Sekar Pandan segera duduk bersila untuk mengerahkan tenaga dalamnya guna mengobati dirinya. Sebagai anak angkat datuk ahli racun, gadis yatim piatu itu bisa mengetahui jika saat ini tengah keracunan. Saat tenaga dalamnya hendak melawan racun dalam tubuh, justru racun itu seperti mendapat jalan leluasa dan menyatu dengan tenaga dalamnya. Racun itu makin liar dalam tubuhnya, menyerang isi dadanya dengan dahsyat.
Darah merah pun menyembur dari mulut si gadis. Dia belum mengenal jenis racun yang telah masuk ke dalam tubuhnya ini. Perlahan tubuhnya ambruk di rerumputan. Dari sudut matanya, setetes air mata bergulir."Ayah angkat ... tolong aku," bisiknya tanpa suara.Dia yakin, Umang Sari dan Palasari lah dalang dibalik semua ini. Mereka tidak hanya telah mencuri Pedang Sulur Naga, tetapi juga telah memasukkan racun yang tidak berasa dan berbau di dalam makanan atau minumannya. Sejenis racun warangan, demikianlah dia menduga."Tega sekali kalian pada"Ibu memiliki keahlian racun. Tolong dia, Bu. Aku ... Aku tidak ingin gadis kecil ini mengalami nasib sepertinya." Lelaki itu tampak gelisah dan khawatir.Wanita itu mengerti perasaan anak semata wayangnya. Luka di hati anaknya ini belum sembuh akibat kematian kekasihnya lima tahun yang lalu. Gadis itu tewas akibat racun. Yang membuat hati Asta Renggo selalu diselimuti dendam adalah pelaku tewasnya sang kekasih belum ditemukan."Renggo. Kejadian itu sudah berlalu lima tahun. Tidakkah kau ingin menyembuhkan luka hatimu? Kau berhak bahagia. Wulan Kinasih telah pergi selamanya." Hampir tiap hari wanita tua itu menasihati anaknya dengan kata-kata serupa. Namun, hati anaknya itu terlalu setia kepada kekasihnya hingga menciptakan sebuah dendam di hatinya."Cah Bagus, kau keluarlah dulu. Aku ingin mengobatinya dengan cara membuka sebagian pakaiannya." Nenek Bunga Seruni berkata lagi. Lelaki itu beranjak keluar.Di luar pondok, tampak Sekar Wangi tengah t
Pria yang selalu setia dengan perguruan Tangan Seribu itu pun memandangnya. Siapa pun tahu, akhir-akhir ini Mahisa Dahana dan Umang Sari terlihat dekat. Ki Sempana pun seperti setuju jika anak gadisnya menjadi pendamping putra bungsu ketua perguruan Tangan Seribu yang lama."Aku dan Sekar Pandan hanya berteman," ujar Mahisa Dahana ingin menjaga perasaan Ki Sempana. Lelaki itu berjalan menuju bagian dapur umum. Sejak kemarin perutnya belum terisi apa pun. Saatnya minta jatah makanan yang mengenyangkan."Aku tahu suara hatimu seperti apa, Adikku." Paksi Jingga berbisik di depan adiknya. Mahisa Dahana menentang pandangan mata saudaranya itu. Kicauan burung-burung di sekitar gua menjadi penengah gejolak perasaan mereka. "Apa menurut kakang Paksi Jingga, aku tidak tahu isi hatimu ini?" Telunjuk Mahisa Dahana menekan dada berbulu Paksi Jingga. Raut wajah yang terdapat tanda luka itu pias. Tangannya menyingkirkan telunjuk adiknya dari dadanya. "Kau tah
"Kau tidak mengalami kendala?" tanyanya pada lelaki yang baru datang. Tangan orang itu melepaskan tali pedang pada punggungnya. Bibir tipis sedikit kemerahan itu tertarik cepat ke samping. Sinar matanya jelas menunjukkan kepuasan atas kerja orang kepercayaannya itu."Elang Gunung, kerjamu bagus sekali. Berikan Pedang Sulur Naga itu padaku." Dengan suara menahan rasa senang, pemuda itu mengulurkan tangannya. Elang Gunung memberikan pedang itu pada Paksi Jingga.Dengan masih tidak percaya, Paksi Jingga menimang-nimang pedang itu. Saat itu juga terlintas bayangan di benaknya, bagaimana dia menghabisi musuh-musuhnya. Terutama musuh besar keluarganya."Tuan, seperti perintahmu aku telah mengambil pedang ini dari Sekar Pandan, tapi maaf, Tuan. Aku juga telah ...." Elang Gunung menghentikan kalimatnya. Kedua matanya bergerak gelisah. Melihat gelagat aneh dari anak buahnya, Paksi Jingga menegurnya."Kau tidak mencelakai gadis itu, kan?" Kedua mata lelaki
"Kau ini, pernikahan saja belum dilangsungkan, kau sudah menyuruh buat anak," celetuk Manggala pada murid perguruan Tangan Seribu yang duduk bersila di sampingnya. Pria berewok itu mengerling nakal kepadanya."Kan kau bisa main belakang," bisiknya.Manggala menggertakkan giginya menahan geram. Berani sekali dia berpikiran buruk pada putri ketua perguruan Tangan Seribu. Setelah dipikir-pikir, bagus juga usul kawannya itu. Mayang merupakan bunga indah di perguruan Tangan Seribu. Semua lelaki di tempat ini mengaguminya. Toh, gadis itu akan tetap menjadi istrinya jika dia mengikuti saran kawannya itu."Kau dengar harapan semua anggota kita itu, Senayudha? Kelak kau dan keturunanmu yang akan menggantikan ketua perguruan Tangan Seribu. Jadi kau harus memiliki keturunan," ucap Dewa Jari Maut pada anaknya yang duduk di sampingnya. Wajah pemuda berpedang perak itu pias. Dia memang menyukai perempuan cantik, tetapi dia tidak sudi menikahi mereka. Baginya bunga-bung
"Nini, mereka belum keluar semua. Lebih baik kita tunggu di sini," usul Sari mengajak Mayang bersembunyi di balik pagar batu bata merah.Kepala gadis cantik itu menyembul dari persembunyian. Dari dalam bangunan yang dipakai untuk pertemuan, masih terdengar gelak tawa orang-orang kepercayaan ayahnya. Mereka tampak gembira. Entah apa yang mereka bicarakan."Sepertinya mereka akan lama di dalam sana. Kita kembali ke rumah." Mayang memutar tubuhnya dan berjalan pulang. Sari menyusulnya."Katanya Nini Mayang ingin bertemu ketua?Kita bisa menunggu mereka, Nini." Gadis pelayan itu mengusulkan. Jika mereka berdua masuk ke dalam bangunan pertemuan, dia bisa bertemu dengan lelaki pujaannya. Dia yakin orang yang telah membuatnya tidak bisa tidur itu juga di sana.Sayang sekali, putri ketuanya justru membatalkan pergi menemui Dewa Jari Maut. Keinginannya untuk bertemu lelaki pujaan pun gagal. Gadis berwajah bundar itu menggigit jarinya dengan kecewa.
"Nenek bukan orang jahat, Cah ayu. Anak nenek menemukan dirimu tengah tergelatak di jalanan. Entah siapa yang telah jahat padamu." Nenek Bunga Seruni menjelaskan kecurigaan Sekar Pandan terhadap dirinya.Sekar Pandan mencerna kata-kata wanita tua di depannya dengan hati ragu. Hampir semua orang yang dia temui mempunyai hati busuk. Mereka semua menginginkan Pedang Sulur Naga. Pedang warisan ayahnya itu telah menarik hati orang-orang jahat untuk mencelakainya.Awalnya dia mencurigai Umang Sari sebagai pencuri pedangnya kemudian beralih ke Palasari. Hanya mereka berdua lah yang sangat menginginkan Pedang Sulur Naga. Tidak mungkin pemilik rumah yang mencurinya. Sepasang suami istri itu belum pernah bertemu dan melihat Pedang Sulur Naga miliknya. Apalagi mereka hanya warga desa biasa, bukan sepasang pendekar yang membutuhkan benda pusaka.Sekar Pandan kembali meringis kesakitan. Sekujur tubuhnya bagai dibelah-belah saking sakitnya. Dia ingin berteriak menyeruka
Sekar Pandan memperhatikan kain hitam yang digunakan Asta Renggo untuk menolongnya. Dia tidak mengerti, tiba-tiba kain itu jadi memanjang dan membelit pinggang dengan kuat bagai seekor ular. Tidak beda dengan ular besar yang membelit tubuh Mahisa Dahana waktu itu. Tangannya terulur ingin memeriksa kain itu."Kau menginginkan apa?" tanya Asta Renggo tidak mengerti. Untuk berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu dia harus bisa membaca raut wajah dan suasana hati gadis remaja itu.Sekar Pandan menunjuk kain hitam yang sudah melingkar di pundak lelaki bercambang halus itu. Asta Renggo mengerti. Diberikannya kain kasar itu pada Sekar Pandan. Gadis dari perguruan Pulau Pandan itu menimang-nimang kain itu dengan kening berkerut. Kain itu hanyalah kain tenun yang kasar. Tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Saat ditarik, kain itu juga tidak memanjang.Dia mundur beberapa langkah. Asta Renggo dan harimau putih yang berbaring di kakinya diam memperhatikan ulah gadis b
"Sama bagaimana, yu?" tanya Wulan tidak mengerti. Wanita desa itu memang lugu."Coba dengar. Di dunia ini mana ada pemuda segagah dan setampan itu? Paling-paling dia dari kahyangan. Atau ... kita sedang bermimpi," jawab wanita itu dengan suara lirih kemudian mencubit lengannya. Kulitnya terasa sakit saat dicubit. Itu artinya dia tidak sedang bermimpi. Wulan hanya diam menatap Raden Prana Kusuma tanpa berkedip. Bibirnya tersenyum penuh kekaguman."Wulan, Wulan. Hei, kok malah bengong." Wanita berkemban kain merah bata itu kesal karena Wulan tidak mendengarkan dirinya. Justru berdiri bengong sambil tersenyum-senyum seperti orang terkena guna-guna."Dia memang tampan sekali, Yu Mirah. Kau benar. Dia pasti peri dari kahyangan yang akan mandi di sungai itu," ujar Wulan menuding arah sungai. Dia masih tidak mau melepaskan pandangannya pada pemuda yang kini telah membuka matanya dari semadi."Kalian akan pergi ke sungai?" tanya Raden Prana Kusuma mengham
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b