Sokala tidak langsung menjawab pertanyaan dari Wira Jaya. Hal tersebut membuat kawannya itu semakin dibuat penasaran. "Sokala, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Wira Jaya mengerutkan kening. "Hahaha ... maafkan aku, Wira!" jawab Sokala. " Apa kau kenal dengan pendekar yang bernama Hong In?" sambung Sokala balas melontarkan pertanyaan kepada Wira Jaya. "Ya, aku mengenalnya," jawab Wira Jaya lirih. "Hong In seorang pendekar keturunan Tonggon, ayahnya seorang panglima prajurit perang yang menikahi seorang perempuan dari bangsa Buana?"sambungnya menuturkan. "Benar sekali, Hong In sudah menyatakan diri untuk bergabung dengan kelompok kita, dan ia sudah mempersiapkan para pendekar didikannya untuk membantu kita!" tegas Sokala menjawab pertanyaan dari kawannya itu. Seketika raut wajah Wira Jaya tampak semringah. Dengan demikian, ia pun langsung menyetujui gagasan dari kawannya itu. Bahkan, Wira Jaya menyatakan dukungan penuh kepada Sokala, meskipun awalnya Wira Jaya merasa r
Demikianlah, maka Patih Anggadita pun langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada para petinggi istana lainnya. Setibanya di istana kepatihan, ia langsung memanggil para punggawanya, dan segera memberi perintah kepada mereka agar segera menyiapkan pasukan untuk melakukan penyisiran ke dalam hutan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian para pemberontak itu. "Aku harap kalian dapat melaksanakan tugas ini dengan baik, ini adalah perintah langsung dari sang raja. Sang raja menginginkan agar kita harus menumpas para pendekar dari kelompok pemberontak itu!" tegas sang patih di sela perbincangannya dengan para punggawanya. Kemudian, Patih Anggadita langsung menunjuk Runada untuk memimpin pasukan yang hendak melakukan penyisiran ke dalam hutan belantara yang ada di pinggiran desa tidak jauh dari lokasi istana kepatihan. "Baik, Gusti Patih. Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan baik," sahut Runada menjura hormat kepada sang patih. Demikianlah, maka ia dan seribu pasukan khusu
Dengan demikian, para pendekar itu langsung berkumpul di halaman barak tersebut. Mereka tampak antusias dalam memenuhi panggilan Wira Jaya sebagai panglima mereka. Setelah para pendekar itu berkumpul semua, maka Wira Jaya pun langsung berkata di hadapan ratusan pendekar tersebut. Ia menghimbau kepada para pendekar itu, untuk segera bersiap dalam melakukan perlawanan terhadap para prajurit kerajaan Sanggabuana yang akan melakukan serangan terhadap mereka. "Apakah benar mereka sudah berada di bibir hutan?" tanya salah seorang pendekar tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wira Jaya. "Ya, mereka sudah berada di sana semenjak siang tadi," jawab Wira Jaya. "Malam ini kita harus berhati-hati! Jangan sampai lengah! Kita harus waspada khawatir jika mereka menyerang secara mendadak!" sambungnya. "Baik, Panglima. Kami akan mempersiapkan diri menghadapi serangan mereka!" tegas salah seorang di antara ratusan para pendekar itu. Dengan demikian, mereka pun langsung membagi tugas masing-ma
Sebagian dari para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah beristirahat di dalam perkemahan itu, yang mereka dirikan di batas desa yang ada di bibir hutan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian para pemberontak pimpinan Wira Jaya. Demikianlah, malam itu mereka lewati dengan kondisi aman dan terkendali. Tak ada gangguan sedikitpun dari para pemberontak di hutan tersebut. Sebelum matahari terbit, sekitar seribu prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berbaris rapi di sebuah tempat terbuka yang ada di area perkemahan mereka. Pagi itu, Patih Anggadita sudah tiba di lokasi perkemahan para prajuritnya. Sang patih akan terjun langsung dalam misi yang diembankan oleh Prabu Erlangga dalam rangka menumpas para pemberontak yang selama ini telah mengganggu ketertiban dan keamanan di wilayah kepatihan Kuta Tandingan Timur. "Persiapkan diri kalian ... ingat! Bahwa serangan ini bukanlah hal yang mudah, kalian harus waspada dan berhati-hati!" ujar sang patih berbicara di hadapan para prajuritnya ya
Para prajurit itu langsung menangkap Hong In dan lima puluh orang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Para pendekar itu segera di bawa ke istana kepatihan dan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Belum dapat dipastikan hukuman apa yang akan mereka terima? Patih Anggadita dan para prajuritnya langsung kembali ke istana kerajaan. Di tempat itu hanya menyisakan 200 orang prajurit untuk sekadar berjaga-jaga saja, karena pihak kepatihan Kuta Tandingan Timur sudah membangun saung keamanan dan bangunan barak tempat para prajurit. Penduduk yang ada di desa tersebut, tampak bahagia mendengar kabar bahwa para pemberontak sudah berhasil dikalahkan oleh pasukan prajurit kerajaan Sanggabuana. Mereka pun langsung mengadakan pertemuan di balai warga guna membahas langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan wilayah desa tersebut, agar tidak terjadi lagi peristiwa yang sama di masa yang akan datang. "Ini adalah sebuah kemenangan yang harus kita rayakan bersama," ujar seorang pria paruh baya
Setelah selesai melaksanakan Salat Magrib berjamaah, Junada dan Abdullah langsung kembali ke saung yang ada di depan warung makan tempat Saketi dan Sami Aji tengah beristirahat. "Mereka sudah tidur, Paman," ucap Abdullah melangkah mendekat ke arah saung. Kemudian duduk di pinggir saung tersebut. Demikian juga yang dilakukan oleh Junada, ia langsung duduk dan bersandar ke tiang saung itu. Mereka tidak berani membangunkan dua orang kesatria istana yang tertidur pulas di atas bebalean saung tersebut. "Desa ini sangat sepi, padahal pemukiman penduduk sangat padat di desa ini. Tapi, orang-orangnya terlihat sedikit," kata Junada sambil meraih kendi keramik yang berisi air minum, lalu menuangkan air dalam kendi itu ke sebuah gelas keramik berukuran sedang. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Junada langsung meminum air dalam gelas itu. "Aku rasa, sebagian dari penduduk yang ada di desa ini pergi ke kuta untuk bekerja, Paman. Mungkin saja mereka pulang satu bulan sekali atau lebih," kata Abd
Ada banyak hal yang dibicarakan oleh Ki Jenang di hadapan Saketi dan semua yang ada di saung tersebut. Salah satunya terkait peristiwa kelam yang pernah dialami oleh warga desa Kondari beberapa tahun silam, ketika pergerakan para pemberontak Conan masih berlangsung. Teror pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan marak terjadi pada masa itu. Suasana di wilayah Conan hampir keseluruhan dalam kondisi genting. Waktu itu, Ki Jenang masih dalam kondisi jagjag waringkas (gagah perkasa). "Dulu ... aku ini merupakan pimpinan badega desa yang bertugas mengamankan wilayah desa ini dari gangguan kelompok-kelompok perampok dan pemberontakan di masa lampau," ujar Ki Jenang menuturkan. Saketi, Sami Aji, dan kedua pengawalnya itu tampak penasaran dan semakin tertarik dengan kisah masa lalu yang dituturkan oleh pria paruh baya itu. Dengan demikian, Ki Jenang langsung menceritakan kejadian yang pernah ia alami bersama para penduduk desa itu. Enam tahun silam.... “Apakah Ki Sanak bertiga tidak memer
Ki Jenang tersenyum lebar sambil mengangguk pelan. "Alhamdulillah ... memang ini semua merupakan sebuah mukjizat dari Allah, karena sudah menyelamatkan nyawaku," kata pria paruh baya itu lirih. "Jika bukan pertolongan dari Allah, maka sudah dapat dipastikan aku akan tewas disiksa oleh para penjahat itu," sambungnya dengan bola matanya yang berkaca-kaca. Setelah berbicara panjang lebar dengan Junada dan semua yang ada di saung tersebut, Ki Jenang langsung mengajak Junada dan semuanya untuk menginap di kediamannya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi warung makan tersebut. "Sebaiknya malam ini kalian menginap di rumahku saja! Di sini terlalu dingin udaranya, aku rasa ruangan rumahku cukup untuk tidur kalian berempat," kata pria paruh baya itu. Dengan demikian, Junada dan yang lainnya tidak dapat menolak tawaran baik tersebut. Mereka pun segera beranjak dari saung tersebut, dan langsung ikut dengan Ki Jenang untuk menginap di kediamannya. Keesokan harinya.... Saketi dan Sami