Ki Jenang tersenyum lebar sambil mengangguk pelan. "Alhamdulillah ... memang ini semua merupakan sebuah mukjizat dari Allah, karena sudah menyelamatkan nyawaku," kata pria paruh baya itu lirih. "Jika bukan pertolongan dari Allah, maka sudah dapat dipastikan aku akan tewas disiksa oleh para penjahat itu," sambungnya dengan bola matanya yang berkaca-kaca. Setelah berbicara panjang lebar dengan Junada dan semua yang ada di saung tersebut, Ki Jenang langsung mengajak Junada dan semuanya untuk menginap di kediamannya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi warung makan tersebut. "Sebaiknya malam ini kalian menginap di rumahku saja! Di sini terlalu dingin udaranya, aku rasa ruangan rumahku cukup untuk tidur kalian berempat," kata pria paruh baya itu. Dengan demikian, Junada dan yang lainnya tidak dapat menolak tawaran baik tersebut. Mereka pun segera beranjak dari saung tersebut, dan langsung ikut dengan Ki Jenang untuk menginap di kediamannya. Keesokan harinya.... Saketi dan Sami
Dengan demikian, mereka langsung mendirikan saung sederhana untuk dijadikan tempat bermalam mereka di tempat tersebut. "Sebaiknya Paman dan Abdullah Salat Magrib saja dulu! Biarkan saja saung ini aku dan Sami Aji yang merapikannya," ucap Saketi lirih. Ia sangat menghargai perbedaan di antara mereka. Karena walau bagaimanapun, Junada dan Abdullah memiliki kewajiban yang lebih penting dari itu, yakni ibadah salat yang secara rutin harus mereka tunaikan di setiap datang waktunya. "Baik, Pangeran." Junada tersenyum lebar menatap wajah Saketi. Setelah itu, ia langsung mengajak Abdullah mencari sumber air yang ada di sekitar tempat tersebut, untuk segera mereka mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah Salat Magrib yang sudah hampir tiba. "Aku rasa tempat ini aman untuk dijadikan tempat istirahat kita malam ini," desis Sami Aji yang baru selesai memasang atap saung tersebut. "Kita harus segera mencari kayu bakar, sebentar lagi gelap!" ajak Saketi lirih. "Baiklah, kita ke sana saja!"
Setelah kembali dari sungai, Saketi dan Sami Aji langsung menghampiri Junada yang tengah duduk bersama Abdullah di depan saung. "Paman belum makan?" tanya Saketi menatap wajah pria paruh baya yang sudah beberapa bulan ini setia menjadi pengawalnya. "Belum, Pangeran. Paman dan Abdullah sengaja menunggu Pangeran dan Raden Sami Aji," jawab Junada sambil tersenyum. "Oh, ya, sudah. Kita makan sekarang!" ajak Saketi langsung duduk di hadapan Junada. Dengan demikian, Abdullah bangkit dan segera menyiapkan makan yang sudah ia masak sedari tadi. Mereka pun langsung menikmati sarapan pagi bersama di depan saung tersebut. Usai makan, mereka hanya beristirahat sebentar saja. Kemudian langsung merapikan tempat tersebut dan segera membuang sampah-sampah bekas mereka selama berada di tempat tersebut, karena tempat itu merupak perkebunan milik warga. Mereka tidak mau meninggalkan kesan tidak baik bagi sang pemilik kebun, karena tempat tersebut sudah mereka jadikan tempat persinggahan itu. Ketika
Demikianlah, maka Junada pun akhirnya mengalah dan memilih untuk mengikuti aturan yang berlaku di wilayah tersebut. Junada langsung mengajak Saketi untuk segera menghampiri pos keamanan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi para prajurit yang melakukan penghadangan terhadap mereka. Sementara Sami Aji dan Abdullah hanya menunggu di tempat semula dengan diawasi ketat oleh para prajurit yang bertugas di wilayah perbatasan kadipaten Conan Utara. Setibanya di saung keamanan, Junada dan Saketi langsung melakukan perbincangan dengan seorang prajurit yang tengah bertugas di saung tersebut. "Apakah kau masih ragu jika ini adalah putra Gusti Prabu Erlangga?" tanya Junada menanggapi sikap prajurit senior yang masih bersikeras tidak mempercayai jika pemuda yang ada dihadapannya itu adalah Saketi putra Prabu Erlangga. "Mohon maaf, Ki Sanak. Sebaiknya tunggu pimpinan kami dulu! Sebentar lagi beliau akan tiba di saung ini, mungkin dia akan mengenali kalian, karena pemimpin kami sudah lama
Singkat cerita.... Selama tiga tahun, Saketi dan Sami Aji melakukan perjalanan ke seluruh kerajaan Sanggabuana ditemani pula oleh Junada dan Abdullah sebagai pengawal mereka. Semua itu, berdasarkan perintah raja. Kini, sudah waktunya bagi kedua kesatria tersebut untuk kembali ke istana kerajaan. "Maaf, Pangeran. Apakah kita akan kembali ke istana sore ini?" tanya Abdullah dengan hormat kepada pangeran. "Sebentar lagi matahari akan terbenam dan sebentar lagi malam akan tiba. Sebaiknya kita istirahat dulu. Besok pagi saja kita melakukan perjalanan pulang!" Saketi menjawab pelan pertanyaan dari Abdullah. "Baik, Pangeran jika memang seperti itu. Hamba akan segera mendirikan saung di tempat ini," kata Abdulah merangkapkan kedua telapak tangannya sedikit membungkukkan badan. "Tidak perlu, Abdullah!" kata Junada. Abdullah dan Saketi langsung berbalik ke arah pria paruh baya itu. Lalu, Saketi bertanya, "Memangnya kenapa, Paman?" "Pangeran, lihat itu!" jawab Junada, menudingkan jari tel
Ketika Abdullah duduk santai sambil menikmati ubi bakar dan minuman rempah kesukaannya. Tiba-tiba saja, ia mendengar langkah kaki di balik semak-semak yang ada di belakang saung. Saat itu sudah menginjak waktu tengah malam. Dengan cepat, Abdullah bangkit dari duduknya dan langsung melangkah ke arah belakang saung untuk menyelidiki sumber suara tersebut. Sementara itu, Junada, Saketi, dan Sami Aji sudah terlelap tidur. Dengan penuh kewaspadaan, Abdullah melanjutkan langkahnya mengamati sekeliling tempat tersebut dengan sorot mata yang tajam penuh selidik. "Aku percaya ada banyak orang-orang jahat di wilayah ini, dan mereka pasti marah karena ada orang lain di danau ini," kata Abdullah pelan. Tiba-tiba saja, tampak ada sebuah bayangan putih terbang dari satu pohon ke pohon berikutnya di perbatasan hutan dalam sekejap saja menghilang tanpa bekas. "Siapa kau?" Abdullah berseru dengan suara keras. "Aku penghuni rimba ini," sahut orang tersebut. Ia meluncur deras ke arah Abdullah, kemud
Mendengar teriakkan Abdullah, orang itu langsung melesat cepat ke arah timur. Ia terbang melewati danau. Dari cara terbang dan kecepatan gerakannya, sudah dapat dipastikan bahwa orang tersebut bukanlah seorang pendekar biasa. Tentu, ia merupakan seorang pendekar yang memiliki kepandaian ilmu bela diri yang sangat tinggi. Dengan penuh keberanian, Abdullah langsung mengejarnya. Demikian pula dengan Junada, ia bergerak cepat mengikuti Abdullah. Ketika Abdullah dan Junada sudah berada di batas desa, orang tersebut menghentikan langkahnya, lantas berkatalah orang itu sambil tertawa dingin, "Baiklah, saudaraku, aku takut pada kalian. Kalian jangan mengejarku lagi!" Setelah berkata demikian, orang tersebut kembali berlari. Namun, Abdullah dan Junada tetap melakukan pengejaran. "Hai! Mau lari ke mana kau?" teriak Abdullah. "Awas kau! Kupukul kepalamu nanti?" bentak Junada ikut berlari mengikuti langkah Abdullah. Orang itu mengeluarkan gerakan lari pasang surut, kadang cepat dan kadang pe
Setibanya di saung, Junada dan Abdullah kembali duduk di beranda saung tersebut. Malam itu, Junada dan Abdullah memutuskan untuk tidak tidur, karena mereka merasa khawatir jika para penjahat itu akan kembali lagi. "Paman mau minum rempah hangat?" tanya Abdullah lirih. "Iya, Abdullah. Tapi jangan terlalu manis!" jawab Junada. "Baik, Paman." Abdullah segera membuatkan minuman rempah untuk pria paruh baya yang sangat ia hormati itu. Ketika dirinya tengah menumbuk gula Ganting, di belakang saung terdengar suara langkah kaki. Seolah ada seseorang yang berjalan menginjak ranting kering di belakang saung tersebut. Bukan hanya Abdullah saja yang mendengar suara tersebut. Namun, Junada pun mendengarnya. Tapi, Junada meminta Abdullah agar mengabaikannya. "Biarkan saja! Yang terpenting siapa pun orangnya yang ada di belakang saung ini tidak jahat terhadap kita," kata Junada pada Abdullah yang baru selesai membuatkan minuman hangat untuknya. "Iya, Paman." Junada langsung meletakkan dua gela