Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus Gems : 1/1 Selesai Bab Bonus Author : Menyusul Pertarungan semakin brutal, namun Celestial Myrad belum muncul satupun selain Varion yang sudah dihadapi Kevin sebelumnya ... Penasaran? Ikutin terus ya cerita ini ...
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jima
Kuburan Iblis dan Dewa ...Sebuah kuburan kuno yang paling ditakuti oleh seluruh praktisi bela diri di Nagapolis, Propinsi Xandaria yang merupakan propinsi terbesar di Negara Vandarian."Kevin Drakenis, aku hadiahkan Pedang Dewa Ilahi kepadamu. Seluruh ilmu Pedang Dewa Ilahi telah kuajarkan kepadamu! Roh Pedang juga ada di dalam pedang ini, kalau kemampuanmu sudah mencapai maksimum maka Roh Pedang akan muncul membantumu! Tinggal kamu tunjukkan pedang ini kepada Klan Vasendra maka keturunanku ini akan membantumu sebaik mungkin."Pemuda yang berumur sekitar 18 tahun ini menatap pedang yang berwarna biru pada bilah pedangnya ini dan memantulkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Tangannya dengan ringan mengayunkan pedang besar yang cukup berat ini. Tidak ada ucapan apapun dari pemuda ini ... wajahnya terlihat dingin menerima pedang pusaka ini."Ada beberapa ilmu pedang lain di dalam Kitab Ilmu Pedang Dewa yang bisa kamu pelajari untuk meningkatkan ilmu pedangmu!" lanjut bayangan yang membe
Sepuluh bayangan yang menyerupai roh, setengahnya adalah bayangan putih sedangkan setengahnya adalah bayangan hitam berkumpul bersama dengan mengelilingi Kevin Drakenis yang berada di tengah. Aura mengerikan terpancar dari seluruh bayangan ini yang membuat suasana Kuburan Iblis dan Dewa ini seperti mengalami badai kosmis. Aura mengerikan ini menunjukkan kehebatan mereka di masa kejayaan serta jaman keemasan dewa dan iblis ini.Saat ini, sepuluh penghuni Kuburan Iblis dan Dewa yang masih aktif ini tampak sangat berbahagia. Setelah lima tahun berlalu, mereka masih enggan untuk melepaskan Kevin ke dunia luar yang kejam.Ratusan tahun menunggu pewaris yang tepat, akhirnya mereka menemukan Kevin yang terjerumus masuk ke dalam Kuburan Iblis dan Dewa. Sekarang mereka tampak bahagia terhadap Kevin, tapi lima tahun lalu saat Kevin pertama kali tiba di kuburan ini, ia mengalami siksaan lahir-batin dari iblis dan dewa yang menghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini selama berabad-abad lamanya.Sekarang
Kevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya."Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan. "Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!" Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat. Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia
Kevin melangkah cepat di antara pepohonan yang menjulang di kaki Gunung Xandaria. Napasnya teratur, tapi sorot matanya tajam, seakan-akan setiap langkahnya membawa kenangan yang tak bisa dihapus oleh waktu. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang tertiup angin, membawa nostalgia yang mengguncang hatinya. Tak lama, hamparan beton dan kaca dari Kota Nagapolis tampak di depan mata. Kota yang dulu menjadi saksi kejayaan keluarganya, sekaligus kehancuran yang menyisakan dendam.Lima tahun berlalu sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Bagaimana rupa kota ini sekarang? Apa yang berubah?Ia harus mencari informasi terlebih dahulu tentang Nagapolis, terutama Keluarga Caraxis yang menjadi sasaran pertamanya untuk menyelidiki kejadian lima tahun yang lalu. Tiba-tiba Kevin teringat kartu magnetik Dracarys yang bisa digunakannya.Jemarinya merogoh saku dalam pakaiannya, menyentuh kartu kristal biru yang terasa dingin di ujung jarinya. Kartu Dra
Paviliun Timur Caraxis diselimuti oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara pepohonan kering. Aroma anyir darah bercampur dengan udara malam yang dingin, menusuk hidung seperti belati tak kasat mata. Cahaya bulan temaram memantulkan siluet seorang gadis yang tergantung di tiang kayu, tubuhnya dililit kawat duri yang mencengkeram erat seperti ular berbisa yang tak ingin melepas buruannya.Ravena Xenagon, gadis berwajah pucat bagai salju musim dingin, hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Setiap tarikan napasnya seperti serpihan kaca yang menghujam paru-parunya. Darah merembes dari luka-luka yang menganga di kulitnya, menetes perlahan ke tanah yang telah berubah merah tua karena darah yang tumpah di tempat itu.Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun merah tua—semerah darah yang mengalir dari tubuh Ravena—menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Helena Caraxis. Wanita itu berlutut dengan santai, tangan kanannya memegang paku panja
Ravena merasakan kemarahan meledak di dadanya. "Cih! Aku tak habis pikir mengapa Kak Kevin bisa begitu jatuh cinta pada wanita sekeji dirimu!" Suaranya penuh penghinaan, tapi tubuhnya gemetar oleh ketegangan.Helena menyeringai, melangkah mendekat dengan angkuh. "Kau tak bisa menyentuhku, adik ipar ... hihihi! Jadi, buang jauh-jauh niat membunuhmu!" katanya penuh kepuasan. "Masih bersikeras? Baiklah! Potong kaki pengawal ini!""Tunggu!" Ravena akhirnya berteriak, matanya memancarkan kepasrahan bercampur kebencian. "Baiklah! Aku akan memberikan Darah Iblis Es! Tapi lepaskan mereka!" Suaranya pecah, nyaris memohon. Tiga pengawalnya telah menjadi keluarganya. Dia tak bisa membiarkan mereka mati dengan sia-sia.Helena terkekeh, lalu dengan kejam meraih tangan Ravena. Pisau peraknya bergerak cepat, memotong nadi Ravena tanpa ragu. Darah biru es menyembur keluar, mengalir ke dalam wadah yang telah disiapkan.Helena membutuhkan Ravena dalam keadaan hidup agar Darah Iblis Es yang diambilnya b
"Kevin Drakenis! Beraninya kau menampakkan wajah busukmu di sini!" serunya penuh kejijikan. "Bukannya kau telah mati, sampah!" Kevin mengeraskan tatapannya. "Helena Caraxis! Kau telah membantai keluargaku, mengorbankan adikku demi Darah Iblis Es, dan sekarang kau berdiri di sini, bertingkah seolah tak bersalah?! Kau ini manusia atau iblis, hah?!" Helena tersenyum sinis sebelum melambaikan tangannya. Beberapa pengawal Paviliun bergegas masuk, pedang mereka terhunus. "Habisi dia! Potong tubuhnya dan beri makan binatang buas!" Lima pengawal mengepung Kevin. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Namun— SRET! Kepala pengawal itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya, jatuh dan menggelinding di atas tanah. Matanya masih terbuka lebar, seolah tak percaya telah mati begitu cepat. Empat pengawal lainnya membeku, tak sempat bereaksi sebelum nasib serupa menimpa mereka. Dalam sekejap, kepala mereka juga terpenggal, darah memancar liar ke segala arah. Kevi
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jima
Namun sebelum Kevin sempat melangkah maju, udara di medan pertempuran tiba-tiba menegang.Dari kerumunan yang berjarak, sebuah suara mengguntur, berat dan dipenuhi kekuatan yang menusuk hingga ke sumsum."Kevin Drakenis!"Grand Rune Master Weng melangkah maju, jubah panjangnya berkibar keras dihempas badai spiritual yang ia ciptakan. Tatapan matanya tajam seperti tombak kuno, membelah jarak di antara mereka. Suaranya mengandung gema keabadian, seolah dunia itu sendiri berhenti sejenak untuk mendengarkan.Di tangannya, ia mencengkeram sebuah jimat kuno—selembar kain tipis berwarna merah darah, penuh dengan rune-rune kuno yang berdenyut seperti nadi makhluk hidup. Cahaya merah menyala dari jimat itu, membentuk pusaran rune raksasa di udara."Atas nama Dao... kuhancurkan kau!" teriak Weng, suara amarah bercampur dengan hukum alam itu sendiri.BOOOM!Jimat itu meledak, menghamburkan ratusan sinyal kuno ke segala penjuru. Rune-rune tersebut melesat, berpadu, dan berputar membentuk segel ko
“Dasar Iblis!”Seruan itu meluncur keras dari bibir salah satu dari Tujuh Cultivator Pedang Sekte Pedang Langit. Suara itu penuh amarah, namun juga diliputi ketakutan.Udara di sekeliling mereka mendadak berubah. Panas. Tajam. Mencekam. Niat pedang mereka menyembur keluar, tak kasatmata namun terasa seperti ribuan jarum mencabik kulit. Setiap langkah maju mereka menggores langit, membentuk retakan-retakan halus berwarna biru di udara—seakan dimensi itu sendiri enggan menyentuh kekuatan mereka.Salah satu pemimpin mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi, suaranya bergema seperti dentang baja:"Formasi Pedang Tujuh Langit!"Tujuh sosok melesat ke langit—secepat kilat, sepadu nyawa. Tubuh mereka membentuk formasi bintang berujung tujuh, dan di tengahnya, badai spiritual mengamuk. Udara menjadi berat. Tanah bergetar. Energi murni meledak ke segala penjuru.Tapi Kevin... hanya berdiri.Angin menggoyang rambutnya yang tergerai. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hendak di
“BUNUH DIA!!”Teriakan sang kapten pengawal meledak seperti cambuk petir di langit malam. Suaranya serak dan dipenuhi kemarahan, menggema hingga sudut-sudut aula megah yang kini penuh ketegangan.Tanpa perlu aba-aba kedua, derap kaki ratusan prajurit menggema serempak, seperti gelombang badai hitam yang bangkit dari kedalaman neraka. Pedang-pedang terhunus, mata mereka menyala oleh api perintah.Namun di tengah pusaran itu, Kevin berdiri...Diam.Tak bergeming, seperti patung dewa kuno yang menatap hina pada makhluk fana yang mencoba memberontak pada takdir. Matanya menyipit sedikit, penuh keheningan mematikan. Bukan tatapan manusia—melainkan penilaian dingin dari makhluk yang jauh lebih tinggi.Lalu... suara itu terdengar.Pelan.Lembut.Nyaris seperti bisikan yang menggelitik telinga, namun mampu menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya.“Phantom Gods Blast.”Sepersekian detik kemudian, dunia terasa terhenti. Waktu seolah ditahan napasnya.Angin berhenti bergerak.Jantung para p
Tiba-tiba, suara derap langkah bergema keras, teratur seperti genderang perang yang dipukul serempak. Dari kedua sisi aula, pasukan pengawal Gubernur Adam Smith memasuki ruangan dengan formasi militer yang disiplin. Lantainya bergetar pelan setiap kali kaki mereka menghantam marmer, seakan kekuatan kolektif mereka mampu mengguncang fondasi gedung tua itu.Ratusan pria dan wanita berseragam hitam berlapis emas muncul dari balik pintu besar. Seragam mereka berkilat di bawah cahaya kristal gantung, dengan hiasan logam berbentuk naga membungkus helm mereka seperti penjaga legenda kuno. Di dada masing-masing, terpatri lambang mata merah menyala—simbol ketaatan mutlak dan ambisi yang membara. Sorot mata mereka tajam, tidak hanya menyoroti kesiapan bertempur, tapi juga hasrat untuk diakui. Mereka bukan hanya datang untuk bertarung... mereka datang untuk terlihat bertarung.Seorang kapten, dengan jubah sedikit lebih panjang dan emblem perak di bahunya, melangkah ke depan dan mengacungkan peda
Udara di dalam aula megah itu mendadak berubah—seakan suhu turun beberapa derajat dalam sekejap. Aroma rempah dari alat aroma terapi yang sebelumnya mendominasi ruangan kini tercampur dengan jejak tipis asap rokok yang menggantung di langit-langit, membentuk sulur-sulur samar yang belum sempat lenyap. Di tengah keremangan cahaya kristal gantung, Kevin berdiri tenang, sebatang rokok terselip di jarinya, abu di ujungnya bergetar ringan—seperti merespon ketegangan yang menggumpal di udara.Lalu... BRAAAK! Sebuah tekanan spiritual menghantam ruangan seperti gelombang tak terlihat, membuat udara seolah-olah membeku. Para tamu tersentak. Sebagian kehilangan keseimbangan, dan yang lain meremas dada, berusaha bernapas. Seolah-olah langit menggantung tepat di atas kepala mereka—berat, gelap, dan penuh ancaman.Tiba-tiba, dari balik pilar-pilar marmer putih, kilatan cahaya menusuk udara. Secepat kilat, tujuh sosok muncul dalam lompatan nyaris tak terlihat mata biasa. Jubah panjang mereka berkib
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
Hening berubah menjadi gelombang riuh."Apa?! Peti mati?"“Gila! Itu penghinaan! Apa Paviliun Drakenis sudah bosan hidup?”“Bukankah mereka sudah musnah lima tahun lalu?”Kerumunan mulai berdesis dan mengerutkan kening, mencari siapa yang berani menyebut nama itu—nama yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah berdarah.Lalu, perlahan, sebuah bayangan muncul dari balik gerbang utama. Peti mati hitam berukir pola naga terkutuk melayang anggun di udara, mengeluarkan aura dingin yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Di atasnya berdiri seorang pemuda berjubah putih, tubuhnya tegak, langkahnya tenang bagai tak tersentuh tekanan ratusan pasang mata yang menatap tajam.Wajah-wajah para tamu berubah pucat, sebagian bahkan mundur setapak, seolah keberadaan pemuda itu adalah racun yang bisa meledak kapan saja. Namun pemuda itu tidak menunjukkan ketegangan sedikit pun. Dengan santai, ia mengambil sebungkus rokok dari dalam jubahnya, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap ke la
Halaman depan kediaman Gubernur Adam Smith malam itu bagaikan lautan manusia. Lentera kristal tergantung di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan marmer putih, memantulkan siluet para tamu berpakaian mewah. Aroma dupa kayu cendana dan bunga kastuba bercampur dalam udara malam, menambah suasana sakral dan megah.Di tengah keramaian, para petinggi kota dan pemimpin paviliun berdiri berbaris dengan wajah penuh senyum dan tangan memegang kotak persembahan. Mereka tidak hanya datang untuk merayakan ulang tahun Gubernur yang ke-55, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan loyalitas dan mencari restu dari orang paling berpengaruh di Provinsi Xandaria.Desiran bisik-bisik terdengar dari paviliun-paviliun kecil yang berdiri di bawah tenda-tenda bermotif naga dan burung phoenix. Meskipun mereka tahu posisi mereka jauh di bawah nama-nama besar seperti Paviliun Caraxis—yang reputasinya musnah hanya dalam satu hari oleh tangan dingin Kevin Drakenis—namun mer