"Hahaha!" Tawa menggema itu terdengar memutari tempat.
Mereka menambah kesiagaan penuh, siap menghadapi serangan musuh yang tak tampak. ."Siapa kau?!" Ki Gondo bertanya dengan keras."Mau apa kalian ke hutan ini? Cepat kembali!" Suara itu terdengar lagi."Apa hakmu menyuruh kami kembali? Kami tidak akan pergi sebelum bertemu pendekar penguasa bukit tengkorak ini," ujar salah satu murid Perguruan Tangan Seribu berani.Serangkum angin kencang datang melabrak tubuh murid itu. Untuk sesaat dia terpana. Angin serangan demikian cepat dan tidak tahu siapa yang mengirim. Saking terpananya, hingga lupa untuk menghindar. Tubuh murid yang tergolong tingkat tinggi itu terpental melabrak pohon di belakangnya.Setelah bergelojotan, tubuhnya diam, mati.Nyai Anjarsewu dan Nyai Limbuk menjerit ketakutan."Kakang Gondo, lebih baik kita kembali," bisik Nyai Limbuk semakin ketakutan.<Ramuan yang ia tumbuk telah selesai. Dengan telapak penuh tumbukan warna hijau, Sekar Pandan menghampiri tubuh Mahisa Dahana. Pemuda itu tengkurap di lempengan batu."Biar aku bantu." Umang Sari berjalan cepat menghampiri Sekar Pandan. Tangan gadis penari ini mengambil ramuan hijau dari telapak tangan Sekar Pandan.Sekar Pandan menggelengkan kepala saat Umang Sari memborehkan ramuan itu di punggung Mahisa Dahana, tanpa meminta petunjuk terlebih dulu padanya. Dara jelita ini menyenggolkan bahunya pada bahu gadis itu.Umang Sari mendongak. Melihat raut wajah Sekar Pandan yang tidak suka dengan perbuatannya tadi. Dia tahu diri. Namun, perasaan tertariknya pada ketampanan Mahisa Dahana membuat tahta angkuh terukir di hatinya demikian tinggi. Sekar Pandan memang memiliki wajah cantik. Sikap Mahisa Dahana yang selalu melindungi gadis itu menciptakan cemburu samar di lubuk hati Umang Sari.Sekar Pandan menggerakkan tang
"Entahlah, Mbakyu." Ki Gondo memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut."Ohh … apakah aku sudah di alam baka?" Terdengar sebuah keluhan dari tubuh gemuk Nyai Limbuk yang pingsan. Wanita berbadan subur itu bangun. Matanya mengerjap memandang sekitar. Saat dia masih mengenali tempat itu, dia melompat dan berlari ke belakang tubuh Ki Gondo." Ki, kenapa kita masih di sini?" tanyanya ketakutan."Tenanglah, Nyai. Sebentar lagi kita akan meninggalkan hutan ini. Ayo, kita pergi dari sini." Ki Gondo memerintahkan semua orang untuk meninggalkan tempat ini. Nyai Limbuk menggantikan Nyai Anjarsewu menggendong Mahisa Dahana."Tinggalkan anak itu di sini!" Sebuah suara menghentikan ayunan langkah kaki mereka. Itu suara si laki-laki kecil bertopeng tengkorak. Ki Gondo dan Nyai Anjarsewu saling pandang. Ada aura lega pada wajah mereka."Bagaimana, Adhi Gondo?" bisik Nyai Anjarsewu."Bukankah ini yang kita inginkan, Nyai," jawab lelaki itu.Nyai Anjarsewu terdiam
"Kau lupa pada tugasmu, Sekar Pandan?"Gadis itu gelagapan. Rupanya sejak tadi pikiran bawah sadar yang telah menguasainya, membuat dia tidak menyadari kehadiran pemuda bertudung bambu telah duduk di sampingnya.Sekar Pandan menatap wajah tergurat luka. "Kau sangat kami butuhkan. Lihatlah, Paman Gondo saat ini terluka, kau periksalah." Sekar Pandan baru ingat bahwa Ki Gondo ke sini dalam keadaan terluka.Perlahan pantatnya terangkat lalu meninggalkan Paksi Jingga yang segera mengekor di belakangnya. Sekar Pandan mulai memeriksa denyut nadi Ki Gondo. Keningnya berkerut. Lelaki itu terluka dalam cukup parah. Bisa dibayangkan, lawannya bukan orang sembarangan."Kau masih menyimpan ramuan obat untuknya?" Paksi Jingga bertanya pada Sekar Pandan. Suara pemuda itu demikian dekat, hingga Sekar Pandan dapat merasakan dengus napasnya. Dengan hati-hati, gadis berkain hijau itu melangkah satu langkah ke samping kanan. Agar ada jarak d
Manggala berjalan gagah paling depan menyusuri hutan. Hidungnya bergerak-gerak. Mirip seekor anjing pelacak, mencari tahu letak bau yang sudah dihafal sejak lama. Bau sapu tangan merah yang selalu tersimpan di tubuh para anggota Sapu Tangan Merah. Langkah mereka semakin jauh masuk hutan. Di belakang Manggala, para anggota perguruan Tangan Seribu tidak kalah menajamkan penglihatan dan penciuman. Pedang di tangan tergenggam erat. Mencari keberadaan mereka ibarat bermain petak umpet, seperti saat mereka masih kecil. Rombongan itu terus merambah hutan mengikuti Manggala yang berpatokan pada daya penciuman.seekor landak berlari melintasi mereka dengan ketakutan. Salah satu dari mereka melemparkan pedangnya pada binatang kecil itu. Namun, sayang. Manggala telah terlebih dulu mencengkeram pundaknya."Jangan membuat gaduh! Mereka bisa mengetahui kita."Lelaki itu menunduk dengan perasaan bersalah. Sebenarnya dia ingin menyingkirkan hewan itu karena telah me
Dengan pedang pinjaman, gadis itu menangkis pedang musuh yang datang silih berganti mengurungnya. Sebuah tendangan tidak lupa dihantamkan pada belakang lutut. Orang itu jatuh terjerembab. Dengan gesit tangannya memegangi tangan musuhnya untuk digunakan sebagai tameng. Sekar Pandan terus berloncatan ke sana ke mari sambil sesekali menghantamkan pukulan dan tendangan pada mereka. Orang yang dipinjam tangannya oleh Sekar Pandan berkali-kali melenguh kesakitan dan harus menyelamatkan nyawanya dari salah sasaran teman-temannya.Puas meminjam tangan orang, Sekar Pandan memutar pergelangan tangan orang itu hingga pedangnya kini pindah ke tangannya secara penuh. Sebagai tanda terima kasih, gadis berambut panjang bergelombang itu membabatkan pedang ke pemiliknya. Lelaki itu tersungkur masuk semak belukar.Tubuhnya jungkir balik ke belakang saat para penyerangnya menyerang secara bersama dari depan. Begitu kedua kaki jenjangnya menapak tanah, tangan kanannya menghentak ke
Sekar Pandan berusaha menentang tuduhan Paksi Jingga padanya. Namun, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Rasanya tidak ada gunanya dia menjelaskan semuanya pada Paksi Jingga, untuk menuliskan sesuatu di tanah, sudah lupa. Tatapan mata penuh kebencian dan kata-kata pedas pemuda berwajah penuh sayat itu telah melukai perasaannya."Siapa yang menyuruhmu memata-matai kami, ha?!" Sekar Pandan menggeleng lemah."Si Dewa Jari Maut sendiri, atau anak lelakinya itu? Bisa jadi kau adalah kekasih Senayudha yang ditaruh di perkumpulan ini untuk memata-matai kami." Paksi Jingga semakin berani berkata kasar pada Sekar Pandan. Gadis itu merasakan kedua matanya memanas dan berkaca-kaca. Tangannya meraih dedaunan yang terselip di pinggangnya lalu diberikan pada Paksi Jingga. Pemuda bertudung bambu itu merampas dedaunan dari tangan Sekar Pandan dengan kasar."Jadi dengan alasan mencari ramuan obat untuk adikku, kau diam-diam membuat kegaduha
Rasa kagum dan hormat pada Paksi Jingga seketika hilang.Mungkin, Mahisa Dahana lah yang lebih pantas menjadi ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang. Dia lebih tidak grusa-grusu dalam melangkah. Namun, sayang, dia seperti tidak memiliki gairah untuk masa depannya.Pemuda aneh dengan tatapan mata tidak bersemangat, tapi berubah berseri-seri saat menatap wajah cantik Umang Sari, gadis penari putri Ki Sempana. Gadis itu cantik dan sempurna, pantas kalau Mahisa Dahana lebih memperhatikannya. Ada rasa sesak di dada gadis berambut panjang bergelombang itu. Dia dan Mahisa Dahana lebih dulu berteman, tapi justru dengan Umang Sari lebih akrab.Hembusan angin yang sejuk dan alas rumput tebal yang nyaman, membuat tubuh gadis itu terbuai kantuk lalu terlelap dengan kedua mata basah. Tidurnya demikian nyenyak sampai dia tidak tahu, dari dalam jurang merayap dua makhluk aneh menjulurkan kepalanya.Dua makhluk aneh itu berambut gimb
"Dia yang telah melemparkan batu-batu dari atas tebing, Hang Dineshcarayaksa." Elakshi menjawab Suaranya berat dan serak. Mata besar dan lebar Hang Dineshcarayaksa mengamati Sekar Pandan yang meringis kesakitan. Tubuh gadis itu sakit semua."Dia persembahan yang bagus. mungkin persembahan warsa kali ini harus gadis cantik seperti dia," gumam Hang Dineshcarayaksa menaksir Sekar Pandan mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi hitam yang besar-besar. Mendengar percakapan mereka, bulu kuduk Sekar Pandan meremang. Gadis belasan warsa itu melihat sekeliling. Tidak ada jalan untuk melarikan diri."Bimala, kurung dia!" Makhluk tinggi besar berpakaian kulit kayu itu memerintah Bimala. Tangannya mengambil pedang Sulur Naga dari punggung Sekar Pandan. Tangan gadis itu menggapai pedang yang telah dirampas Hang Dineshcarayaksa. Dia bangkit hendak mengejar pedangnya, tapi sebuah kaki menginjaknya. mulut Sekar Pandan terbuka