Dengan pedang pinjaman, gadis itu menangkis pedang musuh yang datang silih berganti mengurungnya. Sebuah tendangan tidak lupa dihantamkan pada belakang lutut. Orang itu jatuh terjerembab. Dengan gesit tangannya memegangi tangan musuhnya untuk digunakan sebagai tameng. Sekar Pandan terus berloncatan ke sana ke mari sambil sesekali menghantamkan pukulan dan tendangan pada mereka. Orang yang dipinjam tangannya oleh Sekar Pandan berkali-kali melenguh kesakitan dan harus menyelamatkan nyawanya dari salah sasaran teman-temannya.
Puas meminjam tangan orang, Sekar Pandan memutar pergelangan tangan orang itu hingga pedangnya kini pindah ke tangannya secara penuh. Sebagai tanda terima kasih, gadis berambut panjang bergelombang itu membabatkan pedang ke pemiliknya. Lelaki itu tersungkur masuk semak belukar.Tubuhnya jungkir balik ke belakang saat para penyerangnya menyerang secara bersama dari depan. Begitu kedua kaki jenjangnya menapak tanah, tangan kanannya menghentak keSekar Pandan berusaha menentang tuduhan Paksi Jingga padanya. Namun, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Rasanya tidak ada gunanya dia menjelaskan semuanya pada Paksi Jingga, untuk menuliskan sesuatu di tanah, sudah lupa. Tatapan mata penuh kebencian dan kata-kata pedas pemuda berwajah penuh sayat itu telah melukai perasaannya."Siapa yang menyuruhmu memata-matai kami, ha?!" Sekar Pandan menggeleng lemah."Si Dewa Jari Maut sendiri, atau anak lelakinya itu? Bisa jadi kau adalah kekasih Senayudha yang ditaruh di perkumpulan ini untuk memata-matai kami." Paksi Jingga semakin berani berkata kasar pada Sekar Pandan. Gadis itu merasakan kedua matanya memanas dan berkaca-kaca. Tangannya meraih dedaunan yang terselip di pinggangnya lalu diberikan pada Paksi Jingga. Pemuda bertudung bambu itu merampas dedaunan dari tangan Sekar Pandan dengan kasar."Jadi dengan alasan mencari ramuan obat untuk adikku, kau diam-diam membuat kegaduha
Rasa kagum dan hormat pada Paksi Jingga seketika hilang.Mungkin, Mahisa Dahana lah yang lebih pantas menjadi ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang. Dia lebih tidak grusa-grusu dalam melangkah. Namun, sayang, dia seperti tidak memiliki gairah untuk masa depannya.Pemuda aneh dengan tatapan mata tidak bersemangat, tapi berubah berseri-seri saat menatap wajah cantik Umang Sari, gadis penari putri Ki Sempana. Gadis itu cantik dan sempurna, pantas kalau Mahisa Dahana lebih memperhatikannya. Ada rasa sesak di dada gadis berambut panjang bergelombang itu. Dia dan Mahisa Dahana lebih dulu berteman, tapi justru dengan Umang Sari lebih akrab.Hembusan angin yang sejuk dan alas rumput tebal yang nyaman, membuat tubuh gadis itu terbuai kantuk lalu terlelap dengan kedua mata basah. Tidurnya demikian nyenyak sampai dia tidak tahu, dari dalam jurang merayap dua makhluk aneh menjulurkan kepalanya.Dua makhluk aneh itu berambut gimb
"Dia yang telah melemparkan batu-batu dari atas tebing, Hang Dineshcarayaksa." Elakshi menjawab Suaranya berat dan serak. Mata besar dan lebar Hang Dineshcarayaksa mengamati Sekar Pandan yang meringis kesakitan. Tubuh gadis itu sakit semua."Dia persembahan yang bagus. mungkin persembahan warsa kali ini harus gadis cantik seperti dia," gumam Hang Dineshcarayaksa menaksir Sekar Pandan mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi hitam yang besar-besar. Mendengar percakapan mereka, bulu kuduk Sekar Pandan meremang. Gadis belasan warsa itu melihat sekeliling. Tidak ada jalan untuk melarikan diri."Bimala, kurung dia!" Makhluk tinggi besar berpakaian kulit kayu itu memerintah Bimala. Tangannya mengambil pedang Sulur Naga dari punggung Sekar Pandan. Tangan gadis itu menggapai pedang yang telah dirampas Hang Dineshcarayaksa. Dia bangkit hendak mengejar pedangnya, tapi sebuah kaki menginjaknya. mulut Sekar Pandan terbuka
Perlahan salah satu tangan itu menarik gagang pedang hingga setengah.Tangan itu meloloskan Pedang Sulur Naga dari sarungnya. Wajah putih dengan mata besar dan bibir tebal hitam itu tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi hitam. Suara tawa kerasnya menggema di dalam ruangan."Dengan pedang ini, aku bisa menguasai dunia persilatan, hahaha!" Pedang Sulur Naga diacungkan sambil tertawa terbahak-bahak dengan dada membusung sombong. "Terima kasih wahai Dewa. Engkau telah mengantarkan Pedang Sulur Naga ini ke tanganku, hahaha."Dari belakang, muncul Bimala dan Elakshi. Keduanya menjatuhkan diri dengan kedua tangan menyentuh tanah. "Kalian sudah datang?"Hang Dineshcara melirik pada dua wanita itu sekilas, lalu menyeringai. " Gadis itu perlakukan dengan baik, beri makan cukup sebelum dikorbankan pada Dewa Penjaga dasar jurang Hung Leliwungan ini," titah Hang Dineshcarayaksa. Bagaimana pun, gadis itu harus disingkirkan agar kelak tidak menjadi penghalang keing
Pikiran pemuda tampan itu gelusah. Dia berdiri dengan bersedekap, jiwanya menembus waktu, mencari keberadaan sosok gadis berkemben dan berkain hijau yang sudah dianggap sebagai adik itu.Tak ada jawaban atas penglihatan batin yang baru saja dikerahkan. Sosok gadis bisu itu tetap tak tertembus. Matanya perlahan terbuka. Sorot netranya bergerak-gerak gelisah."Sekar Pandan, di mana kau, Adikku?" Raden Prana Kusuma mendesah. Terdengar ketukan dari luar jendela yang terbuka. "Raden, kau ada di dalam?" Suara halus tapi tegas seorang laki-laki bertanya. Raden Prana Kusuma menoleh pada jendela kamar. Itu suara pelayannya yang biasa mengurusi keamanan di lingkungan kediaman orang tuanya. Biasanya kepala pengawal ayahnya akan memukulkan batu pada gagang pedang setiap melewati jendela kamar junjungannya. "Ya, ada apa?"Pemuda tampan itu menyalakan damar dengan pelita kecil yang ada di meja dekat kendi air minum. Tidak lama ruangan kamar semakin
Sebelumnya aku ingin bertanya padamu, apa yang akan dilakukan seorang gadis berusia belasan warsa di tempat asing seperti rimba persilatan? Apalagi gadis itu tanpa suara." Raden Prana Kusuma menatap wajah abdinya, seolah tidak membiarkan sang pengawal menyembunyikan isi pikirannya.Ludro Gempol terkesiap. "Tanpa suara? Bisu?" Raden Prana Kusuma mengangguk. Ludro Gempol berpikir. Selama ini dia tidak pernah bertemu seorang gadis belia tanpa sanak saudara apalagi bisu berada di rimba persilatan. Namun, diam-diam dia lega. Setidaknya bukan gadis seperti yang selama ini mencuri perhatian junjungannya dengan bersikap lemah gemulai, bersolek berlebihan atau berpura-pura baik pada orang lain saat di depannya. Dia hanya gadis biasa yang tidak bisa bicara.Setidaknya tidak akan menjadi bahan untuk membangkitkan murka orang tua Raden Prana Kusuma. Jelas tidak mungkin pemuda yang banyak digandrungi para gadis cantik ini menjatuhkan pilihan pada gadis bisu itu.
Dengan langkah lebar Raden Prana Kusuma menghampiri pintu kamar lalu membuka palangnya. Dia takut, suara bibi emban akan membangunkan yang lain. Wajah seorang wanita berusia lima dasa warsa menatapnya cemas."Raden tidak apa-apa?" Mata cekung dan lebar itu memindai tubuh junjungannya dengan seksama. Tidak ingin membuat emban setianya khawatir, pemuda berdada bidang itu berkata, "Aku tidak apa-apa, Bi. Kembalilah tidur.""Tapi saya dengar ada suara benda jatuh dan orang tertawa di dalam." Bibi emban belum percaya. Terpaksa Raden Prana Kusuma menggeser tubuhnya agar bibi emban dapat melihat Ludro Gempol di dalam kamar.Mata tuanya masih bisa mengenali lelaki dalam kamar luas itu. "Rupanya kamu, to, Le. Bibi kira siapa."Ludro Gempol meringis pada bibi emban."Maaf, sudah mengganggu bibi. Kami hanya bercanda. Benar, kan, Raden?" Dia menatap Raden Prana Kusuma berharap mendapat pertolongan darinya."Ya, sudah, Raden. Bibi kembali ke kama
"Bibi, corak batik yang kau kenakan sangat cantik ...." Suaranya mengambang. Ada perasaan tidak enak terlihat di wajah cantiknya."Kenapa wajahmu kautekuk begitu, Ngger? Kau menyukai corak batik bibi? Bukankah kau sendiri pandai menciptakan corak batik yang bagus dan indah?" Alih-alih menjawab pertanyaan ibu Raden Prana Kusuma, justru dia menunduk. Nyai Ageng Swardhani mengangkat dagu lancip itu."Wajahmu sedih, Gayatri." Nyai Ageng Swardhani tidak mengerti dengan gadis yang menjadi teman putranya sejak kecil itu. "Kau bertengkar dengan Prana Kusuma?""Tidak, Bi," tukasnya. Wajah itu seketika berubah saat mendengar nama teman kecilnya disebut. Nyai Ageng Swardhani mengerti, maka dia memerintahkan satu emban untuk memanggil putranya."Bibi, kedatangan saya ke sini bukan untuk bertemu Kangmas Prana Kusuma, tapi untuk memberikan hadiah ini untuk bibi Ageng." Dayang putri Dewi Gayatri menyerahkan bungkusan kain putih pada Nyai Ageng Swardhani. Perlaha
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b