"Anggapati, aku memberimu tugas untuk mencari dan menangkap mereka hidup atau mati. Jika perlu cari mereka di seluruh Jawa Dwipa dan daerah lain di Nusantara ini. Aku tidak ingin mereka ada yang hidup," perintah Layangsewu atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Jari Maut. Pria bernama Anggapati itu membungkuk kemudian undur diri melaksanakan perintah ketuanya.
Layangsewu duduk di kursi dampar yang ada di Pendopo. Matanya menyapu tubuh-tubuh tak berdosa yang mulai dirapikan anak buahnya, Lalu pandangannya beralih ke atap pendopo. Dia ingat, Pendopo ini dulu dibuat ayahnya dengan susah payah.Masih ingat pesan hari itu, "Kau lihatlah, pendopo ini, Anakku. Kokoh dan kuat. Harapannya, kelak perguruan Tangan Seribu ini akan seperti itu. Menjadi perguruan yang kokoh dalam hal memerangi kejahatan juga kuat di dunia persilatan karena persaudaraan antar murid sangat erat. Semua itu kelak dirimu yang harus mewujudkannya." Ketua pendiri perguruan Tangan Seribu berkaSejak penyerangan hari itu, perguruan diambil alih oleh Layangsewu dan anak buahnya. Para murid yang tewas dikubur jadi satu di luar area perguruan. Sedangkan yang terluka di penjara di ruang khusus. Meski demikian, banyak juga yang berhasil melarikan diri dari penyergapan anak buah Layangsewu.Laki-laki tanpa jari kanan memang licik. Sebelum dia mengunjungi saudara tirinya di sanggar pamujan, dia telah menyiapkan sebutir kecil racun yang ia simpan di balik ikat pinggangnya. Sebuah racun keras yang cepat larut dalam minuman. Racun itu tidak merubah rasa dan warna minuman, sehingga sangat aman saat dicampurkan pada jamu yang biasanya Ki Anjarsewu minum selepas bersemadhi.Hatinya berbisik senang saat yang ditunggu-tunggu tiba. Murid yang bertugas mengantar jamu untuk ketua perguruan Tangan Seribu akhirnya datang. Dengan alasan kasih sayang seorang adik kepada kakangnya, mulailah Layangsewu mengambil alih tugas si murid. Tanpa sepengetahuan siapa pun bahkan
Kembali semua orang diam. Nyai Limbuk menambahkan kayu kering ke dalam api unggun. Api yang semula mulai mengecil, kini membesar kembali. Menyinari wajah dan tubuh depan mereka yang berkilat-kilat karena keringat yang menempel kering di tubuh mereka."Begitu juga dengan angger Mahisa Dahana. Mereka harus bersembunyi, agar keberadaannya tak tercium anak buah Dewa Jari Maut.""Kurasa cara itu lah yang harus kita jalankan, Nyai." Ki Gondo menambahkan.Nyai Anjarsewu merangkul putra sulungnya dengan sedih. Kemudian mencium kening Paksi Jingga dan Mahisa Dahana. "Jika menuruti hati, ibu tidak ingin semua ini terjadi. Kita berempat bekumpul bersama dan bahagia, untuk saat ini harus kita simpan rapat dalam hati. Ibu hanya berpesan padamu, Paksi Jingga. Jadilah manusia yang tangguh dalam mewujudkan cita-cita Padepokan. "Paksi Jingga mengangguk sedih. Dia sekuat hati menahan rasa sedih dan gundah gulana. Sebagai anak sulung, tugas bera
"Hahaha!" Tawa menggema itu terdengar memutari tempat. Mereka menambah kesiagaan penuh, siap menghadapi serangan musuh yang tak tampak. ."Siapa kau?!" Ki Gondo bertanya dengan keras."Mau apa kalian ke hutan ini? Cepat kembali!" Suara itu terdengar lagi."Apa hakmu menyuruh kami kembali? Kami tidak akan pergi sebelum bertemu pendekar penguasa bukit tengkorak ini," ujar salah satu murid Perguruan Tangan Seribu berani.Serangkum angin kencang datang melabrak tubuh murid itu. Untuk sesaat dia terpana. Angin serangan demikian cepat dan tidak tahu siapa yang mengirim. Saking terpananya, hingga lupa untuk menghindar. Tubuh murid yang tergolong tingkat tinggi itu terpental melabrak pohon di belakangnya.Setelah bergelojotan, tubuhnya diam, mati.Nyai Anjarsewu dan Nyai Limbuk menjerit ketakutan."Kakang Gondo, lebih baik kita kembali," bisik Nyai Limbuk semakin ketakutan.
Ramuan yang ia tumbuk telah selesai. Dengan telapak penuh tumbukan warna hijau, Sekar Pandan menghampiri tubuh Mahisa Dahana. Pemuda itu tengkurap di lempengan batu."Biar aku bantu." Umang Sari berjalan cepat menghampiri Sekar Pandan. Tangan gadis penari ini mengambil ramuan hijau dari telapak tangan Sekar Pandan.Sekar Pandan menggelengkan kepala saat Umang Sari memborehkan ramuan itu di punggung Mahisa Dahana, tanpa meminta petunjuk terlebih dulu padanya. Dara jelita ini menyenggolkan bahunya pada bahu gadis itu.Umang Sari mendongak. Melihat raut wajah Sekar Pandan yang tidak suka dengan perbuatannya tadi. Dia tahu diri. Namun, perasaan tertariknya pada ketampanan Mahisa Dahana membuat tahta angkuh terukir di hatinya demikian tinggi. Sekar Pandan memang memiliki wajah cantik. Sikap Mahisa Dahana yang selalu melindungi gadis itu menciptakan cemburu samar di lubuk hati Umang Sari.Sekar Pandan menggerakkan tang
"Entahlah, Mbakyu." Ki Gondo memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut."Ohh … apakah aku sudah di alam baka?" Terdengar sebuah keluhan dari tubuh gemuk Nyai Limbuk yang pingsan. Wanita berbadan subur itu bangun. Matanya mengerjap memandang sekitar. Saat dia masih mengenali tempat itu, dia melompat dan berlari ke belakang tubuh Ki Gondo." Ki, kenapa kita masih di sini?" tanyanya ketakutan."Tenanglah, Nyai. Sebentar lagi kita akan meninggalkan hutan ini. Ayo, kita pergi dari sini." Ki Gondo memerintahkan semua orang untuk meninggalkan tempat ini. Nyai Limbuk menggantikan Nyai Anjarsewu menggendong Mahisa Dahana."Tinggalkan anak itu di sini!" Sebuah suara menghentikan ayunan langkah kaki mereka. Itu suara si laki-laki kecil bertopeng tengkorak. Ki Gondo dan Nyai Anjarsewu saling pandang. Ada aura lega pada wajah mereka."Bagaimana, Adhi Gondo?" bisik Nyai Anjarsewu."Bukankah ini yang kita inginkan, Nyai," jawab lelaki itu.Nyai Anjarsewu terdiam
"Kau lupa pada tugasmu, Sekar Pandan?"Gadis itu gelagapan. Rupanya sejak tadi pikiran bawah sadar yang telah menguasainya, membuat dia tidak menyadari kehadiran pemuda bertudung bambu telah duduk di sampingnya.Sekar Pandan menatap wajah tergurat luka. "Kau sangat kami butuhkan. Lihatlah, Paman Gondo saat ini terluka, kau periksalah." Sekar Pandan baru ingat bahwa Ki Gondo ke sini dalam keadaan terluka.Perlahan pantatnya terangkat lalu meninggalkan Paksi Jingga yang segera mengekor di belakangnya. Sekar Pandan mulai memeriksa denyut nadi Ki Gondo. Keningnya berkerut. Lelaki itu terluka dalam cukup parah. Bisa dibayangkan, lawannya bukan orang sembarangan."Kau masih menyimpan ramuan obat untuknya?" Paksi Jingga bertanya pada Sekar Pandan. Suara pemuda itu demikian dekat, hingga Sekar Pandan dapat merasakan dengus napasnya. Dengan hati-hati, gadis berkain hijau itu melangkah satu langkah ke samping kanan. Agar ada jarak d
Manggala berjalan gagah paling depan menyusuri hutan. Hidungnya bergerak-gerak. Mirip seekor anjing pelacak, mencari tahu letak bau yang sudah dihafal sejak lama. Bau sapu tangan merah yang selalu tersimpan di tubuh para anggota Sapu Tangan Merah. Langkah mereka semakin jauh masuk hutan. Di belakang Manggala, para anggota perguruan Tangan Seribu tidak kalah menajamkan penglihatan dan penciuman. Pedang di tangan tergenggam erat. Mencari keberadaan mereka ibarat bermain petak umpet, seperti saat mereka masih kecil. Rombongan itu terus merambah hutan mengikuti Manggala yang berpatokan pada daya penciuman.seekor landak berlari melintasi mereka dengan ketakutan. Salah satu dari mereka melemparkan pedangnya pada binatang kecil itu. Namun, sayang. Manggala telah terlebih dulu mencengkeram pundaknya."Jangan membuat gaduh! Mereka bisa mengetahui kita."Lelaki itu menunduk dengan perasaan bersalah. Sebenarnya dia ingin menyingkirkan hewan itu karena telah me
Dengan pedang pinjaman, gadis itu menangkis pedang musuh yang datang silih berganti mengurungnya. Sebuah tendangan tidak lupa dihantamkan pada belakang lutut. Orang itu jatuh terjerembab. Dengan gesit tangannya memegangi tangan musuhnya untuk digunakan sebagai tameng. Sekar Pandan terus berloncatan ke sana ke mari sambil sesekali menghantamkan pukulan dan tendangan pada mereka. Orang yang dipinjam tangannya oleh Sekar Pandan berkali-kali melenguh kesakitan dan harus menyelamatkan nyawanya dari salah sasaran teman-temannya.Puas meminjam tangan orang, Sekar Pandan memutar pergelangan tangan orang itu hingga pedangnya kini pindah ke tangannya secara penuh. Sebagai tanda terima kasih, gadis berambut panjang bergelombang itu membabatkan pedang ke pemiliknya. Lelaki itu tersungkur masuk semak belukar.Tubuhnya jungkir balik ke belakang saat para penyerangnya menyerang secara bersama dari depan. Begitu kedua kaki jenjangnya menapak tanah, tangan kanannya menghentak ke
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b