Tindakannya itu, diikuti pula oleh puluhan prajurit lainnya. Mereka yang merasa memiliki darah Hoda Buana beramai-ramai menyerahkan diri, dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan mendukung berdirinya kerajaan Hoda Buana yang mandiri. Meskipun demikian, tidak sedikit dari para prajurit tersebut yang berlari meninggalkan tempat itu. Mereka yang masih setia dengan pihak istana tetap bersikeras untuk tidak tunduk kepada seruan Saketi, dan mereka lebih memilih untuk kabur dari wilayah Hoda Buana kembali ke istana kerajaan Sirnabaya. "Bawa segera jasad kawan-kawan kalian yang sudah tewas, dan rawat kawan-kawan kalian yang terluka!" seru Panglima Lomaya kepada para prajuritnya. "Baik, Panglima," sahut para prajurit itu, langsung melaksanakan tugas dari Panglima mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para prajurit pemberontak pro kemerdekaan, mereka secara bersama-sama turut membantu mengevakuasi jasad para para prajurit kerajaan Sanggabuana, dan juga jasad kawan-kawan mereka untuk
Saketi memandangi wajah Panglima Serta Madya. Ia sangat kagum dengan sikap bijaksana pria paruh baya itu, yang berani melakukan tindakan tegas keluar dari barisan prajurit kerajaan Sirnabaya, demi mewujudkan sebuah perjuangan untuk kemerdekaan wilayah Hoda Buana. “Kadang seseorang berjuang dengan maksud yang tidak baik, memanfaatkan situasi konflik demi kepentingan pribadi. Tapi itu tidak ada dalam diri Panglima, aku kagum sekali dengan sikap, Panglima," kata Saketi menanggapi perkataan dari Panglima Serta Madya. Panglima Serta Madya tersenyum, dan menjura kepada sang pangeran. Lantas berkata lagi, "Mereka yang seperti itu hanya mengambil keuntungan saja dari kemelut yang terjadi, tanpa menghiraukan banyaknya korban yang berjatuhan karena konflik tersebut. Semoga saja kita yang ada di tempat ini termasuk barisan orang-orang yang tidak seperti itu." "Semua karena ambisi!" tandas Saketi. "Seperti apa yang dilakukan oleh pihak kerajaan Turana. Mereka mendukung kejahatan pihak kerajaan
Menjelang matahari terbit, Junada dan Abdullah yang baru saja selesai menjalankan Salat Subuh, langsung berkemas. Karena pagi itu, mereka akan menemui Patih Akilang di istana kepatihan bersama Saketi dan Sami Aji. "Apakah semua barang-barang bawaan kita sudah dikemas?" tanya Saketi kepada Abdullah. "Sudah, Pangeran. Kita tinggal berangkat saja," jawab Abdullah lirih. "Baiklah, kita pamit dulu kepada Panglima Lomaya dan para prajurit di sini!" Saketi langsung melangkah menghampiri Sami Aji yang sudah berada di beranda barak bersama Panglima Lomaya dan para prajurit senior. Demikian pula dengan Junada dan Abdullah, setelah menaikan barang-barang bawaan di atas punggung kuda. Mereka langsung mengikuti langkah Saketi untuk berpamitan kepada semua yang ada di barak tersebut. Bagaimana pun juga Saketi harus memastikan kesiagaan di barak tersebut, karena dirinya akan segera meninggalkan tempat itu. “Aku tidak akan turut campur lagi terhadap semua urusan yang ada di barak ini. Karena, a
Di samping istana, tampak seorang gadis cantik berkulit putih tengah duduk sendirian sambil memperhatikan kesibukan para pelayan istana. Tiba-tiba saja, ada seorang pemuda di antara kesibukan para pelayan memanggil gadis cantik itu, "Yunada!" Mendengar teriakan tersebut, Yunada mengangkat wajahnya, lalu melambaikan tangan ke arah pemuda itu. "Ke sinilah, Kakang. Temani aku!" teriak Yunada. "Kau saja yang ke sini, aku sedang sibuk!" jawab pemuda itu. Dia adalah Anggareksa—Putra Patih Anggadita. Anggareksa turut pula mengatur persiapan jelang pesta hari lahir Rangkuti—putra angkat Prabu Erlangga, meskipun pemuda itu masih tetap berpakaian seperti seorang bangsawan pada umumnya. Dengan demikian, Yunada pun bangkit dan langsung melangkah menghampiri Anggareksa. "Kenapa kau hanya duduk-duduk saja? Bantu sini!" kata Anggareksa kepada Yunada yang sudah berdiri di hadapannya. "Aku sedang malas Kakang," sahut Yunada dengan entengnya. Anggareksa tersenyum lebar menatap wajah cantik gadis
Mendengar perkataan dari pria tersebut, Junada tampak semakin gusar. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung melakukan serangan terhadap orang-orang tersebut, terutama kepada pemimpin dari kelompok para pendekar itu yang sudah berkata kasar terhadapnya. Demikianlah, pertarungan itu pun tidak dapat terelakkan lagi. Saketi dan yang lainnya pun turut membantu Junada dalam melakukan perlawanan terhadap para pendekar yang menghadang perjalanan mereka. "Jangan mundur kalian! Lawan orang-orang itu!" seru salah seorang dari mereka langsung menghunus pedangnya. Saketi pun sudah melakukan pertarungan dengan salah seorang pendekar dari kelompok itu. Semula mereka tampak garang dan sangat ganas dalam melakukan penyerangan terhadap Saketi dan para pengikutnya. Namun, ketika salah seorang dari mereka berhasil dijatuhkan oleh sang pangeran, serangan tersebut mulai mengendor. Para pendekar itu mundur beberapa langkah ke belakang sambil membantu kawannya yang sudah terluka parah. "Hei! Kenapa kalian m
Demikianlah, maka Saketi dan para pengikutnya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju kediaman Ki Wilata yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tersebut. Ketika matahari hampir terbenam, Saketi dan para pengikutnya sudah tiba di sebuah gubuk yang berdiri di bibir hutan belantara. Gubuk tersebut milik Ki Wilata dan Arini sang pemilik pedang pusaka Sulaiman. Dua pasang pendekar paruh baya tampak semringah ketika melihat kedatangan sang pangeran dan para pengawalnya itu. Mereka langsung menyambut hangat penuh kebahagiaan. "Ambuing-ambuing ... tidak kusangka kita akan akan bertemu lagi," sambut seorang pria paruh baya. "Silahkan duduk!" sambungnya lirih, raut wajah pria paruh baya itu tampak semringah. "Terima kasih, Ki," sahut Saketi menjura hormat kepada sang pemilik rumah. Dengan demikian, mereka pun langsung duduk bersama di beranda rumah tersebut. Rumah yang dulu pernah disinggahi oleh Saketi, Sami Aji, dan Junada. Ki Wilata terus memandangi wajah Abdullah, karena Abd
Sokala tidak langsung menjawab pertanyaan dari Wira Jaya. Hal tersebut membuat kawannya itu semakin dibuat penasaran. "Sokala, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Wira Jaya mengerutkan kening. "Hahaha ... maafkan aku, Wira!" jawab Sokala. " Apa kau kenal dengan pendekar yang bernama Hong In?" sambung Sokala balas melontarkan pertanyaan kepada Wira Jaya. "Ya, aku mengenalnya," jawab Wira Jaya lirih. "Hong In seorang pendekar keturunan Tonggon, ayahnya seorang panglima prajurit perang yang menikahi seorang perempuan dari bangsa Buana?"sambungnya menuturkan. "Benar sekali, Hong In sudah menyatakan diri untuk bergabung dengan kelompok kita, dan ia sudah mempersiapkan para pendekar didikannya untuk membantu kita!" tegas Sokala menjawab pertanyaan dari kawannya itu. Seketika raut wajah Wira Jaya tampak semringah. Dengan demikian, ia pun langsung menyetujui gagasan dari kawannya itu. Bahkan, Wira Jaya menyatakan dukungan penuh kepada Sokala, meskipun awalnya Wira Jaya merasa r
Demikianlah, maka Patih Anggadita pun langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada para petinggi istana lainnya. Setibanya di istana kepatihan, ia langsung memanggil para punggawanya, dan segera memberi perintah kepada mereka agar segera menyiapkan pasukan untuk melakukan penyisiran ke dalam hutan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian para pemberontak itu. "Aku harap kalian dapat melaksanakan tugas ini dengan baik, ini adalah perintah langsung dari sang raja. Sang raja menginginkan agar kita harus menumpas para pendekar dari kelompok pemberontak itu!" tegas sang patih di sela perbincangannya dengan para punggawanya. Kemudian, Patih Anggadita langsung menunjuk Runada untuk memimpin pasukan yang hendak melakukan penyisiran ke dalam hutan belantara yang ada di pinggiran desa tidak jauh dari lokasi istana kepatihan. "Baik, Gusti Patih. Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan baik," sahut Runada menjura hormat kepada sang patih. Demikianlah, maka ia dan seribu pasukan khusu
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L