Meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana dan pasukan pemberontak berusaha untuk tidak menimbulkan ketegangan di wilayah tersebut, namun timbul pula beberapa pertanyaan di hati para penduduk tentang keselamatan mereka di sekitar wilayah itu. Namun, mereka pun mulai merasa tenang ketika melihat ratusan prajurit kerajaan Sanggabuana yang sudah berada di seluruh desa-desa yang ada di wilayah tersebut. "Sebagian dari kalian apakah sudah ada yang menyebar ke perbatasan desa-desa, untuk melindungi para penduduk agar pasukan kerajaan Sirnabaya tidak masuk dengan mudah ke pemukiman warga?" Panglima Amerya kepada para prajuritnya. "Sudah, Panglima. Enam ratus pasukan sudah menyebrangi sungai dan masuk ke wilayah perbatasan kerajaan Sirnabaya untuk melindungi penduduk di sana," jawab salah seorang prajurit. "Baiklah, jika memang seperti itu. Kita bersiap-siaplah untuk menghadapi perang dengan pasukan Sirnabaya!" “Mohon maaf, Panglima. Apakah perang ini akan segera dimulai?” tanya seorang
Persiapan jelang pertempuran pada malam itu, bukan hanya sekadar dari kubu para prajurit saja. Namun, dari kalangan penduduk pun tampaknya mulai merasa bahwa mereka harus bersiap diri dalam menghadapi pertempuran tersebut. "Walau bagaimanapun, para prajurit kerajaan Sanggabuana dan kelompok prajurit yang dianggap sebagai pemberontak yang akan melakukan pertempuran dengan pihak prajurit kerajaan Sirnabaya. Mereka harus kita bantu, karena mereka akan berjuang melawan pasukan yang selama ini selalu menindas kita," tutur seorang pria paruh baya. Dia adalah tokoh pemuka agama dan tokoh masyarakat di wilayah Hoda Buana yang menginginkan agar wilayah mereka berdiri mandiri dalam wilayah kedaulatan kerajaan baru yang kelak akan diberi nama kerajaan Hoda Buana yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan Hindu. "Kami sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh dalam membantu pasukan kerajaan Sanggabuana, Ki," ujar salah seorang pria yang merupakan tokoh pemuda di wilayah tersebut.
Prajurit itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan dari sang pangeran, "Gusti Patih Akilang mendapatkan perintah langsung dari sang raja melalui prajurit utusan beliau yang telah datang ke istana kepatihan Kundar Buana. Gusti Prabu Erlangga menyatakan agar Gusti Pangeran dan Gusti Raden Sami Aji jangan turut campur dalam persoalan perang di perbatasan," jawab prajurit itu merangkapkan kedua telapak tangannya sambil menundukkan kepala. "Apa alasannya, Prajurit? Kenapa ayahandaku melarang aku dan Sami Aji untuk ikut bertempur?" tanya Saketi meluruskan pandangannya ke wajah prajurit tersebut. "Gusti prabu lebih menginginkan agar Gusti Pangeran dan Raden Sami Aji lebih fokus ke niat awal. Berkelana keliling wilayah kerajaan, dan mencari pedang pusaka Sulaiman," jawab prajurit itu. Mendengar perkataan dari sang prajurit, Saketi hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian berkata lagi, "Baiklah, aku dan Sami Aji akan mematuhi pesan ayahandaku yang telah kau sampaikan ini. T
Pria paruh baya itu menganggukkan kepala dan menghela napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu seberapa tingginya langit dan seberapa tebalnya bumi. Namun, kita pasti mampu mengukur hebatnya kekuatan musuh!" sahut Junada menanggapi pertanyaan dari Panglima Serta Madya. "Kau memang benar, Panglima," timpal Panglima Amerya tersenyum lebar menatap wajah Junada. "Janganlah kau panggil aku panglima!" hardik Junada. Dia memang enggan dipanggil sebagai panglima oleh siapa pun, meskipun dirinya sudah didaulat langsung oleh sang pangeran untuk menjadi pemimpin dalam misi tersebut. Itu merupakan sikap rendah hati yang dimilikinya. "Baiklah, maafkan aku, Ki." Panglima Amerya menjura hormat kepada Junada. Junada merasa tidak nyaman jika harus dipanggil sebagai panglima. Karena, ia beranggapan bahwa julukan tersebut sangat membatasi dirinya untuk berinteraksi dengan para prajurit biasa. Mereka akan segan dengan jabatan tersebut. Sehingga, Junada tidak mau hal itu terjadi. "Kepandaian manusia di d
Ketika pagi mulai membayangi wilayah kademangan Hoda Buana Timur, pasukan kerajaan Sanggabuana dan pasukan pemberontak yang tengah bersiaga di daerah-daerah penting yang ada di wilayah tersebut. Tiba-tiba saja, mereka dikejutkan dengan kemunculan ratusan prajurit kerajaan Sirnabaya yang bergabung dengan pasukan kerajaan Turana. Mereka langsung menyerang dengan sangat brutal, kademangan Hoda Buana seketika menjadi genting. Penduduk di wilayah tersebut menyongsong pagi dengan menyaksikan pertempuran yang teramat sengit. Panglima Amerya dan Junada sudah berada di arena pertempuran. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lomaya tengah bertempur melawan pasukan kerajaan Turana di wilayah Hoda Buana Timur, dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Serta Madya sudah bertempur di wilayah Hoda Buana Utara bersama ratusan penduduk dan juga prajurit tambahan dari pasukan kerajaan Sanggabuana. "Tambahkan pasukan untuk segera bergerak ke Hoda Buana Utara!" perintah Panglima
Junada tampak geram sekali ketika melihat kekejian yang dilakukan oleh Panglima Suta Wira terhadap Panglima Amerya. Dengan serta-merta, Junada menghunus pedangnya dan langsung menyerang Panglima Suta Wira dengan ganasnya. Pertarungan antara Junada dan Panglima Suta Wira berlangsung dengan begitu sengitnya. Sementara itu, para prajurit langsung mengevakuasi Panglima Amerya yang sudah dalam kondisi parah. Luka di leher dan kepala sang panglima membuat dirinya kritis. Para prajurit itu berusaha untuk menyelamatkan nyawa panglima mereka. "Bertahanlah, Panglima! Kami akan menyelamatkanmu," kata prajurit itu. "Aku sudah tidak mungkin bisa tertolong lagi. Sebaiknya kalian tinggalkan aku, kembalilah bertarung!" ucap pria paruh baya itu dengan suara parau. "Tidak, Panglima. Kau jangan berkata seperti itu!" Dua orang prajurit langsung mengangkat tubuh sang panglima hendak dinaikkan ke atas kereta kuda untuk segera di bawa ke perkemahan. Namun, usaha mereka sia-sia. Panglima Amerya sudah t
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Panglima Suta Wira, Saketi tersenyum lebar. Lalu berkata, "Jangan tanya siapa diriku! Jika kau hendak mencelakai Paman Junada, maka kau akan aku binasakan!" bentak Saketi penuh ancaman. "Persetan dengan ancamanmu!" Panglima Suta Wira mengangkat pedangnya hendak menghujamkan ke arah Saketi. Dengan sigap, Saketi langsung menghindari serangan tersebut. Tanpa banyak basa-basi lagi, ia meraih sebongkah batu padas, dan langsung melemparkan batu tersebut ke arah Panglima Suta Wira, tepat mengenai wajahnya. Hanya dengan satu serangan saja, Saketi berhasil melumpuhkan lawannya yang bersikap jemawa dan keras kepala itu. "Bangkitlah! Katakan kepada rakyat Hoda Buana, bahwa kau ini seorang kesatria tangguh yang dapat menguasai wilayah ini!" bentak Saketi menatap tajam wajah pemimpin prajurit Sirnabaya. "Siapakah kau, Anak muda? Kehebatanmu sungguh luar biasa. Aku menyerah, Anak muda." Panglima Suta Wira berkata sambil meringis-ringis menahan rasa sak
Tindakannya itu, diikuti pula oleh puluhan prajurit lainnya. Mereka yang merasa memiliki darah Hoda Buana beramai-ramai menyerahkan diri, dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan mendukung berdirinya kerajaan Hoda Buana yang mandiri. Meskipun demikian, tidak sedikit dari para prajurit tersebut yang berlari meninggalkan tempat itu. Mereka yang masih setia dengan pihak istana tetap bersikeras untuk tidak tunduk kepada seruan Saketi, dan mereka lebih memilih untuk kabur dari wilayah Hoda Buana kembali ke istana kerajaan Sirnabaya. "Bawa segera jasad kawan-kawan kalian yang sudah tewas, dan rawat kawan-kawan kalian yang terluka!" seru Panglima Lomaya kepada para prajuritnya. "Baik, Panglima," sahut para prajurit itu, langsung melaksanakan tugas dari Panglima mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para prajurit pemberontak pro kemerdekaan, mereka secara bersama-sama turut membantu mengevakuasi jasad para para prajurit kerajaan Sanggabuana, dan juga jasad kawan-kawan mereka untuk
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L