Persiapan jelang pertempuran pada malam itu, bukan hanya sekadar dari kubu para prajurit saja. Namun, dari kalangan penduduk pun tampaknya mulai merasa bahwa mereka harus bersiap diri dalam menghadapi pertempuran tersebut. "Walau bagaimanapun, para prajurit kerajaan Sanggabuana dan kelompok prajurit yang dianggap sebagai pemberontak yang akan melakukan pertempuran dengan pihak prajurit kerajaan Sirnabaya. Mereka harus kita bantu, karena mereka akan berjuang melawan pasukan yang selama ini selalu menindas kita," tutur seorang pria paruh baya. Dia adalah tokoh pemuka agama dan tokoh masyarakat di wilayah Hoda Buana yang menginginkan agar wilayah mereka berdiri mandiri dalam wilayah kedaulatan kerajaan baru yang kelak akan diberi nama kerajaan Hoda Buana yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan Hindu. "Kami sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh dalam membantu pasukan kerajaan Sanggabuana, Ki," ujar salah seorang pria yang merupakan tokoh pemuda di wilayah tersebut.
Prajurit itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan dari sang pangeran, "Gusti Patih Akilang mendapatkan perintah langsung dari sang raja melalui prajurit utusan beliau yang telah datang ke istana kepatihan Kundar Buana. Gusti Prabu Erlangga menyatakan agar Gusti Pangeran dan Gusti Raden Sami Aji jangan turut campur dalam persoalan perang di perbatasan," jawab prajurit itu merangkapkan kedua telapak tangannya sambil menundukkan kepala. "Apa alasannya, Prajurit? Kenapa ayahandaku melarang aku dan Sami Aji untuk ikut bertempur?" tanya Saketi meluruskan pandangannya ke wajah prajurit tersebut. "Gusti prabu lebih menginginkan agar Gusti Pangeran dan Raden Sami Aji lebih fokus ke niat awal. Berkelana keliling wilayah kerajaan, dan mencari pedang pusaka Sulaiman," jawab prajurit itu. Mendengar perkataan dari sang prajurit, Saketi hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian berkata lagi, "Baiklah, aku dan Sami Aji akan mematuhi pesan ayahandaku yang telah kau sampaikan ini. T
Pria paruh baya itu menganggukkan kepala dan menghela napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu seberapa tingginya langit dan seberapa tebalnya bumi. Namun, kita pasti mampu mengukur hebatnya kekuatan musuh!" sahut Junada menanggapi pertanyaan dari Panglima Serta Madya. "Kau memang benar, Panglima," timpal Panglima Amerya tersenyum lebar menatap wajah Junada. "Janganlah kau panggil aku panglima!" hardik Junada. Dia memang enggan dipanggil sebagai panglima oleh siapa pun, meskipun dirinya sudah didaulat langsung oleh sang pangeran untuk menjadi pemimpin dalam misi tersebut. Itu merupakan sikap rendah hati yang dimilikinya. "Baiklah, maafkan aku, Ki." Panglima Amerya menjura hormat kepada Junada. Junada merasa tidak nyaman jika harus dipanggil sebagai panglima. Karena, ia beranggapan bahwa julukan tersebut sangat membatasi dirinya untuk berinteraksi dengan para prajurit biasa. Mereka akan segan dengan jabatan tersebut. Sehingga, Junada tidak mau hal itu terjadi. "Kepandaian manusia di d
Ketika pagi mulai membayangi wilayah kademangan Hoda Buana Timur, pasukan kerajaan Sanggabuana dan pasukan pemberontak yang tengah bersiaga di daerah-daerah penting yang ada di wilayah tersebut. Tiba-tiba saja, mereka dikejutkan dengan kemunculan ratusan prajurit kerajaan Sirnabaya yang bergabung dengan pasukan kerajaan Turana. Mereka langsung menyerang dengan sangat brutal, kademangan Hoda Buana seketika menjadi genting. Penduduk di wilayah tersebut menyongsong pagi dengan menyaksikan pertempuran yang teramat sengit. Panglima Amerya dan Junada sudah berada di arena pertempuran. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lomaya tengah bertempur melawan pasukan kerajaan Turana di wilayah Hoda Buana Timur, dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Serta Madya sudah bertempur di wilayah Hoda Buana Utara bersama ratusan penduduk dan juga prajurit tambahan dari pasukan kerajaan Sanggabuana. "Tambahkan pasukan untuk segera bergerak ke Hoda Buana Utara!" perintah Panglima
Junada tampak geram sekali ketika melihat kekejian yang dilakukan oleh Panglima Suta Wira terhadap Panglima Amerya. Dengan serta-merta, Junada menghunus pedangnya dan langsung menyerang Panglima Suta Wira dengan ganasnya. Pertarungan antara Junada dan Panglima Suta Wira berlangsung dengan begitu sengitnya. Sementara itu, para prajurit langsung mengevakuasi Panglima Amerya yang sudah dalam kondisi parah. Luka di leher dan kepala sang panglima membuat dirinya kritis. Para prajurit itu berusaha untuk menyelamatkan nyawa panglima mereka. "Bertahanlah, Panglima! Kami akan menyelamatkanmu," kata prajurit itu. "Aku sudah tidak mungkin bisa tertolong lagi. Sebaiknya kalian tinggalkan aku, kembalilah bertarung!" ucap pria paruh baya itu dengan suara parau. "Tidak, Panglima. Kau jangan berkata seperti itu!" Dua orang prajurit langsung mengangkat tubuh sang panglima hendak dinaikkan ke atas kereta kuda untuk segera di bawa ke perkemahan. Namun, usaha mereka sia-sia. Panglima Amerya sudah t
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Panglima Suta Wira, Saketi tersenyum lebar. Lalu berkata, "Jangan tanya siapa diriku! Jika kau hendak mencelakai Paman Junada, maka kau akan aku binasakan!" bentak Saketi penuh ancaman. "Persetan dengan ancamanmu!" Panglima Suta Wira mengangkat pedangnya hendak menghujamkan ke arah Saketi. Dengan sigap, Saketi langsung menghindari serangan tersebut. Tanpa banyak basa-basi lagi, ia meraih sebongkah batu padas, dan langsung melemparkan batu tersebut ke arah Panglima Suta Wira, tepat mengenai wajahnya. Hanya dengan satu serangan saja, Saketi berhasil melumpuhkan lawannya yang bersikap jemawa dan keras kepala itu. "Bangkitlah! Katakan kepada rakyat Hoda Buana, bahwa kau ini seorang kesatria tangguh yang dapat menguasai wilayah ini!" bentak Saketi menatap tajam wajah pemimpin prajurit Sirnabaya. "Siapakah kau, Anak muda? Kehebatanmu sungguh luar biasa. Aku menyerah, Anak muda." Panglima Suta Wira berkata sambil meringis-ringis menahan rasa sak
Tindakannya itu, diikuti pula oleh puluhan prajurit lainnya. Mereka yang merasa memiliki darah Hoda Buana beramai-ramai menyerahkan diri, dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan mendukung berdirinya kerajaan Hoda Buana yang mandiri. Meskipun demikian, tidak sedikit dari para prajurit tersebut yang berlari meninggalkan tempat itu. Mereka yang masih setia dengan pihak istana tetap bersikeras untuk tidak tunduk kepada seruan Saketi, dan mereka lebih memilih untuk kabur dari wilayah Hoda Buana kembali ke istana kerajaan Sirnabaya. "Bawa segera jasad kawan-kawan kalian yang sudah tewas, dan rawat kawan-kawan kalian yang terluka!" seru Panglima Lomaya kepada para prajuritnya. "Baik, Panglima," sahut para prajurit itu, langsung melaksanakan tugas dari Panglima mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para prajurit pemberontak pro kemerdekaan, mereka secara bersama-sama turut membantu mengevakuasi jasad para para prajurit kerajaan Sanggabuana, dan juga jasad kawan-kawan mereka untuk
Saketi memandangi wajah Panglima Serta Madya. Ia sangat kagum dengan sikap bijaksana pria paruh baya itu, yang berani melakukan tindakan tegas keluar dari barisan prajurit kerajaan Sirnabaya, demi mewujudkan sebuah perjuangan untuk kemerdekaan wilayah Hoda Buana. “Kadang seseorang berjuang dengan maksud yang tidak baik, memanfaatkan situasi konflik demi kepentingan pribadi. Tapi itu tidak ada dalam diri Panglima, aku kagum sekali dengan sikap, Panglima," kata Saketi menanggapi perkataan dari Panglima Serta Madya. Panglima Serta Madya tersenyum, dan menjura kepada sang pangeran. Lantas berkata lagi, "Mereka yang seperti itu hanya mengambil keuntungan saja dari kemelut yang terjadi, tanpa menghiraukan banyaknya korban yang berjatuhan karena konflik tersebut. Semoga saja kita yang ada di tempat ini termasuk barisan orang-orang yang tidak seperti itu." "Semua karena ambisi!" tandas Saketi. "Seperti apa yang dilakukan oleh pihak kerajaan Turana. Mereka mendukung kejahatan pihak kerajaan