‘’Masuk!’’Valerie menurut. Tangannya siap memegang handle mobil bagian belakang.‘’Memangnya mas supir? Duduk di depan.’’ Eh? Valerie melihat ke sekitar. Tidak enak karena biasanya Valerie duduk di depan hanya saat dalam perjalanan pulang.Tapi, melihat Leo yang berkata dingin, Valerie akhirnya menyerah.‘’Mas, kok malah ke rumah kita?’’ tanya Valerie, tersadar setelah memperhatikan jalan. ‘’Bukannya mas mau menemui…’’‘’Klien mas itu kamu,’’ ucapnya.Valerie mendesah, karena ternyata, Leo lagi-lagi menginginkan waktu bersamanya. Padahal Vania juga sedang membutuhkan sosok suami di masa-masa duka seperti ini. ‘’Mas, lebih baik turunkan saja Valerie di mall atau di manapun, asal jangan di rumah kita.’’Dunia berputar begitu cepat. Dulu, Valerie lah yang ditelantarkan oleh Leo. Sekarang? Jangan di tanya bagaimana perasaan Valerie. Merasa menjadi orang yang begitu kejam, itulah yang tengah Valerie rasakan.‘’Mas!’’Tak menggubris, Leo mengemudikan mobil ke pekarangan rumah mereka. ‘’
‘’Jangan pernah berpikir bahwa kamu merebut kebahagiaan Vania.’’‘’Tapi memang begitu kenyataannya.’’ ‘’Anak kita akan membuat Vania bahagia. Dia separuh mas dan juga separuh dirimu. Kamu terlibat di dalamnya, Sayang.’’Valerie tidak tau harus berkata apa lagi. Kesedihan tidak bisa ditutupi meski Leo berusaha menguatkannya. Karena dalam kenyataan, dirinya memang telah menjadi duri dalam daging. ‘’Kita tidak memilih hubungan rumit ini. Tapi keadaanlah yang membuat kita harus menjalaninya.’’Leo menggenggam erat tangan Valerie. Tujuannya keluar rumah memang untuk menenangkan sang istri.‘’Mas mencintai Vania, mencintaimu, juga anak kita. Kuatlah demi darah daging yang belum lahir ke dunia.’’‘’Aku takut, Mas. Aku takut… bila… nantinya semua tidak berjalan seperti yang kamu rencanakan.’’ Tangis Valerie kembali pecah.‘’Jika kamu memang mencintai mas seperti yang kamu katakan, maka turutilah perkataan mas,’’ ucap Leo bersungguh-sungguh.Valerie terdiam memandangi Leo.‘’Kamu mengerti?
‘’Mas, teman-teman Mbak Van pasti berbicara macam-macam. Bagaimana kita menghadapinya di rumah?’’Tak henti-henti Valerie mengganggu konsentrasi Leo yang sedang menyetir.‘’Lihat, sekarang Mbak Van menelepon,’’ ujar Valerie melihat ponselnya yang berdering.‘’Jangan diangkat. Biarkan saja.’’Berbeda dengan Valerie, Leo terlihat santai dan sangat biasa.‘’Pelayan itu, pasti akan memberitahu Mbak Van kalau kita berfoto dengan pose layaknya suami istri.’’Valerie benar-benar menyesal telah meminta Leo mencium perutnya tadi.Ponsel yang tak henti-hentinya berdering kian meluluh lantakkan ketenangan Valerie. Vania pasti akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Padahal Valerie juga memiliki hak yang sama untuk tinggal di rumah keluarga Mahendra. Namun, Valerie jadi sangat takut untuk pulang ke rumah. Terlebih saat melihat Vania sudah berada di halaman, ketika mobil Leo melewati gerbang. ‘’Mas!’’‘’Jangan panik.’’Mudah berucap, tapi sulit Valerie jalankan. Mungkin ia sudah sering b
‘’Mas tidak memanfaatkan, itu hanya kebetulan.’’‘’Tidak selamanya bau busuk tidak tercium, Mas. Bisa saja ada yang melihat,’’ ucap Valerie.Kekhawatirannya ini benar-benar berdasar. Di meja makan mungkin semua orang akan teralihkan. Tapi di sisi lain, ada Pak Sena dan Inah.‘’Iya, mas tau.’’‘’Termasuk sekarang. Sebaiknya mas jangan terlalu sering datang ke kamar Valerie.’’‘’Kenapa?’’‘’Valerie takut kepergok dan kita ketahuan.’’Valerie membalikkan tubuhnya menghadap Leo. Laki-laki itu, menyingkirkan helaian rambut ke belakang telinga Valerie.Wajah bersih, putih tanpa noda itu miliknya.Leo tidak tau mengapa saat ini dirinya lebih senang berada bersama Valerie dan merasa resah bila berjauhan.Padahal, Valerie adalah orang baru di kehidupannya.‘’Tidak akan.’’‘’Pintu kamar memang dikunci, tapi, saat mas menyelinap masuk kemari? Walau belum terjadi, bisa saja mama atau Vania yang memergoki,’’ wajah Valerie kian khawatir. Mungkin, sekarang mereka berada di dalam zona aman untuk ber
Leo kembali ke kamar saat waktu tepat menunjukkan pukul lima tiga puluh. Vania masih pulas di bawah selimut. Sesekali Leo tersenyum ketika Vania menggeliat. Ketika membelai kepala Vania, Leo sudah bersandar di kepala ranjang.Wanita yang dijuluki sebagai nyonya kedua di rumah Mahendra itu, begitu cantik, meski dalam kondisi tidur maupun terbangun.Maafkan aku, Sayang. Telah mengkhianati kepercayaan dan juga pernikahan kita.Leo tidak bisa membayangkan, akan sehancur apa Vania bila tau bahwa ia telah beristri lagi. Dan, anak yang akan diadopsi, merupakan anak hasil hubungan gelapnya dengan Valerie.Leo mengecup kening Vania, meredakan hati yang tengah dilumuri oleh derita.Vania. Mas tidak bisa kehilanganmu.‘’Mas?’’ Bangun dalam kebingungan, karena sudah tak terhitung berapa pagi yang dilewati Vania tanpa kebiasaan Leo seperti ini, dan itu membuatnya sangat senang.‘’Hm?’’ Vania tersenyum namun hati Leo berdesir pilu. ‘’Mas, peluk,’’ rengek Vania.Leo membuka kedua tangannya lebar,
‘’Tidak ada manusia yang sempurna. Kita menikah untuk saling melengkapi.’’Leo mengusap lembut ujung mata Vania dengan ibu jarinya.‘’Aku tau, Mas. Tapi bagaimana bisa melengkapi kalau masalahnya ada di aku,’’ ucapnya yang lagi-lagi mengundang rasa iba di diri Leo.‘’Dokter sudah memvonis. Seakan-akan rahimku ini sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki,’’ lirihnya pilu.Leo kembali menarik Vania ke pelukan. Meluapkan rasa cinta yang telah terbagi.Penderitaan Vania ini, semakin meyakinkan Leo bahwa memberikan anak Valerie pada Vania adalah keputusan yang tepat. Vania berhak memiliki keturunan, sekalipun itu dari rahim orang lain.Tapi, jangan sampai Vania tahu jika anak mereka nanti memanglah darah dagingnya.‘’Sayang, kamu mau coba promil ke dokter?’’ Leo ingin Vania memiliki semangat hidup. Vonis dokter tidak bisa mengalahkan kuasa Tuhan. Bila yang di atas berkehendak, maka Vania bisa hamil.‘’Aku takut, Mas. Aku takut kecewa,’’ ucapnya tak ingin berharap lebih.‘’Setidaknya sudah m
‘’Mas, berhenti di apotik dulu. Valerie mau beli vitamin.’’Leo langsug menepikan mobil. Bergegas melepas seat belt dan juga berniat untuk turun.‘’Biar Valerie aja. Gak lama kok,’’ ucapnya sambil tersenyum.Suara lembut Valerie menghipnotis Leo dan membuatnya mengangguk tanpa kata.Saat tengah mengantri untuk membayar, Valerie tak sengaja berjumpa dengan Melati. Ibu dari Nathan yang langsung mengenali Valerie.‘’Nak, sedang beli apa?’’ tegurnya.‘’Vitamin, Bu.’’ Valerie tersenyum, namun sangat terlihat tidak nyaman dengan kehadiran Melati.‘’Totalnya lima ratus tujuh belas ribu,’’ ujar si kasir pada Valerie.‘’Vitamin hamil?’’ Melati memperhatikan jar berwarna pink itu dengan jelas, diikuti dengan memandangi perut Valerie yang membesar.‘’Bu, saya duluan, ya. Permisi.’’ Valerie berjalan secepatnya, menghindari Melati. Namun sayangnya wanita itu mengejar dan turut mensejajarkan langkah.‘’Kamu sudah menikah, Valerie?’’ Bukan tanpa alasan Melati tiba-tiba bertanya. Sebab, Nathan masi
‘’Nathan, aku ingin kamu jawab jujur.’’Baru saja Nathan sampai dan ingin memeluk, Valerie malah langsung menyuguhkan pernyataan.‘’Tentang apa, Val?’’‘’Waktu aku berteduh di rumahmu dan aku tertidur setelah meminum minuman yang kamu berikan, apa kamu melakukan sesuatu padaku?’’ Terus terang, Valerie benar-benar tidak ingat apapun selain terbangun dengan kepala pusing. ‘’Kenapa kamu bicara seperti itu?’’ selidik Nathan.‘’Kemarin aku bertemu dengan ibumu. Dan beliau menceritakan tentang cctv.’’Nathan menepuk jidat. Mengerti akan kekhawatiran Valerie.‘’Aku memang keluar dalam keadaan menggunakan handuk saja. Tapi, tidak ada yang terjadi antara kita, Val. Kamu tau sendiri kan kalau aku tidak pernah menyentuhmu.’’Valerie menghela napas lega. ‘’Tapi ibumu salah sangka. Mengira anak ini adalah anak kamu, Nath.’’Perut membesar Valerie seakan mengoyak perasaan Nathan. Harusnya, anak yang dikandung Valerie adalah anaknya.‘’Aku akan jelaskan pada mama. Jadi jangan khawatir.’’Valerie bi
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu