Bum … bum ...
Suara keras terdengar bersama dengan bumi yang bergetar kuat. Itu adalah pertarungan dua pendekar hebat yang berada puluhan kilometer jauhnya. Mereka adalah Raja Leka dari kerajaan Abhira dan raja Ravan dari kerajaan Odra. Rama tertegun dengan efek yang mereka timbulkan pada area di sekitarnya. Firasatnya tidak enak. "Raja Leka," gumamnya.Tanpa menunda lagi, dengan segenap tenaga ia berlari menuju tempat mereka bertarung. Gerakan tubuhnya sangat cepat, membuatnya tampak seperti sekelebat bayangan. Tujuannya cuma satu, untuk menyelamatkan Raja Leka.Dalam waktu singkat, pemuda itu kini hanya berjarak ratusan meter dari tempat mereka bertarung. Ia dapat melihat Raja Leka yang sedang terduduk di tanah tanpa senjata. Dari sudut bibirnya juga mengalir darah. Sementara itu, Ravan sedang berada di udara sambil mengangkat kapak, bersiap untuk menebasnya. "Pergilah ke neraka!" teriak Ravan.Rama mengerahkan seluruh tenaga sambil mengacungkan pedang ke depan tubuhnya. Ia berharap dapat menangkis kapak Ravan. "Raja Leka!"Tepat sebelum ia berhasil menghadang serangan Ravan, terdengar suara lamat-lamat memanggil namanya. "Rama ... Rama ...."tok tok tok"Bangun, Nak! Sudah siang .… " Suara ketukan pada pintu dan suara seorang wanita paruh baya terdengar sayup-sayup di telinga Rama. Itu adalah Bu Retno. Ibunya yang juga seorang guru di Sekolah Dasar. Ia sedang bersiap untuk menunaikan tugasnya. Ia heran, tak seperti biasa, seminggu terakhir putranya selalu bangun terlambat. "Iya, Buk. Sudah bangun." jawabnya pelan. Melihat jam dinding di kamarnya, ia tahu dirinya harus bergegas. Rama kemudian duduk di pinggir tempat tidurnya. "Ternyata mimpi itu lagi …." gumamnya. Ia tidak mengerti kenapa belakangan ini isi mimpinya selalu sama. Rama selalu terlibat dalam pertarungan dua sosok raja yang sangat kuat.Rama adalah pegawai baru di museum keraton Jogjakarta. Sejak enam bulan yang lalu, Sri Sultan memintanya secara langsung untuk bekerja di tempat itu. Tugasnya, selain mencatat benda-benda koleksi museum, adalah merawat dan membersihkannya pada hari tertentu. Khusus untuk hari ini ia harus mencatat benda-benda yang baru datang dari situs arkeologi di Magelang.Beberapa menit kemudian Rama telah siap untuk berangkat. Namun sebuah pesan singkat mendarat di ponselnya. "Ram, pindahkan benda-benda yang ada di ruangan Bapak ke bagian koleksi khusus, ya. Bapak sedang ada tugas di Keraton." Pesan dari Pak Syarif, ayahnya. Dia adalah seorang pegawai senior di museum. Ruang Koleksi Khusus? Setelah membaca pesan itu, entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Tak biasanya ia seperti itu. "Iya." jawabnya singkat.***Rama tiba di kompleks bangunan yang bergaya klasik. Tempat ini dulunya memang merupakan benteng pertahanan pada zaman kolonial. Museum Vredeburg, itulah namanya. Rama melewati jembatan pada sebuah parit selebar lima meter yang mengelilingi kompleks itu, memisahkan tempat ini dari area di sekitarnya. Setelah memarkir kendaraan, Rama masuk melalui gerbang depan. Sebelum menuju gedung utama, ia harus menyelesaikan tugas yang diberikan ayahnya terlebih dahulu. Ia berjalan cukup cepat menuju ruang kerja ayahnya yang terletak di pojok kiri kompleks museum. Di ruang ini, terdapat delapan patung kecil seukuran genggaman tangan orang dewasa. Bentuknya berbeda-beda. Saat Rama mengangkat dua patung dengan masing-masing tangannya, ia cukup terkejut karena bobotnya yang lumayan berat, sekitar lima belas kilo. Patung-patung itu ia bawa menuju area berpagar di pojok kanan museum. Berbeda dari bangunan-bangunan lain di kompleks museum, tempat ini memang dikelilingi pagar tinggi sehingga orang yang berada di dalam tak mungkin terlihat dari luar. Area itu juga disebut Ruang Koleksi Khusus. Selain Pak Syarif, hanya kepala museum yang boleh mengaksesnya.Rama tiba di depan pintu pagar dan bersiap mendorong gagang pintu. Namun sebelum itu, seseorang menegurnya. "Maaf, Mas, mau kemana?" Suara itu berasal dari seorang petugas keamanan yang sedang melakukan tugas keliling. Siapa pun yang mendekati tempat itu, selain Pak Syarif atau Kepala Museum tentunya, akan ia periksa.Sejak sebelum berangkat, perasaan Rama memang tidak enak. Oleh karena itu, meski cukup pelan, suara petugas itu mengagetkannya. "Saya mau meletakkan patung-patung ini, Pak. Disuruh Pak Syarif tadi." Rama menjawab secara refleks sambil menunjukkan benda-benda di tangannya. Ia juga dengan sengaja menyebutkan nama pak Syarif secara jelas karena tidak banyak yang tahu bahwa ia adalah putra dari orang paling senior nomor dua di museum itu."Oh, baiklah. Silakan kalo begitu. Tolong hati-hati ya, jangan sampai ada yang rusak, apalagi hilang!" ucapnya sambil beranjak dari tempat itu. Sesuai dengan namanya, Ruang Koleksi Khusus memang berisi benda-benda langka. Tak heran jika tiap saat petugas keamanan akan memeriksanya."Baik, Pak." Rama tersenyum sambil mengangguk ringan. Ia telah cukup lama mengenalnya. Selain sangat ramah, ia pribadi yang disiplin juga tegas.Setelah membuka pintu pagar dengan hati-hati, Rama melihat dua bangunan di hadapannya. Ia melewati halaman kecil dan menuju bangunan di sebelah kanan. Ketika tiba di depan pintu, Rama mendorongnya cukup keras. Namun pintu itu tak bergerak sedikit pun. Ia coba lagi. Sekali, dua kali. Tetap tak bergerak. Ia yakin pintu itu dikunci.'Bagaimana ini?' pikirnya. Tak ada cara lain. Rama harus menemui ayahnya untuk meminta kunci. Namun, saat ini ayahnya sedang bersama Sri Sultan. Ia masih ingat dengan aturan keraton yang melarang siapa pun, termasuk pegawai, untuk menemui Sri Sultan, kecuali karena keperluan khusus.'Yasudah, kukembalikan saja patung-patung ini ke ruangan bapak. Nanti aku akan menghubunginya lagi.' katanya dalam hati. Rama tidak sadar bahwa meski terlihat seperti pintu dorong, apa yang ada di depannya itu adalah pintu geser. Mungkin karena grogi, alasan kenapa ia tidak menyadari hal itu.Rama memutuskan untuk mengembalikan benda-benda itu ke tempat semula. Namun, sebelum sempat melangkah ia tanpa sengaja melihat pintu bangunan di sebelahnya. Pintunya tak tertutup secara sempurna. Di area berpagar itu, bangunan di sebelah kanan memang Ruang Koleksi Khusus. Tapi yang sebelah kiri? Rama tak mengetahuinya. Sebagai petugas baru, hanya dua bangunan ini yang belum pernah ia masuki. Selain akses yang sangat terbatas, ia juga tak punya informasi apa pun.Jika dilihat sekilas, bangunan di sebelah kiri memang tidak tampak berbeda. Namun jika diperhatikan lagi dengan lebih seksama, akan tampak perbedaannya. Bangunan itu menggunakan sistem ventilasi yang unik. Terdapat banyak lubang kecil seukuran biji kelereng di bagian bawah dan atas tembok yang berfungi sebagai tempat keluar masuk udara.Meski tampak ragu-ragu, Rama mendekati pintu itu. Perasaannya menjadi semakin tidak enak. Namun saat melihat pintu itu benar-benar terbuka, meski hanya sedikit, ia mencoba meyakinkan dirinya ba
Rama membuka mata. Tubuhnya tak lagi terasa sakit dan lemah. Tak ada sedikit pun juga rasa pusing di kepalanya. Saat ia perhatikan tangan kirinya, terdapat bercak merah yang telah mengering. Ia ingat. Itu karena darah dari lukanya.Rama kemudian menyentuh belakang tengkoraknya. Hatinya menjadi lega, meski juga cukup heran. Lukanya tidak hanya kering, tapi juga telah sembuh sepenuhnya. Seperti tidak pernah terjadi sebelumnya.Langit biru di atas sana sangat indah. Hembusan angin juga kerapkali menerpa tubuhnya. Ia dapat melihat dirinya sedang berbaring di sebuah padang rumput, di samping pepohonan apel yang sedang berbuah.Saat Rama menurunkan pandangannya ke bawah barulah ia merasa kaget. Seorang pemuda seusianya sedang duduk bersila sambil memperhatikan dirinya. Di samping pemuda itu terdapat sebuah keranjang yang penuh dengan berbagai buah.Rama buru-buru bangkit. "Apakah Anda yang menolong saya?"Pemuda itu hanya mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih! Saya sempat putus asa dan
Sambil berjalan, Rama berbincang-bincang dengan Rahula. Ia masih penasaran dengan tempat ini. "Rahula, kalau boleh aku tahu, dimana letak tempat ini? Di bumi manusia ataukah … di alam halus?"Ia bertanya seperti itu karena dirinya yakin, tidak mungkin ada tempat ajaib seperti itu di dunia, di belahan bumi manapun. Tidak di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Kecuali ... jika itu terletak di sebuah pulau di dunia bawah tanah atau, seperti ucapannya, di alam halus."Mmm ..." Justru Rahula yang tampak bingung. "Bumi? Maksud kamu tempat kamu berasal?" tanya dia."Benar. Tempat yang sedang kita pijak ini." jawab Rama mantap.Rahula kemudian mengerti. "Maksudku planet bumi ... Apakah kamu menganggap kita sedang berada di planet bumi?" tanya dia lagi."Hmmm!" Rama kembali mengangguk mantap. Rahula kemudian menggelengkan kepala, "Tidak! Ini tempat … maksudku planet yang berbeda." "Maksud kamu, kita berada di planet lain?" tanya Rama penasaran. "Bagaimana mungkin?" Ia belum bisa percaya denga
Setelah berjalan cukup jauh, keduanya tiba di halaman istana Indrapada. Dari tempatnya berada, Rama dapat menilai istana itu adalah bangunan paling indah yang pernah ia kunjungi selama hidupnya. Sayangnya matahari mulai terbenam. Ia tidak dapat menikmati pemandangan dengan lebih leluasa karena suasana yang semakin gelap. Ketika pandangannya tertuju ke dalam istana, Rama melihat sesuatu yang bergerak dan memancarkan cahaya. Ia penasaran karena itu tidak seperti cahaya obor atau lilin. Cahaya ini sangat terang bahkan lebih terang dari lampu di bumi. Setelah menginjakkan kakinya melewati pintu, barulah ia tahu asal cahaya itu.Secara reflek tiba-tiba Rama berhenti di tempatnya. Ia sangat terkejut dengan apa yang ia lihat. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan sosok paling sempurna yang tadi diceritakan Rahula. Tak hanya satu, ia bahkan bertemu dengan tiga dewa sekaligus. Mereka sama-sama mengeluarkan cahaya.Di pihak lain, sadar bahwa tamu mereka baru pertama kali melihat pemanda
"Rahula, bisakah kamu jelaskan apa itu energi inti?" Rama melontarkan pertanyaan itu setelah mereka meninggalkan para dewa."Energi inti adalah energi yang berada dalam tubuhmu, seperti prana atau tenaga dalam. Apa pun istilahnya. Energi ini sangat dahsyat. Jika kamu berhasil menguasainya, kamu dapat melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan manusia biasa."Rama mulai mengerti. Jika Dewa Indra meminta dirinya untuk menguasai energi ini, bukankah misinya nanti bukan misi sembarangan. Membayangkannya saja membuat hati Rama bergidik. "Sebenarnya apa yang harus kukerjakan?" Rama terdengar seperti bertanya. Padahal ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Rahula yang melihat tingkah Rama hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah lorong di samping istana. Lorong ini sangat panjang dengan banyak pintu di kanan kirinya. Rahula kemudian berhenti di pintu pertama. Setelah membukanya ia berkata kepada Rama. "Masuklah! Kau perlu mengganti pa
"Jika kamu mampu mengangkat benda itu, latihan kita selesai."Rama menoleh ke arah yang dituju Pariraka. Itu adalah sebuah kapak. Kapak pembelah kayu berukuran standar. Tidak kecil tapi tidak juga terlalu besar. Namun gagangnya cukup panjang.Melihat kapak itu, Rama jadi penasaran. 'Apa sulitnya?' batinnya. "Bolehkah aku mencobanya?" tanya Rama tanpa maksud meremehkan."Tentu saja. Silahkan!" Rama memperhatikan benda itu dari dekat. Sambil takut-takut ia menyentuh gagangnya. Ia khawatir benda itu dialiri listrik. Aman! Yakin itu hanya kapak biasa, Rama menggenggam gagangnya dan menariknya. Bukan hanya berat, kapak itu bahkan tak bergerak sedikit pun. Rama mencobanya lagi. Namun hasilnya sama saja. Tak ingin menyerah, "Sekali lagi!" ucapnya dengan nafas yang mulai tersengal-sengal. Ia menarik nafas dalam-dalam sambil mencari posisi genggaman yang paling pas. Hup! Ia kembali menariknya. Kali ini dengan sekuat tenaga. Peluh mulai bercucuran dari tubuhnya, terutama keningnya. Beberapa sa
Matahari baru saja terbit dari ufuk timur. Pagi ini langit terlihat bersih dan semilir angin terasa sejuk."Rama, perhatikan!" Itu adalah suara teriakan Pariraka yang sedang berdiri di sebuah lembah di kaki bukit. Hari ini, ia akan menunjukkan energi intinya kepada Rama. Sementara itu, Rama hanya mengangguk. Ia berada di tempat tinggi di sebuah padang rumput yang berjarak lima kilometer dari Pariraka. Rama sedang duduk berselonjor di atas batu besar. Ia sengaja memilih tempat cukup jauh atas permintaan Pariraka. Ia tidak ingin Rama terkena dampak dari kekuatannya.Pariraka terlihat mulai memejamkan mata. Lalu ia mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke udara. Sedetik kemudian tubuhnya memancarkan aura berwarna merah. Makin lama, aura tersebut terlihat semakin jelas. Tubuh Pariraka seperti sedang diselimuti oleh kobaran api. Pada tahap ini, hawa panas juga terpancar dari tubuhnya, membuat suhu udara di sekitarnya meningkat berkali lipat. Energi inti Pariraka berelemen api. Sa
Matahari baru saja terbit dari ufuk timur. Pagi ini langit terlihat bersih dan semilir angin terasa sejuk."Rama, perhatikan!" Itu adalah suara teriakan Pariraka yang sedang berdiri di sebuah lembah di kaki bukit. Hari ini, ia akan menunjukkan energi intinya kepada Rama. Sementara itu, Rama hanya mengangguk. Ia berada di tempat tinggi di sebuah padang rumput yang berjarak lima kilometer dari Pariraka. Rama sedang duduk berselonjor di atas batu besar. Ia sengaja memilih tempat cukup jauh atas permintaan Pariraka. Ia tidak ingin Rama terkena dampak dari kekuatannya.Pariraka terlihat mulai memejamkan mata. Lalu ia mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke udara. Sedetik kemudian tubuhnya memancarkan aura berwarna merah. Makin lama, aura tersebut terlihat semakin jelas. Tubuh Pariraka seperti sedang diselimuti oleh kobaran api. Pada tahap ini, hawa panas juga terpancar dari tubuhnya, membuat suhu udara di sekitarnya meningkat berkali lipat. Energi inti Pariraka berelemen api. Sa
"Jika kamu mampu mengangkat benda itu, latihan kita selesai."Rama menoleh ke arah yang dituju Pariraka. Itu adalah sebuah kapak. Kapak pembelah kayu berukuran standar. Tidak kecil tapi tidak juga terlalu besar. Namun gagangnya cukup panjang.Melihat kapak itu, Rama jadi penasaran. 'Apa sulitnya?' batinnya. "Bolehkah aku mencobanya?" tanya Rama tanpa maksud meremehkan."Tentu saja. Silahkan!" Rama memperhatikan benda itu dari dekat. Sambil takut-takut ia menyentuh gagangnya. Ia khawatir benda itu dialiri listrik. Aman! Yakin itu hanya kapak biasa, Rama menggenggam gagangnya dan menariknya. Bukan hanya berat, kapak itu bahkan tak bergerak sedikit pun. Rama mencobanya lagi. Namun hasilnya sama saja. Tak ingin menyerah, "Sekali lagi!" ucapnya dengan nafas yang mulai tersengal-sengal. Ia menarik nafas dalam-dalam sambil mencari posisi genggaman yang paling pas. Hup! Ia kembali menariknya. Kali ini dengan sekuat tenaga. Peluh mulai bercucuran dari tubuhnya, terutama keningnya. Beberapa sa
"Rahula, bisakah kamu jelaskan apa itu energi inti?" Rama melontarkan pertanyaan itu setelah mereka meninggalkan para dewa."Energi inti adalah energi yang berada dalam tubuhmu, seperti prana atau tenaga dalam. Apa pun istilahnya. Energi ini sangat dahsyat. Jika kamu berhasil menguasainya, kamu dapat melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan manusia biasa."Rama mulai mengerti. Jika Dewa Indra meminta dirinya untuk menguasai energi ini, bukankah misinya nanti bukan misi sembarangan. Membayangkannya saja membuat hati Rama bergidik. "Sebenarnya apa yang harus kukerjakan?" Rama terdengar seperti bertanya. Padahal ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Rahula yang melihat tingkah Rama hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah lorong di samping istana. Lorong ini sangat panjang dengan banyak pintu di kanan kirinya. Rahula kemudian berhenti di pintu pertama. Setelah membukanya ia berkata kepada Rama. "Masuklah! Kau perlu mengganti pa
Setelah berjalan cukup jauh, keduanya tiba di halaman istana Indrapada. Dari tempatnya berada, Rama dapat menilai istana itu adalah bangunan paling indah yang pernah ia kunjungi selama hidupnya. Sayangnya matahari mulai terbenam. Ia tidak dapat menikmati pemandangan dengan lebih leluasa karena suasana yang semakin gelap. Ketika pandangannya tertuju ke dalam istana, Rama melihat sesuatu yang bergerak dan memancarkan cahaya. Ia penasaran karena itu tidak seperti cahaya obor atau lilin. Cahaya ini sangat terang bahkan lebih terang dari lampu di bumi. Setelah menginjakkan kakinya melewati pintu, barulah ia tahu asal cahaya itu.Secara reflek tiba-tiba Rama berhenti di tempatnya. Ia sangat terkejut dengan apa yang ia lihat. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan sosok paling sempurna yang tadi diceritakan Rahula. Tak hanya satu, ia bahkan bertemu dengan tiga dewa sekaligus. Mereka sama-sama mengeluarkan cahaya.Di pihak lain, sadar bahwa tamu mereka baru pertama kali melihat pemanda
Sambil berjalan, Rama berbincang-bincang dengan Rahula. Ia masih penasaran dengan tempat ini. "Rahula, kalau boleh aku tahu, dimana letak tempat ini? Di bumi manusia ataukah … di alam halus?"Ia bertanya seperti itu karena dirinya yakin, tidak mungkin ada tempat ajaib seperti itu di dunia, di belahan bumi manapun. Tidak di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Kecuali ... jika itu terletak di sebuah pulau di dunia bawah tanah atau, seperti ucapannya, di alam halus."Mmm ..." Justru Rahula yang tampak bingung. "Bumi? Maksud kamu tempat kamu berasal?" tanya dia."Benar. Tempat yang sedang kita pijak ini." jawab Rama mantap.Rahula kemudian mengerti. "Maksudku planet bumi ... Apakah kamu menganggap kita sedang berada di planet bumi?" tanya dia lagi."Hmmm!" Rama kembali mengangguk mantap. Rahula kemudian menggelengkan kepala, "Tidak! Ini tempat … maksudku planet yang berbeda." "Maksud kamu, kita berada di planet lain?" tanya Rama penasaran. "Bagaimana mungkin?" Ia belum bisa percaya denga
Rama membuka mata. Tubuhnya tak lagi terasa sakit dan lemah. Tak ada sedikit pun juga rasa pusing di kepalanya. Saat ia perhatikan tangan kirinya, terdapat bercak merah yang telah mengering. Ia ingat. Itu karena darah dari lukanya.Rama kemudian menyentuh belakang tengkoraknya. Hatinya menjadi lega, meski juga cukup heran. Lukanya tidak hanya kering, tapi juga telah sembuh sepenuhnya. Seperti tidak pernah terjadi sebelumnya.Langit biru di atas sana sangat indah. Hembusan angin juga kerapkali menerpa tubuhnya. Ia dapat melihat dirinya sedang berbaring di sebuah padang rumput, di samping pepohonan apel yang sedang berbuah.Saat Rama menurunkan pandangannya ke bawah barulah ia merasa kaget. Seorang pemuda seusianya sedang duduk bersila sambil memperhatikan dirinya. Di samping pemuda itu terdapat sebuah keranjang yang penuh dengan berbagai buah.Rama buru-buru bangkit. "Apakah Anda yang menolong saya?"Pemuda itu hanya mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih! Saya sempat putus asa dan
Rama memutuskan untuk mengembalikan benda-benda itu ke tempat semula. Namun, sebelum sempat melangkah ia tanpa sengaja melihat pintu bangunan di sebelahnya. Pintunya tak tertutup secara sempurna. Di area berpagar itu, bangunan di sebelah kanan memang Ruang Koleksi Khusus. Tapi yang sebelah kiri? Rama tak mengetahuinya. Sebagai petugas baru, hanya dua bangunan ini yang belum pernah ia masuki. Selain akses yang sangat terbatas, ia juga tak punya informasi apa pun.Jika dilihat sekilas, bangunan di sebelah kiri memang tidak tampak berbeda. Namun jika diperhatikan lagi dengan lebih seksama, akan tampak perbedaannya. Bangunan itu menggunakan sistem ventilasi yang unik. Terdapat banyak lubang kecil seukuran biji kelereng di bagian bawah dan atas tembok yang berfungi sebagai tempat keluar masuk udara.Meski tampak ragu-ragu, Rama mendekati pintu itu. Perasaannya menjadi semakin tidak enak. Namun saat melihat pintu itu benar-benar terbuka, meski hanya sedikit, ia mencoba meyakinkan dirinya ba
Bum … bum ...Suara keras terdengar bersama dengan bumi yang bergetar kuat. Itu adalah pertarungan dua pendekar hebat yang berada puluhan kilometer jauhnya. Mereka adalah Raja Leka dari kerajaan Abhira dan raja Ravan dari kerajaan Odra. Rama tertegun dengan efek yang mereka timbulkan pada area di sekitarnya. Firasatnya tidak enak. "Raja Leka," gumamnya.Tanpa menunda lagi, dengan segenap tenaga ia berlari menuju tempat mereka bertarung. Gerakan tubuhnya sangat cepat, membuatnya tampak seperti sekelebat bayangan. Tujuannya cuma satu, untuk menyelamatkan Raja Leka.Dalam waktu singkat, pemuda itu kini hanya berjarak ratusan meter dari tempat mereka bertarung. Ia dapat melihat Raja Leka yang sedang terduduk di tanah tanpa senjata. Dari sudut bibirnya juga mengalir darah. Sementara itu, Ravan sedang berada di udara sambil mengangkat kapak, bersiap untuk menebasnya. "Pergilah ke neraka!" teriak Ravan.Rama mengerahkan seluruh tenaga sambil mengacungkan pedang ke depan tubuhnya. Ia berharap