Pria yang selalu setia dengan perguruan Tangan Seribu itu pun memandangnya. Siapa pun tahu, akhir-akhir ini Mahisa Dahana dan Umang Sari terlihat dekat. Ki Sempana pun seperti setuju jika anak gadisnya menjadi pendamping putra bungsu ketua perguruan Tangan Seribu yang lama.
"Aku dan Sekar Pandan hanya berteman," ujar Mahisa Dahana ingin menjaga perasaan Ki Sempana. Lelaki itu berjalan menuju bagian dapur umum. Sejak kemarin perutnya belum terisi apa pun. Saatnya minta jatah makanan yang mengenyangkan."Aku tahu suara hatimu seperti apa, Adikku." Paksi Jingga berbisik di depan adiknya. Mahisa Dahana menentang pandangan mata saudaranya itu. Kicauan burung-burung di sekitar gua menjadi penengah gejolak perasaan mereka."Apa menurut kakang Paksi Jingga, aku tidak tahu isi hatimu ini?" Telunjuk Mahisa Dahana menekan dada berbulu Paksi Jingga. Raut wajah yang terdapat tanda luka itu pias. Tangannya menyingkirkan telunjuk adiknya dari dadanya."Kau tah"Kau tidak mengalami kendala?" tanyanya pada lelaki yang baru datang. Tangan orang itu melepaskan tali pedang pada punggungnya. Bibir tipis sedikit kemerahan itu tertarik cepat ke samping. Sinar matanya jelas menunjukkan kepuasan atas kerja orang kepercayaannya itu."Elang Gunung, kerjamu bagus sekali. Berikan Pedang Sulur Naga itu padaku." Dengan suara menahan rasa senang, pemuda itu mengulurkan tangannya. Elang Gunung memberikan pedang itu pada Paksi Jingga.Dengan masih tidak percaya, Paksi Jingga menimang-nimang pedang itu. Saat itu juga terlintas bayangan di benaknya, bagaimana dia menghabisi musuh-musuhnya. Terutama musuh besar keluarganya."Tuan, seperti perintahmu aku telah mengambil pedang ini dari Sekar Pandan, tapi maaf, Tuan. Aku juga telah ...." Elang Gunung menghentikan kalimatnya. Kedua matanya bergerak gelisah. Melihat gelagat aneh dari anak buahnya, Paksi Jingga menegurnya."Kau tidak mencelakai gadis itu, kan?" Kedua mata lelaki
"Kau ini, pernikahan saja belum dilangsungkan, kau sudah menyuruh buat anak," celetuk Manggala pada murid perguruan Tangan Seribu yang duduk bersila di sampingnya. Pria berewok itu mengerling nakal kepadanya."Kan kau bisa main belakang," bisiknya.Manggala menggertakkan giginya menahan geram. Berani sekali dia berpikiran buruk pada putri ketua perguruan Tangan Seribu. Setelah dipikir-pikir, bagus juga usul kawannya itu. Mayang merupakan bunga indah di perguruan Tangan Seribu. Semua lelaki di tempat ini mengaguminya. Toh, gadis itu akan tetap menjadi istrinya jika dia mengikuti saran kawannya itu."Kau dengar harapan semua anggota kita itu, Senayudha? Kelak kau dan keturunanmu yang akan menggantikan ketua perguruan Tangan Seribu. Jadi kau harus memiliki keturunan," ucap Dewa Jari Maut pada anaknya yang duduk di sampingnya. Wajah pemuda berpedang perak itu pias. Dia memang menyukai perempuan cantik, tetapi dia tidak sudi menikahi mereka. Baginya bunga-bung
"Nini, mereka belum keluar semua. Lebih baik kita tunggu di sini," usul Sari mengajak Mayang bersembunyi di balik pagar batu bata merah.Kepala gadis cantik itu menyembul dari persembunyian. Dari dalam bangunan yang dipakai untuk pertemuan, masih terdengar gelak tawa orang-orang kepercayaan ayahnya. Mereka tampak gembira. Entah apa yang mereka bicarakan."Sepertinya mereka akan lama di dalam sana. Kita kembali ke rumah." Mayang memutar tubuhnya dan berjalan pulang. Sari menyusulnya."Katanya Nini Mayang ingin bertemu ketua?Kita bisa menunggu mereka, Nini." Gadis pelayan itu mengusulkan. Jika mereka berdua masuk ke dalam bangunan pertemuan, dia bisa bertemu dengan lelaki pujaannya. Dia yakin orang yang telah membuatnya tidak bisa tidur itu juga di sana.Sayang sekali, putri ketuanya justru membatalkan pergi menemui Dewa Jari Maut. Keinginannya untuk bertemu lelaki pujaan pun gagal. Gadis berwajah bundar itu menggigit jarinya dengan kecewa.
"Nenek bukan orang jahat, Cah ayu. Anak nenek menemukan dirimu tengah tergelatak di jalanan. Entah siapa yang telah jahat padamu." Nenek Bunga Seruni menjelaskan kecurigaan Sekar Pandan terhadap dirinya.Sekar Pandan mencerna kata-kata wanita tua di depannya dengan hati ragu. Hampir semua orang yang dia temui mempunyai hati busuk. Mereka semua menginginkan Pedang Sulur Naga. Pedang warisan ayahnya itu telah menarik hati orang-orang jahat untuk mencelakainya.Awalnya dia mencurigai Umang Sari sebagai pencuri pedangnya kemudian beralih ke Palasari. Hanya mereka berdua lah yang sangat menginginkan Pedang Sulur Naga. Tidak mungkin pemilik rumah yang mencurinya. Sepasang suami istri itu belum pernah bertemu dan melihat Pedang Sulur Naga miliknya. Apalagi mereka hanya warga desa biasa, bukan sepasang pendekar yang membutuhkan benda pusaka.Sekar Pandan kembali meringis kesakitan. Sekujur tubuhnya bagai dibelah-belah saking sakitnya. Dia ingin berteriak menyeruka
Sekar Pandan memperhatikan kain hitam yang digunakan Asta Renggo untuk menolongnya. Dia tidak mengerti, tiba-tiba kain itu jadi memanjang dan membelit pinggang dengan kuat bagai seekor ular. Tidak beda dengan ular besar yang membelit tubuh Mahisa Dahana waktu itu. Tangannya terulur ingin memeriksa kain itu."Kau menginginkan apa?" tanya Asta Renggo tidak mengerti. Untuk berbicara dengan Sekar Pandan yang bisu dia harus bisa membaca raut wajah dan suasana hati gadis remaja itu.Sekar Pandan menunjuk kain hitam yang sudah melingkar di pundak lelaki bercambang halus itu. Asta Renggo mengerti. Diberikannya kain kasar itu pada Sekar Pandan. Gadis dari perguruan Pulau Pandan itu menimang-nimang kain itu dengan kening berkerut. Kain itu hanyalah kain tenun yang kasar. Tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Saat ditarik, kain itu juga tidak memanjang.Dia mundur beberapa langkah. Asta Renggo dan harimau putih yang berbaring di kakinya diam memperhatikan ulah gadis b
"Sama bagaimana, yu?" tanya Wulan tidak mengerti. Wanita desa itu memang lugu."Coba dengar. Di dunia ini mana ada pemuda segagah dan setampan itu? Paling-paling dia dari kahyangan. Atau ... kita sedang bermimpi," jawab wanita itu dengan suara lirih kemudian mencubit lengannya. Kulitnya terasa sakit saat dicubit. Itu artinya dia tidak sedang bermimpi. Wulan hanya diam menatap Raden Prana Kusuma tanpa berkedip. Bibirnya tersenyum penuh kekaguman."Wulan, Wulan. Hei, kok malah bengong." Wanita berkemban kain merah bata itu kesal karena Wulan tidak mendengarkan dirinya. Justru berdiri bengong sambil tersenyum-senyum seperti orang terkena guna-guna."Dia memang tampan sekali, Yu Mirah. Kau benar. Dia pasti peri dari kahyangan yang akan mandi di sungai itu," ujar Wulan menuding arah sungai. Dia masih tidak mau melepaskan pandangannya pada pemuda yang kini telah membuka matanya dari semadi."Kalian akan pergi ke sungai?" tanya Raden Prana Kusuma mengham
Dari sini ada dua pintu gapura yang dijaga arca dwarapala. Gapura kanan akan mengarah kepada bangunan untuk para siswa dan guru, dapur, tempat mandi dan sebagainya. Gapura kiri menuju tempat untuk latihan kerohanian atau semadi sekaligus tempat guru Agung Anuradha berada. Gapura itu mengarah ke seratus anak tangga yang berkelok-kelok dan berada di samping jurang.Pemuda gagah itu menyatukan kedua tangannya di depan hidung sebagai tanda meminta restu dan doa keselamatan agar tidak tergelincir hingga selamat sampai tujuan. Tidak hanya berada di tepi jurang, seratus anak tangga itu juga tertutup kabut tebal. Itu adalah aturan yang harus ditaati semua siswa sebelum menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Dia menaiki satu persatu anak tangga itu tanpa mengeluh hingga akhirnya sampai di puncak. Di puncak, terdapat satu gapura lagi yang menjulang tinggi bagai pintu gerbang menuju kahyangan. Tempat persemayaman para dewa dewi.Di sini keadaan lebih terang tanpa kabut. B
Kendi itu jatuh dan pecah. Airnya membanjiri lantai tanah di kamar. Guntur bergemuruh di luar rumah membuat si putih--harimau putih-- yang tertidur di kandang menjadi gelisah. Asta Renggo keluar kamar karena mendengar suara barang pecah dari kamar Sekar Pandan yang ada di dekat ruang dapur."Sekar, kau tidak apa-apa?" Lelaki bercambang halus itu mengetuk pintu kamar Sekar Pandan. Dari dalam terdengar suara gaduh kembali. Berkali-kali dia mengetuk dan memanggil gadis yang ada di dalam kamar."Ada apa, Renggo? Kenapa kau mengetuk pintu kamar Sekar Pandan dengan keras?" Nenek Bunga Seruni terbangun karena suara ketukan keras yang anaknya lakukan. Dia menghampiri Asta Renggo dengan wajah masih mengantuk."Aku mendengar ada keributan di dalam kamar Sekar Pandan, Ibu. Aku takut dia dalam masalah. Tolong ibu minggir, aku akan membukanya paksa." Asta Renggo mendobrak pintu dari anyaman bambu itu dengan punggungnya. Dengan kekuatannya, pintu itu terbuka. Asta Rengg