Rong Tian menukik dari langit dengan gerakan yang memancarkan keeleganan penuh kekuatan. Jubah Raja Kelelawar Hitamnya berkibar, membelah kegelapan malam seperti sayap raksasa yang melesat cepat.Teknik Qinggong-nya sempurna, seakan dia adalah bagian dari angin itu sendiri. Sayangnya, tak ada satu pun mata yang menyaksikan aksinya yang memukau ini. Malam yang sunyi hanya menjadi saksi bisu dari keahliannya yang luar biasa.Saat kakinya menyentuh tanah, setiap langkahnya menciptakan getaran halus namun terasa. Getaran itu merambat di udara, seperti riak di permukaan air yang tenang.Di hadapannya, pemakaman Kekaisaran Dinasti Bai Feng membentang luas, sebuah kompleks makam berusia ribuan tahun yang menyimpan rahasia kekuasaan tertua di Benua Longhai. Tempat ini bukan sekadar kuburan, melainkan gudang energi roh hantu penasaran yang tak ternilai.Kompleks seluas tiga li ini dibangun dengan teknologi tingkat tinggi. Batu granit hitam dari Gunung Terlarang digunakan sebagai bahan utamanya
Rong Tian tetap tak bergerak, menggunakan teknik penyembunyian yang dia kuasai. Dia menajamkan pendengarannya, berharap bisa menangkap percakapan antara Guru Negara Lin dan sosok misterius yang dipanggil "Pangeran"."Misi di Gurun Hadarac gagal total, Lin Zhao," suara berat sang Pangeran terdengar dingin. "Anda membuat kekacauan yang tidak perlu."Guru Negara Lin membungkuk sedikit, nada suaranya penuh penyesalan. "Ampuni hamba, Pangeran. Rencana untuk memecah belah sekte aliran putih dan sekte iblis tidak berjalan sesuai harapan.""Lima ratus pemanah kerajaan dengan topeng hitam seharusnya menciptakan kekacauan sempurna," balas Pangeran. "Tapi kalian justru membuat sekte-sekte itu semakin waspada."Rong Tian tertegun. Dia sudah mengetahui bahwa Lin Zhao adalah sosok di balik penyamaran sebagai Raja Kelelawar Hitam palsu di Gurun Hadarac. Namun, baru sekarang dia menyadari betapa jahat dan liciknya rencana yang dirancang oleh sang guru negara. Kejahatan Lin Zhao ternyata jauh lebih da
Kota Biramaki usai Festival Perahu Naga tampak sepi, sunyi senyap. Pantai yang tadinya ramai berdesakan, kini hanya menyisakan jejak-jejak keramaian yang memudar: serpihan kertas berwarna-warni, pita-pita yang terlepas, dan pasir halus yang berhamburan.Setelah kepergian Qi Yu, kehidupan Rong Tian kembali pada alurnya yang semula. Ia menemani ayahnya yang kesehatannya berangsur membaik, atau memilih menyendiri, menyusuri jalan sunyi.Namun, pada tiap malam, satu tujuan pasti selalu menghantuinya: Pemakaman Kekaisaran."Peningkatan kultivasiku terlampau cepat," gumamnya dalam hati, tatapan mata hitamnya menajam. "Energi spiritual di tubuhku masih liar, belum sepenuhnya terkuasai. Harus ada cara untuk menaklukkannya, menstabilkannya. Dengan menyerap energi baru yang lebih kuat!"Dari catatan kuno Raja Kelelawar Hitam yang diwarisinya, Rong Tian memahami: "Energi spiritual jahat hanya dapat dijinakkan, distabilkan, dengan terus meningkatkan kultivasi! Kekuatan roh kaisar, betapapun dahsy
Rong Tian, yang duduk beberapa meja di belakang mereka, memasang telinga dengan seksama, perhatiannya sepenuhnya terfokus pada percakapan itu. Tangannya meremas cangkir teh, menciptakan retakan halus pada permukaannya, tanda bahwa pikirannya sedang bekerja keras."Apakah ini ada hubungannya dengan rencana Guru Negara?" batin Rong Tian, mata hitamnya berkilat penuh curiga, firasat buruk mulai menyelimutinya.Pengunjung rumah teh lainnya juga bergerak mendekat, rasa ingin tahu mengalahkan rasa malu. Seorang pedagang bertubuh gemuk menyeret kursinya lebih dekat, seorang wanita berpakaian sutra hijau pura-pura membenarkan sanggulnya sambil memasang telinga, mencoba menangkap setiap kata yang terucap.Kultivator bertubuh kurus itu, seolah tersulut api semangat, mulai bercerita dengan lebih bersemangat. "Huo Xin Jian bukanlah sekadar pedang biasa! Ia memiliki kesadaran spiritual yang setara dengan kultivator tingkat tinggi! Bahkan lebih!"Pria separuh baya dengan bekas luka di wajahnya meni
Pagi hari di Gunung Qingyun, diselimuti kabut tipis yang berembus lembut, dipenuhi kesibukan luar biasa. Para murid Sekte Langit Murni, bagaikan deretan bangau putih yang anggun, bersiap dengan jubah upacara kebesaran mereka. Warna putih bersih memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan pemandangan yang memesona. Mereka berbaris rapi di sepanjang jalan setapak menuju arena utama di puncak gunung, tempat perhelatan akbar akan dimulai. Seorang tamu dari Sekte Bintang Empat, bernama Liu Wei, berbisik kepada rekannya dari Sekte Bintang Tiga, Zhang Hui. "Lihatlah, para murid Sekte Langit Murni! Gerak-gerik mereka begitu luwes, penuh dengan disiplin!" Zhang Hui mengangguk setuju, matanya mengamati dengan seksama. "Para pria tampak gagah, bahu mereka tegap, tatapan mata penuh tekad. Sementara para wanita, mereka memancarkan keteguhan yang memesona, seolah mampu menaklukkan langit." Seorang murid wanita Sekte Langit Murni melintas, jubah putihnya berkibar anggun ditiup angin. Rambut hit
Fang Long tersenyum tipis, mengangguk dengan anggun. Dia mempersilakan rombongan menuju podium VIP di puncak arena, tempat para tamu terhormat akan duduk. Zhao Hua dan Chang Zhong berjalan di belakang, mendapatkan tempat istimewa di barisan depan.Begitu duduk, Zhao Hua langsung mengamati sekeliling dengan pandangan merendahkan, tatapannya menyapu seluruh arena dengan cermat. "Sungguh sederhana," gumamnya dengan suara cukup keras agar didengar semua orang. "Di Sekte Pedang Cahaya, kami tidak akan pernah menggelar acara seperti ini."Dia menyentuh kursi tempat duduknya dengan ujung jari, seolah-olah kursi itu kotor dan tak pantas untuk disentuh. "Dekorasi ini sungguh ala kadarnya. Tidak ada sentuhan keindahan sama sekali."Para murid Sekte Langit Murni mengepalkan tangan, menahan amarah yang membara di dalam dada mereka. Beberapa melirik Zhao Hua dengan tatapan membunuh, ingin segera membungkam mulutnya yang sombong.Guang Jiang, yang mendengar komentar Zhao Hua, justru tersenyum, seny
Rong Tian duduk tenang, menyatu dengan para kultivator Sekte Bintang Tiga. Jubah putihnya yang sederhana nyaris tak terlihat di tengah kerumunan, namun matanya yang tajam tak pernah berhenti mengamati, menelisik arena dengan tatapan setajam elang, menunggu saat acara dimulai.Sementara itu, di kaki Gunung Qingyun, tepat di area gerbang masuk, kekacauan merebak, menyebar bagai wabah. Para murid Sekte Langit Murni berkerumun, wajah mereka diliputi kepanikan yang mencekam."Lihat mereka!" teriak seorang murid, suaranya sarat ketakutan, menunjuk lima rekannya yang tergeletak tak berdaya di tanah. "Mereka tiba-tiba ambruk, tanpa sebab yang jelas!"Lima murid Sekte Langit Murni terbaring dengan wajah sepucat mayat, tubuh mereka bergetar hebat, seolah dihantam kekuatan tak kasat mata."Ini pasti serangan sihir gelap!" seru seorang murid senior, suaranya sarat amarah dan keputusasaan. "Hanya kultivator aliran iblis yang mampu melakukan serangan keji seperti ini!"Kepanikan menyebar bagai api
"Itu Mu Cai, pemimpin Suku Xuefeng," jawab seorang kultivator tua, suaranya dipenuhi rasa hormat. "Kecantikannya termasyhur di seluruh Benua Longhai. Konon, ia adalah titisan dewi!"Dalam sekejap, semua mata tertuju pada Mu Cai. Para pria menatapnya dengan kekaguman yang mendalam, sementara para wanita memandangnya dengan iri yang tersembunyi.Bahkan Guang Jiang, yang dikenal sebagai sosok yang sulit terkesan, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Matanya terus mengikuti sosok Mu Cai, seolah ia telah menemukan sebuah harta karun yang tak ternilai harganya.Zhao Hua, yang tadinya menjadi pusat perhatian, kini terlupakan, bagai debu yang tertiup angin. Wajahnya memerah karena cemburu dan amarah yang membara.Dia mencengkeram lengan Chang Zhong dengan kuat, kukunya yang tajam hampir menancap di kulit pemuda itu, menyalurkan rasa frustasinya."Apa hebatnya dia?" bisik Zhao Hua dengan nada sinis, suaranya dipenuhi dengki."Hanya karena dia dari Suku Xuefeng, semua orang memperlakukannya se
SWING – SWING – SWING!Seribu anak panah melesat dalam formasi sempurna, menciptakan pemandangan menakjubkan seperti hujan meteor di langit malam. Namun anehnya, bukan mengarah pada para kultivator di tengah, melainkan ke berbagai titik di permukaan es sekeliling bukit.Tian Guan Zong dan yang lain menatap bingung, tak mengerti arti serangan yang meleset ini, seperti orang yang melihat hantu di siang bolong."Apa yang ..." belum selesai Xuan Dao berkata, suara ledakan dahsyat memenuhi lembah seperti ratusan guntur yang menggelegar bersamaan."BUM! BUM! BUM!"Ledakan beruntun terdengar dari segala arah, menciptakan simfoni kehancuran yang memekakkan telinga.Anak-anak panah telah mengenai titik-titik strategis di mana bom qi telah ditempatkan sebelumnya. Permukaan es retak dalam pola yang terencana sempurna, seperti jaring laba-laba raksasa yang menjalar dengan cepat.Bukan ledakan biasa, ini adalah bom qi spiritual tingkat tinggi yang dirancang untuk menghancurkan struktur es hingga k
Salju turun perlahan, butiran-butiran putih melayang bagai kelopak bunga persik di antara seribu prajurit Kekaisaran Matahari Emas yang kini berdiri kokoh di sekeliling bukit es.Formasi mereka sempurna—lingkaran konsentris dengan jarak presisi yang tak mungkin ditembus, seperti jaring laba-laba raksasa yang siap menjerat mangsa.Zirah hitam dengan aksen emas mereka berkilauan di bawah cahaya matahari yang redup, menciptakan pemandangan menakjubkan bagai ribuan bintang di langit malam.Busur komposit terentang dengan anak panah yang ujungnya berpendar merah menyala—tanda bahan peledak dan qi api yang terkonsentrasi, hasil dari teknik alkimia kuno yang hanya dikuasai oleh pandai besi terbaik Kekaisaran.Di tengah kepungan, para kultivator terkuat dari dua wilayah berdiri dengan wajah tegang, seperti harimau yang terjebak dalam lingkaran api.Tian Guan Zong, pemimpin Sekte Cahaya Surgawi, menatap ke atas dengan mata berkilat penuh kebencian. Jenggot putihnya yang panjang hingga ke dada
Kultivator lain mundur dengan cepat, membentuk lingkaran lebih besar untuk menghindari serangan nyasar.Pertarungan memicu kekacauan yang telah lama terpendam.Nyonya Bi Yun dengan jurus embun birunya dan Biksu Wanpeng dengan mantra suci Buddha bergabung dengan Tian Guan Zong, sementara Yin Zhi dengan cepat berada di sisi Huang Wenling, bayangan-bayangan hitam menari di sekitar jubahnya.Zhao Min dan Jin Hao dari Dataran Tengah mundur dengan elegan, memilih menjadi penonton bijak, sementara Lima Tetua Aliansi Lima Elemen membentuk formasi pentagon untuk membantu Tian Guan Zong, masing-masing memunculkan qi sesuai elemen mereka.Namun... sebelum pertarungan semakin sengit, sebuah suara gemuruh menggetarkan langit.Seolah guntur di tengah hari cerah, suara itu membuat semua kultivator berhenti dan mendongak, insting bahaya mereka berteriak.ROAAR!!Langit yang semula biru pucat kini menggelap dengan cepat. Awan hitam pekat berkumpul, berputar dalam lingkaran raksasa tepat di atas Air Te
Pernyataan itu menghentikan semua percakapan.Udara seolah membeku lebih dingin dari sebelumnya, qi alam meremang seperti peringatan tak terucap."Apa maksudmu, Nyonya Huang?" tanya Xuan Dao dengan nada tenang namun mata waspada, jari-jarinya siap merapal formasi segel.Huang Wenling mengitari lingkaran kultivator dengan langkah anggun bagai merak memamerkan bulunya.Jubah sutranya yang berwarna merah delima berkibar tertiup angin dingin, tidak terpengaruh oleh es yang menyelimuti tanah. "Jangan berpura-pura suci. Desas-desus telah menyebar hingga ke Dataran Tengah.""Kalian berlima," ia menunjuk lima pemimpin sekte ortodoks dengan jari lentiknya, aura qi ungu samar berpendar di sekitar kukunya yang panjang, "telah membentuk aliansi rahasia bernama Aliansi Lima Misteri."Wajah Tian Guan Zong mengeras bagai batu granit, qi emasnya berfluktuasi berbahaya membentuk aureola tipis di sekitar tubuhnya. "Hati-hati dengan tuduhanmu, Nyonya Huang. Kata-kata bisa lebih tajam dari pedang qi.""T
Salju turun perlahan di pegunungan Tiga Puncak Bintang Utara, kristal-kristal putih melayang di udara bagai debu permata yang tak kunjung menyentuh tanah.Matahari pucat mengintip di balik awan kelabu, menciptakan pelangi es yang melengkung di atas lembah beku.Angin dingin bertiup lembut, berbisik di antara pilar-pilar es raksasa yang menjulang seperti jari-jari dewa yang mencengkeram langit.Di dataran tinggi yang menghadap Air Terjun Sembilan Naga yang membeku, sosok-sosok berjubah mulai bermunculan satu demi satu, seolah terpanggil oleh kekuatan misterius yang tak terucap.Aura qi kuat bergetar di udara, menciptakan tekanan yang membuat butiran salju melayang-layang sebelum jatuh.Rong Tian bersembunyi di balik pilar es, diapit Duan Meng dan Fan Liu yang bersiaga dalam diam. Matanya menyipit, mengamati dengan cermat setiap pendatang baru."Lima... sepuluh... dua puluh..." bisik Rong Tian menghitung, "...dan terus bertambah. Ada apa ini? Seperti pertemuan para master seluruh benua.
Rong Tian bangkit perlahan, mengamati medan pertempuran yang kini sunyi. Dalam waktu singkat, puluhan kultivator tingkat tinggi—hasil kultivasi ratusan tahun, penerus teknik kuno berharga—lenyap tak bersisa. Kematian sia-sia demi sepotong peta dan janji kekayaan."Keserakahan," gumamnya, matanya menyapu pemandangan mengenaskan di bawah. "Begitulah sifat alami manusia—dan kultivator. Harta karun, teknik kultivasi, rahasia kekuatan abadi... semua itu membuat nyawa manusia kehilangan nilai."Angin dingin bertiup kencang, membawa butiran salju tebal yang perlahan menutupi medan pertempuran. Alam sendiri seolah bergegas menghapus jejak kekejian manusia.Dalam waktu singkat, permukaan darah yang mengalir mulai membeku, warnanya memudar di bawah tumpukan salju baru. Tubuh-tubuh mulai tertutup, menyatu dengan padang es, seolah tak pernah ada."Sekali lagi, dunia kultivasi membuktikan hukum rimba yang kejam," Rong Tian berkata pelan pada kedua jiangshi di belakangnya."Yang kuat bertahan, yang
* Bab Ekstra.Terima kasih gemnya gaesDari balik gundukan es, Rong Tian menyaksikan pemandangan yang mencengangkan. Bukan sekadar pertarungan kecil yang ia kira—melainkan pertempuran skala besar antara dua kelompok kultivator.Kilatan pedang dan ledakan qi menerangi padang es dalam cahaya merah dan biru yang menyilaukan mata, menciptakan aurora mengerikan yang memantul di permukaan salju."Sekte Bulan Darah," gumam Rong Tian, mengenali simbol bulan merah pada jubah salah satu kelompok. "Mengapa mereka berada di sini?"Duan Meng bergerak sedikit di belakangnya, mata kosongnya fokus pada pertarungan. "Tuanku, lawan mereka mengenakan jubah putih dengan simbol pedang es—seperti kultivator yang kita lihat di padang es sebelumnya.""Sekte Pedang Salju," bisik Rong Tian, keningnya berkerut dalam. "Mereka muncul lagi."Pertarungan di bawah semakin sengit. Puluhan kultivator Sekte Bulan Darah mengepung dengan formasi bulan sabit, qi merah darah mereka berputar membentuk kabut beracun yang meng
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika tiga sosok berjubah hitam melangkah keluar dari gerbang utara Kota Benteng Utara.Salju masih turun perlahan, namun tidak cukup lebat untuk menghalangi pandangan. Udara dingin menusuk tulang, membuat para penjaga gerbang menggigil dalam balutan mantel bulu mereka."Kalian gila pergi ke utara di musim seperti ini," komentar penjaga gerbang dengan suara gemetar. "Tak ada yang di sana selain kematian beku."Rong Tian tersenyum tipis di balik kerudungnya. "Terkadang kematian menyimpan harta yang lebih berharga dari kehidupan," jawabnya skeptis, melempar sekantong koin perak kepada penjaga yang kebingungan.Tanpa menunggu balasan, tiga sosok itu melangkah menembus kabut salju tipis, meninggalkan Kota Benteng Utara. Di depan mereka terbentang padang es luas tanpa ujung, dihiasi pohon-pohon pinus tua yang kokoh menjulang seperti penjaga abadi di tanah beku.Rong Tian melangkah di depan, diikuti Duan Meng dan Fan Liu yang bergerak dalam diam.Ketiga s
Salju turun tanpa henti di Kota Benteng Utara, menyelimuti jalanan berbatu dengan lapisan putih tebal yang menghalangi aktivitas penduduk.Tujuh hari telah berlalu sejak pertarungan berdarah di padang es, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat seperti siksaan abadi.Di sebuah penginapan sederhana di sudut kota yang jarang dilalui orang, Rong Tian duduk bersila di lantai kayu, menghadap jendela yang membeku oleh kristal es.Mata tajamnya menerawang jauh, sementara tangannya menggengam erat pecahan peta yang berhasil ia dapatkan dari sisa-sisa pertarungan sebelumnya—satu-satunya yang tersisa setelah Huang Wenling merebut pecahan lainnya.‘Tujuh hari,’ batinnya geram.‘Tujuh hari terbuang sia-sia tanpa petunjuk!’Napasnya membentuk uap putih di udara dingin kamar penginapan. Sejak kembali dari padang es, ia telah menggunakan segala cara untuk mencari informasi tentang Air Terjun Sembilan Naga di Puncak Tiga Bintang Utara—tempat di mana Dataran Jin Cao tersembunyi.Ia m