging sapi segar dan yang satunya lagi berisi daging ikan. Ini adalah pemberian anak buah baruku. Kami ingin mengadakan barbeque. Genta dan Evan, aku suruh berbelanja keperluan tambahan. Seperti sayuran dan saus yang akan dipakai. Surya membantu mempersiapkan peralatan panggang dan piring yang sudah tersedia di rumah ini. Eva membantu menyiapkan meja panjang di luar ruangan untuk tempat kami menikmati hidangan nantinya setelah semua ini matang. Lagi-lagi aku teringat keluarga Theodora. Mungkin sebenarnya aku melakukannya karena meri
"Yakin?" Genta memandang orang yang mengantri di bandara. Jujur aku tidak percaya diri. Jadi aku ajak saja semuanya sekalian. Termasuk semua anak buah di pelabuhan. Dibantu oleh Eva, kami memesan khusus penerbangan umum hanya untuk perjalanan kami. Jet pribadi yang di miliki keluarga Theodora di Bali tidak mampu menampung penumpang sebanyak ini. Kami gunakan saja fasilitas umum yang dimodifikasi sedikit demi kenyamanan kami maupun penumpang lainnya. "Gunanya bawa anak buah segini banyak apa coba?" Genta kembali berkomentar. "Ya enggak apa-apa dong. Makin banyak orang makin seru perjalanan kita." Raka menimpali dengan ceria. "Aku rasa tumbal segini cukup untuk menyelamatkan kita di situasi genting." Sekarang giliran Evan yang angkat bicara. "Heh! Maksudnya tumbal apaan?" Mulai lagi. Raka dan Evan bertengkar. Disana juga semuanya sudah dikoordinasi dengan baik oleh Eva. Dia sangat berjasa untuk urusan seperti ini. Mungkin jika semuanya sudah selesai aku akan mengangkat Eva men
Pukul dua belas malam.Aku sedang berdiri di balkon. Menunggu Soraya. Konyol memang berpikir malam ini dia juga akan bersenandung disini. Sepertinya itu dia. Suara langkah kakinya semakin mendekat. "Tuan Muda.""Genta?" Aku masih mencari Soraya di balik tubuh Genta. "Sedang menunggu seseorang?""Iya. Tapi mungkin dia tidak akan datang malam ini.""Siapa?" "Dia bilang salah satu pasien VVIP rumah sakit ini?" Aku masih melihat Genta kebingungan. Apa reaksinya akan sama dengan Raka. "Aku akan minta bantuan Raka untuk mencari tahu tentang itu." Genta mulai menyamankan diri, bersandar di balkon sambil menikmati pemandangan kota. Raka? Berdoa saja semoga dia tidak heboh dan membuat dirinya berada dalam masalah, karena diam-diam menemuiku di rumah sakit. "Tuan Muda, suatu saat nanti jika semuanya sudah tenang. Bolehkah saya pergi melihat dunia?""Tentu saja. Makannya aku tidak bisa menunda-nunda hal ini lebih lama." "Terima kasih Tuan Muda sudah mengizinkanku." Ada seulas senyuman
Raka menyerahkan tab yang sedari tadi diutak-atiknya. Benar tebakkanku. Soraya bukan sembarangan anak konglomerat biasa. Kedok mereka ada perusahaan telekomunikasi. Pantas saja perdagangan senjata mereka sudah tersebar di berbagai dunia. Dia bisa menjalankan kedua bisnis tanpa terendus. "Anak satu-satunya?"Berarti yang kita temui tadi bukanlah pemilik sesungguhnya. Bisa saja dia memang memimpin tapi di bisnis ilegal. Sedangkan Soraya mungkin saja tidak mengetahui apa-apa soal bisnis ilegal.Pertemuan aku dan Soraya terlalu janggal hanya untuk disebut sebagai kebetulan. Bahkan ada makna disetiap perkataannya. Coba saja kami bisa bertukar nomor ponsel atau sejenisnya mungkin aku bisa menghubunginya saat ini.Ha! Taman Hiburan. "Raka adakah Taman Hiburan di sekitar kota ini?""Ada, emangnya kenapa?" "Aku sudah membuat janji akan bertemu dengannya disana.""Dengan siapa?" Eva mengerutkan dahinya. Tentu saja dia kaget, selama ini segala jenis komunikasi tentang pekerjaan dia yang ha
Tepat waktu. Aku dan dia berjalan saling mendekat. "Aku menerima penawaranmu." "Sudah kuduga. Dari awal aku PD sama diri sendiri."Huh? Dia benar-benar terobsesi denganku. Bila dilihat dari sudut pandang dia, tentu pihak yang tidak mendapatkan apa-apa adalah dia. "Ayo.""Kemana?""Kerumahku, kita harus mengadakan pesta bukan?" Secepat ini kah?"Bukannya kamu ingin semua beres dengan cepat?" Pertama Eva lalu sekarang dia. Apa wajahku selalu mudah di tebak?"Karena perempuan peka dan muka kamu telihat sepolos itu." Ok, aku sekarang harus pintar menyimpan emosiku."Ehm, untuk kedepannya biar aku yang memutuskan." Aku menghalangi langkah Soraya saat tahu tujuannya. Aku masih maklum dengan dia yang mengajukan pertunangan dan acara dadakan hari ini. Dari tadi aku mengikuti Soraya. Menuju mobilnya? Aku merasa tersinggung sebagai seorang laki-laki. "Apa?""Aku tidak mungkin bertemu dengan keluargamu seperti ini. Kurang pantas.""Terus? Kamu mau apa?""Aku yang akan memilihkan tempat unt
Masih dalam suasana tegang, kami hanya bertatapan tajam. Tiba-tiba suara tembakkan menyeruak.Kami menunduk di bawah meja, diantara peluru yang menembus kaca itu ada yang bersarang di tubuh pengunjung lain. Hanya kami yang cekatan yang bisa lolos dari peluru yang memberondongi rumah makan ini."Sial!" Seru Xing sambil meronggoh sesuatu dibalik jas yang dikenakannya.Aku mengangkat wajahku untuk melihat situasi sekitar. Kacau! Isak tangis, getar tubuh yang ketakutan menguasai ruangan ini. Penjaga yang berada di luar!"Mau kemana?" Soraya menahan tubuhku yang hendak keluar."Siapa yang berani menyerangku secara terang-terangan!" Geram Zhang sambil melirik kearahku, seolah ini adalah jebakan yang aku buat untuk dirinya. Aku mendengar suara siulan dan dari arah seberang aku melihat Genta, sejak kapan dia pindah kesana? Genta melambaikan tanganya. Seperti menyuruh kami pindah kesisinya."Kalian ikuti bocah itu, mungkin dia menemukan jalan keluar. Aku yang akan mengurus semuanya." Ucap
"Apa yang anda lakukan!" "Rafli." Ternyata masih orangku. Aku sudah panik takut ketahuan keluarga Theodora. "Aku hanya mau bertemu dengannya." Ucapku polos. "Anda mau rencana kita gagal?!""Aku hanya akan menyapa sebentar lalu--""Jika anda tidak bisa menahan diri, lebih baik anda kembali ke hotel. Biar kami yang memantau keadaan." Lanjutnya lagi.Ada benarnya juga, aku hanya akan membahayakan misi ini. "Aku percayakan ini padamu." Ucapku pada akhirnya."Tunggu, tapi kenapa tahu soal Thea." Sebelumnya Rafli tidak tahu siapa itu Thea. Aku kembali lagi berbalik dan mengintrogasi Rafli."Sebenarnya kami merahasiakan ini dari Tuan Muda. Saat Raka meretas data pasien rumah sakit, dia menemukan berkas Anthea Theodora."Aku tahu lambat laun akan begini, makannya saat tadi aku melihat anda langsung berlari padanya, aku segera datang menyelamatkan Tuan Muda.""Thea sakit? Dia sakit apa?""Di hotel anda bisa meminta rekam medisnya pada Raka. Sekarang cepatlah kembali ke hotel sebelum ada yan
Evan, anak buah yang aku banggakan saja bisa dikalahkan olehnya. Bahkan Rafli tidak terluka atau mengeluarkan keringat sama sekali ketika bertarung. "Eva, bagaimana keadaannya sudah membaik? Aku sudah memanggilkan dokter. Mungkin sedang dalam perjalan.""Padahal sudah lebih baik, jadi merepotkan Tuan Muda.""Bisa kita bicara di luar sebentar." Kami keluar dari kamar Evan.Ruang tengah menjadi tempat yang kami pilih.Sebenarnya aku juga ketakutan. Bahwa suatu saat aku akan menjadi monster.Monster yang akan membahayakan keluargaku sendiri. Saat ini kakek sedang merancang ku sebagai monster bagi keluarga Theodora. Apakah aku mampu untuk memenuhi semua ekspetasi kakek. Langkah pertama, aku harus bertemu dengannya dan membicarakan semuanya dari awal. Lagi pula sekarang sudah ada Soraya sebagai salah satu alasanku untuk kembali berdamai dengan keluarga Theodora. "Aku ingin menjalankan rencanaku selanjutnya.""Apa yang bisa saya bantu?""Aku agak khawatir. Fokus saja merawat Evan. Aku ak
Bibi Zara pagi ini sudah harus kembali ke Jerman. Katanya ada urusan yang mendesak. Aku dan Soraya mengantarkannya ke bandara. "Seperti yang kita sepakati kemarin. Aku ingin kamu bisa memantau putraku sekaligus melindungi keponakanku. Bukan hal yang sulitkan?"Rafli terlihat menyunggingkan senyumnya hanya sebelah. Menurutku terlalu sinis saat melihatnya. Sebenarnya kami ini, monster jenis apa? Kalau diperhatikan kami yang terlahir dari klan anggota mafia memiliki ke unggulan yang menjadi ciri khas masing-masing klan. Mungkin faktor genetik juga menjadi salah satu dukungan bakat kami sekarang dan sekarang aku sedang menebak, bakat spesial apa yang dimiliki oleh Rafli."Aku bukan baby siter, Ma'am.""Tapi kamu pelatih anak-anak mafia terbaik. Mereka berdua adalah penerus salah klan mafia terbesar-- ""Baiklah, aku akan bekerja sesuai dengan bayaranku." Potong Rafli yang terlihat tidak ingin berbasa-basi terlalu lama."Tentu, aku malah akan melipat gandakannya. Karena sekarang tugasm
"Pantai~" Soraya membuka kaca jedela mobil sambil menikamti hembusan angin laut."Dasar norak!" Sahut Evan sambil sesekali melihat kaca spion belakang."Biarin." Nah setelah ini pasti ada pertengkaran yang tidak penting lagi. Aku dan Eva langsung menyiapkan tablet pc dan mulai memantau pekerjaan kami. Recananya hari ini aku dan Eva akan mengunjungi perkebunan yang sudah lama terbengkalai.Aku akan membeli lahannya dan mencoba menghidupkan lagi perkebunan itu. Seolah latihan untukku menciptakan lapangan kerja baru untuk anak buahku jika mereka pensiun dari kegiatan kotor ini."Kita sampai." Ucapku dan Soraya langsung berlari ke halaman depan melihat-lihat bunga yang ditanam Eva. Selain mengurus kami Eva juga mempunyai kegiatan lain untuk merilekskan tubuhnya yaitu dengan menanam bunga di halaman depan."Apa aku harus merekrut seorang asisten rumah tangga ya mulai sekarang?""Eh? Emangnya enggak punya?""Aku bisa mengurus hidupku sendiri dan anak-anak yang tinggal disini juga sangat
Masih dalam suasana tegang, kami hanya bertatapan tajam. Tiba-tiba suara tembakkan menyeruak.Kami menunduk di bawah meja, diantara peluru yang menembus kaca itu ada yang bersarang di tubuh pengunjung lain. Hanya kami yang cekatan yang bisa lolos dari peluru yang memberondongi rumah makan ini."Sial!" Seru Xing sambil meronggoh sesuatu dibalik jas yang dikenakannya.Aku mengangkat wajahku untuk melihat situasi sekitar. Kacau! Isak tangis, getar tubuh yang ketakutan menguasai ruangan ini. Penjaga yang berada di luar!"Mau kemana?" Soraya menahan tubuhku yang hendak keluar."Siapa yang berani menyerangku secara terang-terangan!" Geram Zhang sambil melirik kearahku, seolah ini adalah jebakan yang aku buat untuk dirinya. Aku mendengar suara siulan dan dari arah seberang aku melihat Genta, sejak kapan dia pindah kesana? Genta melambaikan tanganya. Seperti menyuruh kami pindah kesisinya."Kalian ikuti bocah itu, mungkin dia menemukan jalan keluar. Aku yang akan mengurus semuanya." Ucap
Tepat waktu. Aku dan dia berjalan saling mendekat. "Aku menerima penawaranmu." "Sudah kuduga. Dari awal aku PD sama diri sendiri."Huh? Dia benar-benar terobsesi denganku. Bila dilihat dari sudut pandang dia, tentu pihak yang tidak mendapatkan apa-apa adalah dia. "Ayo.""Kemana?""Kerumahku, kita harus mengadakan pesta bukan?" Secepat ini kah?"Bukannya kamu ingin semua beres dengan cepat?" Pertama Eva lalu sekarang dia. Apa wajahku selalu mudah di tebak?"Karena perempuan peka dan muka kamu telihat sepolos itu." Ok, aku sekarang harus pintar menyimpan emosiku."Ehm, untuk kedepannya biar aku yang memutuskan." Aku menghalangi langkah Soraya saat tahu tujuannya. Aku masih maklum dengan dia yang mengajukan pertunangan dan acara dadakan hari ini. Dari tadi aku mengikuti Soraya. Menuju mobilnya? Aku merasa tersinggung sebagai seorang laki-laki. "Apa?""Aku tidak mungkin bertemu dengan keluargamu seperti ini. Kurang pantas.""Terus? Kamu mau apa?""Aku yang akan memilihkan tempat unt
Raka menyerahkan tab yang sedari tadi diutak-atiknya. Benar tebakkanku. Soraya bukan sembarangan anak konglomerat biasa. Kedok mereka ada perusahaan telekomunikasi. Pantas saja perdagangan senjata mereka sudah tersebar di berbagai dunia. Dia bisa menjalankan kedua bisnis tanpa terendus. "Anak satu-satunya?"Berarti yang kita temui tadi bukanlah pemilik sesungguhnya. Bisa saja dia memang memimpin tapi di bisnis ilegal. Sedangkan Soraya mungkin saja tidak mengetahui apa-apa soal bisnis ilegal.Pertemuan aku dan Soraya terlalu janggal hanya untuk disebut sebagai kebetulan. Bahkan ada makna disetiap perkataannya. Coba saja kami bisa bertukar nomor ponsel atau sejenisnya mungkin aku bisa menghubunginya saat ini.Ha! Taman Hiburan. "Raka adakah Taman Hiburan di sekitar kota ini?""Ada, emangnya kenapa?" "Aku sudah membuat janji akan bertemu dengannya disana.""Dengan siapa?" Eva mengerutkan dahinya. Tentu saja dia kaget, selama ini segala jenis komunikasi tentang pekerjaan dia yang ha
Pukul dua belas malam.Aku sedang berdiri di balkon. Menunggu Soraya. Konyol memang berpikir malam ini dia juga akan bersenandung disini. Sepertinya itu dia. Suara langkah kakinya semakin mendekat. "Tuan Muda.""Genta?" Aku masih mencari Soraya di balik tubuh Genta. "Sedang menunggu seseorang?""Iya. Tapi mungkin dia tidak akan datang malam ini.""Siapa?" "Dia bilang salah satu pasien VVIP rumah sakit ini?" Aku masih melihat Genta kebingungan. Apa reaksinya akan sama dengan Raka. "Aku akan minta bantuan Raka untuk mencari tahu tentang itu." Genta mulai menyamankan diri, bersandar di balkon sambil menikmati pemandangan kota. Raka? Berdoa saja semoga dia tidak heboh dan membuat dirinya berada dalam masalah, karena diam-diam menemuiku di rumah sakit. "Tuan Muda, suatu saat nanti jika semuanya sudah tenang. Bolehkah saya pergi melihat dunia?""Tentu saja. Makannya aku tidak bisa menunda-nunda hal ini lebih lama." "Terima kasih Tuan Muda sudah mengizinkanku." Ada seulas senyuman
"Yakin?" Genta memandang orang yang mengantri di bandara. Jujur aku tidak percaya diri. Jadi aku ajak saja semuanya sekalian. Termasuk semua anak buah di pelabuhan. Dibantu oleh Eva, kami memesan khusus penerbangan umum hanya untuk perjalanan kami. Jet pribadi yang di miliki keluarga Theodora di Bali tidak mampu menampung penumpang sebanyak ini. Kami gunakan saja fasilitas umum yang dimodifikasi sedikit demi kenyamanan kami maupun penumpang lainnya. "Gunanya bawa anak buah segini banyak apa coba?" Genta kembali berkomentar. "Ya enggak apa-apa dong. Makin banyak orang makin seru perjalanan kita." Raka menimpali dengan ceria. "Aku rasa tumbal segini cukup untuk menyelamatkan kita di situasi genting." Sekarang giliran Evan yang angkat bicara. "Heh! Maksudnya tumbal apaan?" Mulai lagi. Raka dan Evan bertengkar. Disana juga semuanya sudah dikoordinasi dengan baik oleh Eva. Dia sangat berjasa untuk urusan seperti ini. Mungkin jika semuanya sudah selesai aku akan mengangkat Eva men