Paviliun Timur Caraxis diselimuti oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara pepohonan kering. Aroma anyir darah bercampur dengan udara malam yang dingin, menusuk hidung seperti belati tak kasat mata. Cahaya bulan temaram memantulkan siluet seorang gadis yang tergantung di tiang kayu, tubuhnya dililit kawat duri yang mencengkeram erat seperti ular berbisa yang tak ingin melepas buruannya.
Ravena Xenagon, gadis berwajah pucat bagai salju musim dingin, hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Setiap tarikan napasnya seperti serpihan kaca yang menghujam paru-parunya. Darah merembes dari luka-luka yang menganga di kulitnya, menetes perlahan ke tanah yang telah berubah merah tua karena darah yang tumpah di tempat itu.
Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun merah tua—semerah darah yang mengalir dari tubuh Ravena—menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Helena Caraxis. Wanita itu berlutut dengan santai, tangan kanannya memegang paku panjang, sementara tangan kirinya dengan kejam menekan telapak kaki Ravena ke tiang kayu.
“Ah, lihatlah dirimu sekarang, Ravena.” Helena menyeringai, lalu dengan gerakan cepat, ia menghunjamkan paku itu ke telapak kaki Ravena.
CRAAK!
Jeritan tertahan lolos dari bibir Ravena saat paku itu menembus daging dan tulangnya. Rasa sakit yang menyengat bagai api neraka membakar syarafnya. Ia menggigit bibirnya begitu keras hingga darah merembes dari sudut bibirnya.
Di sisi lain, tiga pengawal setianya mengalami nasib yang sama. Mereka terpaku di tiang kayu, wajah mereka berlumuran darah dan tubuh mereka penuh luka. Mata mereka membara dengan amarah, tetapi tubuh mereka terlalu lemah untuk melawan.
“Helena Caraxis... dasar wanita berhati iblis!” suara Ravena serak, matanya penuh kebencian. “Keluarga Drakenis telah memperlakukanmu dengan baik, dan ini balasanmu? Kau membantai mereka semua demi apa?”
Helena hanya mengangkat bahunya, acuh tak acuh. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya, seolah-olah pertanyaan Ravena hanyalah angin lalu. Namun, pengawal setia Ravena, Kalandra, tak bisa menahan amarahnya.
“Kau wanita busuk!” raungnya. “Tuan Muda memperlakukanmu dengan baik! Tuan dan Nyonya Besar juga! Tapi kau seperti anjing kelaparan yang tak pernah puas dengan satu tulang!”
Helena tersenyum tipis. Dalam sekejap, tangannya meluncur ke arah Kalandra, menyusup ke dalam mulut pria itu, mencengkeram lidahnya dengan erat.
“Aku tidak suka orang yang berisik,” bisiknya pelan.
Dengan satu tarikan cepat—
CRRRTT!
Lidah Kalandra terlepas dari pangkalnya. Pria itu menjerit tertahan, darah muncrat dari mulutnya seperti air mancur merah. Tubuhnya menggeliat kesakitan, matanya melebar ketakutan.
Helena hanya tertawa kecil sambil mengusap darah yang membasahi tangannya ke kain gaunnya yang telah berlumuran darah. “Nah, sekarang kau bisa diam,” ucapnya santai, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal sepele.
Ravena menggertakkan giginya, hatinya terasa terbakar melihat pengawalnya yang setia harus menderita seperti itu.
“Kau benar-benar iblis, Helena! Beruntung aku tidak jadi memiliki kakak ipar sepertimu!” serunya dengan penuh kebencian.
PLAAAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Ravena, membuat kepalanya terlempar ke samping. Rasa panas menjalar di kulitnya, tetapi ia tetap menatap Helena dengan sorot mata penuh perlawanan.
“Beraninya kau menghinaku?” geram Helena. Matanya bersinar marah. “Keluarga Drakenis sudah musnah! Sampah seperti Kevin juga sudah mati! Apalagi yang kau harapkan?”
Ravena mengepalkan tangannya sekuat tenaga meski pergelangannya masih terpaku. Jika saja ia bisa bergerak, ia sudah mengoyak tubuh Helena dengan tangannya sendiri. Matanya melirik Kalandra yang terengah-engah, darah mengalir tak henti dari mulutnya.
Helena melangkah mendekati Ravena, kali ini nada suaranya lebih lembut, penuh godaan beracun.
“Aku tidak peduli dengan mereka,” ujarnya. “Tapi bagaimana jika aku memberimu pilihan? Nyawa tiga pengawal setiamu ini... dengan Darah Iblis Es dalam tubuhmu.”
Ravena membelalak. Ia tahu apa yang diinginkan Helena—Darah Iblis Es yang mengalir dalam tubuhnya adalah harta berharga yang hanya bisa diambil saat ia masih hidup dan dalam kondisi terbaik.
Helena tersenyum penuh kemenangan. “Jadi, apa yang akan kau pilih, adik ipar tersayang?”
Wanita kejam itu melirik pria bertubuh besar yang berdiri di dekatnya, sorot matanya penuh perintah tanpa kata. Dengan anggukan singkat, pria itu bergerak cepat. Dengan ayunan tangan yang beringas, dia menghantam wajah Sakya, pengawal setia yang selama ini menemani Ravena. Sakya menatap algojo ini dengan tatapan menantang, darah merembes dari sudut bibirnya. Tanpa jeda, algojo itu mengayunkan pedangnya ke arah tangan pengawal ini. Mata Ravena membelalak saat suara tajam logam bertemu daging menggema di ruangan itu.
"AAARGH!" teriakan kesakitan membahana saat tangan Sakya terpenggal, darah menyembur liar ke lantai batu. Bau anyir memenuhi udara, mengundang rasa mual yang tak tertahankan.
Ravena menggertakkan giginya, matanya memancarkan kebencian yang menyala-nyala. "Kau! Iblis Wanita Berhati Dingin!" jeritnya, suaranya parau oleh amarah dan ketakutan.
Helena, wanita kejam itu, hanya tertawa renyah. "Hahaha ... Aku memang berhati dingin. Itulah sebabnya aku membutuhkan Darah Iblis Es dalam tubuhmu!" Mata hijaunya menyala penuh gairah, seolah ini hanyalah hiburan baginya. "Jadi, bagaimana? Masih keras kepala? Atau mungkin aku harus memotong kaki pengawalmu yang lain?" ancamnya, suaranya semanis racun.
Bagaimana keputusan Ravena? Apakah ia akan menyerahkan hidupnya sebagai ganti kehidupan tiga pengawal setianya ini?
Ravena merasakan kemarahan meledak di dadanya. "Cih! Aku tak habis pikir mengapa Kak Kevin bisa begitu jatuh cinta pada wanita sekeji dirimu!" Suaranya penuh penghinaan, tapi tubuhnya gemetar oleh ketegangan.Helena menyeringai, melangkah mendekat dengan angkuh. "Kau tak bisa menyentuhku, adik ipar ... hihihi! Jadi, buang jauh-jauh niat membunuhmu!" katanya penuh kepuasan. "Masih bersikeras? Baiklah! Potong kaki pengawal ini!""Tunggu!" Ravena akhirnya berteriak, matanya memancarkan kepasrahan bercampur kebencian. "Baiklah! Aku akan memberikan Darah Iblis Es! Tapi lepaskan mereka!" Suaranya pecah, nyaris memohon. Tiga pengawalnya telah menjadi keluarganya. Dia tak bisa membiarkan mereka mati dengan sia-sia.Helena terkekeh, lalu dengan kejam meraih tangan Ravena. Pisau peraknya bergerak cepat, memotong nadi Ravena tanpa ragu. Darah biru es menyembur keluar, mengalir ke dalam wadah yang telah disiapkan.Helena membutuhkan Ravena dalam keadaan hidup agar Darah Iblis Es yang diambilnya b
"Kevin Drakenis! Beraninya kau menampakkan wajah busukmu di sini!" serunya penuh kejijikan. "Bukannya kau telah mati, sampah!" Kevin mengeraskan tatapannya. "Helena Caraxis! Kau telah membantai keluargaku, mengorbankan adikku demi Darah Iblis Es, dan sekarang kau berdiri di sini, bertingkah seolah tak bersalah?! Kau ini manusia atau iblis, hah?!" Helena tersenyum sinis sebelum melambaikan tangannya. Beberapa pengawal Paviliun bergegas masuk, pedang mereka terhunus. "Habisi dia! Potong tubuhnya dan beri makan binatang buas!" Lima pengawal mengepung Kevin. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Namun— SRET! Kepala pengawal itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya, jatuh dan menggelinding di atas tanah. Matanya masih terbuka lebar, seolah tak percaya telah mati begitu cepat. Empat pengawal lainnya membeku, tak sempat bereaksi sebelum nasib serupa menimpa mereka. Dalam sekejap, kepala mereka juga terpenggal, darah memancar liar ke segala arah. Kevi
KRAAAK! KRAAK!Suara tulang kakinya remuk terdengar nyaring. Teriakan Helena menggema di seluruh paviliun, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Air matanya bercampur darah yang mengalir dari luka-lukanya. Namun, Kevin tidak berhenti di situ. Dengan satu gerakan cepat, ia merogoh bagian dada Helena dan merampas botol kecil berisi Darah Iblis Es yang disembunyikan perempuan itu. Mata Helena berkilat dengan kebencian yang membara. “Aku akan membunuhmu, Kevin Drakenis!” raungnya dengan napas terengah-engah. Tetapi, tubuhnya tetap tak bisa bergerak. Totokan Kevin memastikan bahwa bahkan bunuh diri pun bukanlah pilihan baginya. Kevin menatap botol itu, kemudian kembali menatap Helena yang kini sudah tidak semenarik dirinya yang dulu. Hanya sisa seorang wanita yang telah kehilangan segalanya. Tanpa berkata-kata lagi, Kevin berbalik dan melangkah pergi, membiarkan suara tangisan dan jeritan Helena menggema di dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mengembalikan kondisi Ravena yan
Helena terduduk bersandar pada dinding Paviliun Timur, napasnya memburu, tubuhnya lunglai seakan tak lagi memiliki semangat hidup. Dulu, ia adalah wanita yang memesona, penuh percaya diri, dan begitu dihormati. Namun kini, sosoknya bak bayangan masa lalu—lusuh, tak berdaya, dan kehilangan sinar kecantikannya. "Bajingan kau, Kevin! Aku harap kau mati dicincang oleh Keluarga Caraxian!" suaranya melengking, penuh amarah dan keputusasaan. Kevin, yang baru saja melangkah masuk, berhenti sejenak. Matanya menyala oleh kemarahan yang membara. Tanpa banyak bicara, ia meraih rambut panjang Helena yang sudah kusut dan menjambaknya dengan kasar. "Dasar iblis! Apa kau tidak pernah diajarkan untuk bertobat?" geramnya. Helena menjerit, kedua tangannya berusaha mencengkeram pergelangan tangan Kevin agar melepaskannya. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Namun Kevin tidak peduli. Dengan kekuatan yang tak tertahan, ia menyeret tubuh ringkih Helena keluar dari Paviliun Timur. Sepanjang perjalanan
"Kevin Drakenis, Tuan!" jawab kepala pelayan dengan suara hampir berbisik. Alfred yang duduk di samping Albert sontak terkejut. "Mana mungkin? Kevin Drakenis sudah dinyatakan tewas dalam insiden Keluarga Drakenis lima tahun lalu!" Kepala pelayan menggeleng lemah. "Ia bangkit dari kematian, Tuan... Sekarang ia bagaikan iblis yang membalaskan dendam keluarganya. Seluruh pengawal Nona Muda telah tewas di tangannya." Albert mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Bangsat! Kevin atau bukan, pria itu harus disiksa sampai mati!" BOOM! Sebuah ledakan menggelegar dari gerbang baja yang kokoh. Guncangannya membuat gelas-gelas di meja bergemerincing. Albert menoleh tajam, matanya membelalak melihat pintu gerbang baja itu terhempas jauh, menabrak dinding hingga remuk berkeping-keping. DUUARR! Dari balik kepulan asap, seorang pria muncul, menyeret sosok yang tak berdaya di tanah. Helena. Gaun putihnya sudah tercabik, tubuhnya berlumuran darah. Albert menatap putrinya yang t
Berikut adalah tingkatan kultivasi yang diterapkan oleh Kevin Drakenis ...World Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Dunia) :Qi RefineringFoundation EstablishmentCore FormationGolden CoreNascent SoulHeavenly SoulVoid RefiningBody FusionTranscendingGreat AscensionUntuk masing-masing ranah kultivasi memerlukan 9 level kultivasi untuk menerobos ranah berikutnya.Setelah ranah Great Ascension akan berada di bagian Kultivasi Immortal.Immortal Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Immortal) :Half ImmortalHuman ImmortalEarth ImmortalHeavenly ImmortalGolden ImmortalGreat Heavenly Golden ImmortalCelestial Immortal KingImmortal VenerableCelestial Immortal EmperorSetelah Ranah Celestial Immortal Emperor, maka akan berada di bagian Kultivasi Dewa.God Realm Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Dunia Dewa) :Dao VenerableDao EmperorSpiritual GodGod KingGod EmperorSemoga bisa membantu untuk pemahaman ceritanya nanti ya ...Terima kasih.
“Hentikan perbuatanmu!”Suara itu menggelegar seperti guntur yang pecah di atas kepala—keras, penuh tekanan, dan menyayat langit kelabu yang menaungi Paviliun Caraxis. Dentumannya menggema, menyusup ke dalam dada setiap orang yang mendengarnya. Gelombang energi spiritual menyapu ke arah Kevin seperti badai panas yang tak terlihat, menyambar dengan kekuatan yang cukup untuk merobohkan pohon tua dalam sekali sapuan.Tanah di bawah kaki Kevin bergetar, serpihan debu berterbangan liar seperti pasir dalam pusaran angin. Udara tiba-tiba menjadi tebal dan pengap, seolah ditimpa beban ribuan batu. Napas orang-orang yang menyaksikan menjadi berat, seperti paru-paru mereka dicekik oleh kekuatan tak kasatmata itu.Namun Kevin…Ia tetap berdiri. Tegap. Tak bergeming.Pakaiannya hanya berkibar ringan seolah hanya angin senja yang menyapunya. Tidak ada tanda keterkejutan di wajahnya. Tidak ada ketakutan. Hanya ketenangan... yang terasa jauh lebih mengerikan.Kekuatan hebat yang ditunjukkan oleh sua
Hening menyelimuti tempat itu. Angin berdesir pelan, seolah ikut menunggu jawaban dari sang pemuda yang berdiri seperti tiang baja—diam, tenang, dan penuh rahasia yang belum terungkap.Kevin mengangkat wajahnya perlahan.Tatapannya tenang—begitu tenang hingga menyerupai danau yang membeku di musim dingin terdalam. Tidak ada riak kemarahan. Tidak ada ketegangan. Hanya kedalaman yang sunyi… dan dingin yang menusuk. Bahkan badai sekalipun tak sanggup mengguncang keteguhan pandangan itu.Matanya menatap lurus ke arah Alfred, dan saat ia berbicara, suaranya terdengar rendah… tapi jelas. Seolah dunia terdiam hanya untuk mendengarkannya.“Siapa kau?” katanya. “Bahkan jika Gubernur… atau Presiden sekalipun datang ke sini, aku tidak peduli.”Kalimat itu meledak tanpa suara. Seperti kilat tanpa petir. Tapi efeknya terasa—udara seketika menjadi hening, seperti dunia menahan napas. Angin yang tadi bertiup kini berhenti. Daun-daun menggantung di udara, nyaris tak bergerak, seolah waktu sendiri mem
Siang itu, matahari menggantung tinggi di langit Nagapolis, memancarkan cahaya menyilaukan yang memantul di lantai batu halaman Paviliun Barat Caraxis. Udara panas menyelimuti setiap sudut bangunan tua yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar hitam berhias ukiran kuno. Di sudut halaman, di bawah bayang-bayang tiang tinggi, Helena tergeletak tak berdaya.Darah kering menempel di sisi pelipisnya. Kedua tangan gadis itu buntung, hanya tersisa lengan yang menggigil dalam balutan perban kasar. Kakinya tak bisa digerakkan—remuk, bengkok tak alami seperti patahan dahan setelah badai.Helena mengangkat wajahnya dengan susah payah. Rambut hitamnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah pucatnya yang dipenuhi luka dan debu. Suara langkah berat menghentikan gumaman kesakitannya. Sepatu bot hitam menginjak kerikil dengan nada dingin, pelan, dan mengancam.Sosok itu berdiri di hadapannya.Kevin Drakenis.Wajahnya yang dulu pernah ia cintai, kini tampak seperti patung batu—dingin, kejam, tak menyisakan
Matahari siang memancarkan cahaya terik di atas halaman Paviliun Barat Caraxis. Bayangan pohon-pohon tua merambat di atas batuan putih yang panas membakar telapak kaki. Udara kering seolah mengiris kulit, namun hawa paling menyengat justru datang dari tatapan Kevin yang berdiri di tengah pelataran, memandangi sosok yang tergeletak di hadapannya.Helena. Tubuhnya terkulai di atas lantai batu, napasnya tak beraturan. Gaun indahnya sobek di banyak bagian, penuh noda darah yang mulai mengering. Kedua tangannya... telah tiada. Dan kedua kakinya—patah dan remuk, tidak bisa lagi menyangga tubuhnya sendiri. Setiap gerakan kecil saja membuatnya mengerang tertahan.Namun bahkan dalam keadaan seperti itu, Helena menegakkan kepalanya, mencoba bertahan di bawah tatapan yang menusuk itu.Kevin melangkah perlahan, debu-debu beterbangan di sekitarnya. Di tangan kanannya, Pedang Dewa Ilahi berkilauan di bawah cahaya matahari. Ujungnya mencuat rendah, menyeret jejak tipis di permukaan batu."Aku tanya
Langkah-langkah Kevin Drakenis terdengar lembut di atas kerikil halaman, tapi ada sesuatu yang jauh lebih berat daripada sepatunya—beban dendam yang telah lama dipendam. Udara sore itu dingin dan penuh ketegangan, seolah angin pun menahan napasnya ketika pria itu mendekat ke arah Helena.Helena Caraxis menggeser tubuhnya mundur satu langkah, lalu satu lagi. Tubuhnya gemetar seperti daun di ujung ranting saat badai hendak datang. Matanya membesar, sorotnya bercampur takut dan bersalah, melihat sosok yang berjalan pelan menuju ke arah dirinya."Apa... apa maumu?" suaranya nyaris tak terdengar.Kevin tak langsung menjawab. Ia menyelipkan sebatang rokok berbungkus emas ke antara bibirnya—rokok khas dari Claudia Xander, aromanya tajam dan menguar harum dedaunan terbakar. Ia menyalakannya perlahan, seakan menikmati setiap detik keheningan yang menusuk.Asap rokok pertama dihembuskannya dengan lambat, melingkar seperti ular di udara, sebelum menyentuh wajah Helena yang pucat. Ia menarik bang
“BERHENTI!!”Suara itu menggelegar seperti halilintar yang memecah langit mendung. Langkah Kevin terhenti seketika. Getaran dari teriakan itu seolah memukul udara di sekitarnya, menggantungkan ketegangan yang mendebarkan.Dari balik bangunan utama paviliun, muncullah sosok Albert Caraxis. Bajunya tampak rapi dengan jubah khas pemimpin paviliun, namun matanya menyala oleh amarah yang membara. Dia berdiri di hadapan Kevin, dadanya naik turun, napasnya terdengar seperti desisan hewan buas yang sedang terluka namun belum menyerah.“Beraninya kau… menyentuh putriku…” katanya dengan suara berat, tiap katanya seolah mengguncang tanah di bawah kaki mereka.Kevin menoleh perlahan, senyuman sinis menyungging di bibirnya. Sorot matanya dingin, meremehkan, seperti menatap seekor anjing tua yang menggonggong tanpa bisa menggigit.“Akhirnya muncul juga, ya?” gumamnya. “Kupikir pengecut macam kau sudah kabur entah ke mana. Ternyata masih punya nyali juga... Ayah mertua.”Nada sarkastisnya menampar h
Udara di Paviliun Barat Caraxis begitu tegang, seolah-olah dunia menahan napas. Jejak darah yang mengering di antara batu-batu lantai menjadi saksi bisu dari tragedi barusan—Utusan Gubernur tergeletak tak bernyawa dengan kepalanya terpisah dari tubuhnya, dan jeritannya masih terngiang di dinding-dinding batu. Tapi semua itu tak membuat Helena Caraxis gentar. Meskipun tubuhnya remuk, semangatnya belum padam.Ia tergeletak di ujung halaman, tubuhnya terbungkus pakaian anggun yang kini robek dan berlumur debu. Dua kakinya terkulai tak berdaya—patah, hancur oleh tendangan Kevin Drakenis sebelumnya. Setiap gerakan kecil pun membuatnya menggertakkan gigi menahan nyeri. Namun dari matanya, masih menyala api kemarahan yang tak kalah menyakitkan."Kalian tunggu apa lagi?! Serang dia... sekarang juga!" suaranya melengking, parau, penuh amarah dan rasa malu. Ia tak peduli lagi dengan darah yang menetes dari bibirnya. Ia menunjuk ke arah Kevin dengan tangan gemetar, bukan karena takut—tapi karena
Kevin Drakenis terus melangkah mendekati Alfred Davidson, Sang Utusan Gubernur Xandaria.Namun setiap langkahnya bergema… bukan di telinga, tapi di dada, di perut, di tulang belakang. Seolah setiap gerakannya membawa gelombang energi yang berat, seperti guntur yang ditahan langit terlalu lama. Udara di sekitar mulai berubah—tekanan tak terlihat menggantung di atas kepala siapa pun yang ada di sana. Daun-daun kering yang tadinya tenang, tiba-tiba bergetar, lalu beterbangan meski angin tak berhembus.Suaranya kembali terdengar. Datar. Pelan. Tapi setiap katanya mengandung beban yang membuat tulang bergidik.“Jadi...,” katanya, suara rendahnya lebih terasa seperti desis ular yang bersiap mematuk, “kau ada hubungannya dengan kematian orang tuaku? Atau Gubernur yang berada di balik semua kejaadian yang menimpa Paviliun Drakeenis?"Alfred menelan ludah. Gerakan itu nyaris tak kentara, tapi cukup untuk memperlihatkan bahwa keyakinannya mulai retak. Sikap Kevin yang tak takut pada jabatannya
Hening menyelimuti tempat itu. Angin berdesir pelan, seolah ikut menunggu jawaban dari sang pemuda yang berdiri seperti tiang baja—diam, tenang, dan penuh rahasia yang belum terungkap.Kevin mengangkat wajahnya perlahan.Tatapannya tenang—begitu tenang hingga menyerupai danau yang membeku di musim dingin terdalam. Tidak ada riak kemarahan. Tidak ada ketegangan. Hanya kedalaman yang sunyi… dan dingin yang menusuk. Bahkan badai sekalipun tak sanggup mengguncang keteguhan pandangan itu.Matanya menatap lurus ke arah Alfred, dan saat ia berbicara, suaranya terdengar rendah… tapi jelas. Seolah dunia terdiam hanya untuk mendengarkannya.“Siapa kau?” katanya. “Bahkan jika Gubernur… atau Presiden sekalipun datang ke sini, aku tidak peduli.”Kalimat itu meledak tanpa suara. Seperti kilat tanpa petir. Tapi efeknya terasa—udara seketika menjadi hening, seperti dunia menahan napas. Angin yang tadi bertiup kini berhenti. Daun-daun menggantung di udara, nyaris tak bergerak, seolah waktu sendiri mem
“Hentikan perbuatanmu!”Suara itu menggelegar seperti guntur yang pecah di atas kepala—keras, penuh tekanan, dan menyayat langit kelabu yang menaungi Paviliun Caraxis. Dentumannya menggema, menyusup ke dalam dada setiap orang yang mendengarnya. Gelombang energi spiritual menyapu ke arah Kevin seperti badai panas yang tak terlihat, menyambar dengan kekuatan yang cukup untuk merobohkan pohon tua dalam sekali sapuan.Tanah di bawah kaki Kevin bergetar, serpihan debu berterbangan liar seperti pasir dalam pusaran angin. Udara tiba-tiba menjadi tebal dan pengap, seolah ditimpa beban ribuan batu. Napas orang-orang yang menyaksikan menjadi berat, seperti paru-paru mereka dicekik oleh kekuatan tak kasatmata itu.Namun Kevin…Ia tetap berdiri. Tegap. Tak bergeming.Pakaiannya hanya berkibar ringan seolah hanya angin senja yang menyapunya. Tidak ada tanda keterkejutan di wajahnya. Tidak ada ketakutan. Hanya ketenangan... yang terasa jauh lebih mengerikan.Kekuatan hebat yang ditunjukkan oleh sua
Berikut adalah tingkatan kultivasi yang diterapkan oleh Kevin Drakenis ...World Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Dunia) :Qi RefineringFoundation EstablishmentCore FormationGolden CoreNascent SoulHeavenly SoulVoid RefiningBody FusionTranscendingGreat AscensionUntuk masing-masing ranah kultivasi memerlukan 9 level kultivasi untuk menerobos ranah berikutnya.Setelah ranah Great Ascension akan berada di bagian Kultivasi Immortal.Immortal Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Immortal) :Half ImmortalHuman ImmortalEarth ImmortalHeavenly ImmortalGolden ImmortalGreat Heavenly Golden ImmortalCelestial Immortal KingImmortal VenerableCelestial Immortal EmperorSetelah Ranah Celestial Immortal Emperor, maka akan berada di bagian Kultivasi Dewa.God Realm Cultivation Stages (Tingkatan Kultivasi Dunia Dewa) :Dao VenerableDao EmperorSpiritual GodGod KingGod EmperorSemoga bisa membantu untuk pemahaman ceritanya nanti ya ...Terima kasih.