Di samping istana, tampak seorang gadis cantik berkulit putih tengah duduk sendirian sambil memperhatikan kesibukan para pelayan istana. Tiba-tiba saja, ada seorang pemuda di antara kesibukan para pelayan memanggil gadis cantik itu, "Yunada!" Mendengar teriakan tersebut, Yunada mengangkat wajahnya, lalu melambaikan tangan ke arah pemuda itu. "Ke sinilah, Kakang. Temani aku!" teriak Yunada. "Kau saja yang ke sini, aku sedang sibuk!" jawab pemuda itu. Dia adalah Anggareksa—Putra Patih Anggadita. Anggareksa turut pula mengatur persiapan jelang pesta hari lahir Rangkuti—putra angkat Prabu Erlangga, meskipun pemuda itu masih tetap berpakaian seperti seorang bangsawan pada umumnya. Dengan demikian, Yunada pun bangkit dan langsung melangkah menghampiri Anggareksa. "Kenapa kau hanya duduk-duduk saja? Bantu sini!" kata Anggareksa kepada Yunada yang sudah berdiri di hadapannya. "Aku sedang malas Kakang," sahut Yunada dengan entengnya. Anggareksa tersenyum lebar menatap wajah cantik gadis
Mendengar perkataan dari pria tersebut, Junada tampak semakin gusar. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung melakukan serangan terhadap orang-orang tersebut, terutama kepada pemimpin dari kelompok para pendekar itu yang sudah berkata kasar terhadapnya. Demikianlah, pertarungan itu pun tidak dapat terelakkan lagi. Saketi dan yang lainnya pun turut membantu Junada dalam melakukan perlawanan terhadap para pendekar yang menghadang perjalanan mereka. "Jangan mundur kalian! Lawan orang-orang itu!" seru salah seorang dari mereka langsung menghunus pedangnya. Saketi pun sudah melakukan pertarungan dengan salah seorang pendekar dari kelompok itu. Semula mereka tampak garang dan sangat ganas dalam melakukan penyerangan terhadap Saketi dan para pengikutnya. Namun, ketika salah seorang dari mereka berhasil dijatuhkan oleh sang pangeran, serangan tersebut mulai mengendor. Para pendekar itu mundur beberapa langkah ke belakang sambil membantu kawannya yang sudah terluka parah. "Hei! Kenapa kalian m
Demikianlah, maka Saketi dan para pengikutnya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju kediaman Ki Wilata yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tersebut. Ketika matahari hampir terbenam, Saketi dan para pengikutnya sudah tiba di sebuah gubuk yang berdiri di bibir hutan belantara. Gubuk tersebut milik Ki Wilata dan Arini sang pemilik pedang pusaka Sulaiman. Dua pasang pendekar paruh baya tampak semringah ketika melihat kedatangan sang pangeran dan para pengawalnya itu. Mereka langsung menyambut hangat penuh kebahagiaan. "Ambuing-ambuing ... tidak kusangka kita akan akan bertemu lagi," sambut seorang pria paruh baya. "Silahkan duduk!" sambungnya lirih, raut wajah pria paruh baya itu tampak semringah. "Terima kasih, Ki," sahut Saketi menjura hormat kepada sang pemilik rumah. Dengan demikian, mereka pun langsung duduk bersama di beranda rumah tersebut. Rumah yang dulu pernah disinggahi oleh Saketi, Sami Aji, dan Junada. Ki Wilata terus memandangi wajah Abdullah, karena Abd
Sokala tidak langsung menjawab pertanyaan dari Wira Jaya. Hal tersebut membuat kawannya itu semakin dibuat penasaran. "Sokala, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Wira Jaya mengerutkan kening. "Hahaha ... maafkan aku, Wira!" jawab Sokala. " Apa kau kenal dengan pendekar yang bernama Hong In?" sambung Sokala balas melontarkan pertanyaan kepada Wira Jaya. "Ya, aku mengenalnya," jawab Wira Jaya lirih. "Hong In seorang pendekar keturunan Tonggon, ayahnya seorang panglima prajurit perang yang menikahi seorang perempuan dari bangsa Buana?"sambungnya menuturkan. "Benar sekali, Hong In sudah menyatakan diri untuk bergabung dengan kelompok kita, dan ia sudah mempersiapkan para pendekar didikannya untuk membantu kita!" tegas Sokala menjawab pertanyaan dari kawannya itu. Seketika raut wajah Wira Jaya tampak semringah. Dengan demikian, ia pun langsung menyetujui gagasan dari kawannya itu. Bahkan, Wira Jaya menyatakan dukungan penuh kepada Sokala, meskipun awalnya Wira Jaya merasa r
Demikianlah, maka Patih Anggadita pun langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada para petinggi istana lainnya. Setibanya di istana kepatihan, ia langsung memanggil para punggawanya, dan segera memberi perintah kepada mereka agar segera menyiapkan pasukan untuk melakukan penyisiran ke dalam hutan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian para pemberontak itu. "Aku harap kalian dapat melaksanakan tugas ini dengan baik, ini adalah perintah langsung dari sang raja. Sang raja menginginkan agar kita harus menumpas para pendekar dari kelompok pemberontak itu!" tegas sang patih di sela perbincangannya dengan para punggawanya. Kemudian, Patih Anggadita langsung menunjuk Runada untuk memimpin pasukan yang hendak melakukan penyisiran ke dalam hutan belantara yang ada di pinggiran desa tidak jauh dari lokasi istana kepatihan. "Baik, Gusti Patih. Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan baik," sahut Runada menjura hormat kepada sang patih. Demikianlah, maka ia dan seribu pasukan khusu
Dengan demikian, para pendekar itu langsung berkumpul di halaman barak tersebut. Mereka tampak antusias dalam memenuhi panggilan Wira Jaya sebagai panglima mereka. Setelah para pendekar itu berkumpul semua, maka Wira Jaya pun langsung berkata di hadapan ratusan pendekar tersebut. Ia menghimbau kepada para pendekar itu, untuk segera bersiap dalam melakukan perlawanan terhadap para prajurit kerajaan Sanggabuana yang akan melakukan serangan terhadap mereka. "Apakah benar mereka sudah berada di bibir hutan?" tanya salah seorang pendekar tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wira Jaya. "Ya, mereka sudah berada di sana semenjak siang tadi," jawab Wira Jaya. "Malam ini kita harus berhati-hati! Jangan sampai lengah! Kita harus waspada khawatir jika mereka menyerang secara mendadak!" sambungnya. "Baik, Panglima. Kami akan mempersiapkan diri menghadapi serangan mereka!" tegas salah seorang di antara ratusan para pendekar itu. Dengan demikian, mereka pun langsung membagi tugas masing-ma
Sebagian dari para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah beristirahat di dalam perkemahan itu, yang mereka dirikan di batas desa yang ada di bibir hutan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian para pemberontak pimpinan Wira Jaya. Demikianlah, malam itu mereka lewati dengan kondisi aman dan terkendali. Tak ada gangguan sedikitpun dari para pemberontak di hutan tersebut. Sebelum matahari terbit, sekitar seribu prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berbaris rapi di sebuah tempat terbuka yang ada di area perkemahan mereka. Pagi itu, Patih Anggadita sudah tiba di lokasi perkemahan para prajuritnya. Sang patih akan terjun langsung dalam misi yang diembankan oleh Prabu Erlangga dalam rangka menumpas para pemberontak yang selama ini telah mengganggu ketertiban dan keamanan di wilayah kepatihan Kuta Tandingan Timur. "Persiapkan diri kalian ... ingat! Bahwa serangan ini bukanlah hal yang mudah, kalian harus waspada dan berhati-hati!" ujar sang patih berbicara di hadapan para prajuritnya ya
Para prajurit itu langsung menangkap Hong In dan lima puluh orang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Para pendekar itu segera di bawa ke istana kepatihan dan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Belum dapat dipastikan hukuman apa yang akan mereka terima? Patih Anggadita dan para prajuritnya langsung kembali ke istana kerajaan. Di tempat itu hanya menyisakan 200 orang prajurit untuk sekadar berjaga-jaga saja, karena pihak kepatihan Kuta Tandingan Timur sudah membangun saung keamanan dan bangunan barak tempat para prajurit. Penduduk yang ada di desa tersebut, tampak bahagia mendengar kabar bahwa para pemberontak sudah berhasil dikalahkan oleh pasukan prajurit kerajaan Sanggabuana. Mereka pun langsung mengadakan pertemuan di balai warga guna membahas langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan wilayah desa tersebut, agar tidak terjadi lagi peristiwa yang sama di masa yang akan datang. "Ini adalah sebuah kemenangan yang harus kita rayakan bersama," ujar seorang pria paruh baya