‘’Huweekkk…’’‘’Huwekkkk…’’Suara dari luar mengganggu Vira yang terbangun di jam lima pagi. Kala Vira sampai di balkon lantai dua, cahaya dari dapur menjadi satu-satu penerangan yang hidup di saat lampu di dalam rumah dalam keadaan mati semua. Sosok Valerie tengah bersimpuh sambil memegangi bak sampah, mendorong nuraninya sebagai ibu untuk menghampiri si anak bungsu. ‘’Mas, sana. Ini bau,’’ kata Valerie sebelum kembali memuntahkan isi perutnya.Kening Vira bergaris-garis. ‘’Mas?’’ Mengira bahwa Valerie tengah sendirian, ternyata Valerie bersama seseorang.Pemandangan Leo tengah memegangi rambut sambil mengusap punggung Valerie adalah hal yang begitu rancu di mata Vira.‘’Ada apa ini?’’Terkejut? Jelas? Jantung Leo bahkan terasa sakit karena Vira yang tiba-tiba sudah berada di lantai satu.‘’Leo mau ambil minum, Ma. Tapi gak sengaja ketemu Valerie di sini,’’ Leo menjelaskan. Sangat tenang seolah-olah begitulah kejadian yang sebenarnya.Ekspresi menyelidik Vira mencair seketika. Wa
‘’Mas.’’ ‘’Ada apa? Masih kurang?’’ Kalau betul itu yang diinginkan Valerie, mau tak mau Leo harus memanjat lagi. Tapi sepertinya bukan tambahan pepaya yang Valerie mau. Melihat Valerie tiba-tiba memegangi perut, kemudian beralih ke mulut, membuat Leo sangat cemas. Di mana selanjutnya Valerie bersimpuh di lantai seraya memegangi bak sampah. Astaga. ‘’Huwekk…’’ ‘’Val, kenapa?’’ Leo memindai keadaan rumah, khawatir jika seseorang terbangun. Tapi tak dipungkiri bila seseorang akan datang. Baik itu cepat atau lambat. Tapi itu belakangan. Leo akan mengurusnya nanti karena Valerie lebih membutuhkannya saat ini. ‘’Huwekkk…’’ ‘’Mas ambilin minyak angin?’’ Valerie melambai tak mau. Leo bingung harus bagaimana untuk menghentikan Valerie yang terus saja muntah-muntah. Keheningan bila dipadukan dengan suara berisik setitik saja, maka bisa membangunkan seisi rumah. Vania juga hamil. Tapi tak sekalipun Leo pernah melihat Vania begini. Tanda tanya besar menyelimuti pikiran Leo yang baru
Tidak butuh waktu lama untuk mencapai pusat perbelanjaan. Inah mendorong troly di belakang Valerie dan Vira. Etalase lauk dan perdagingan menjadi tempat persinggahan pertama. Vira mengambil cumi-cumi dan udang. Sedangkan Inah memilih Ikan segar. Sekarang tak hanya Valerie saja yang kecanduan menu seafood. Tapi juga semua orang di rumah. ‘’Ma, Valerie ke area buah-buahan,’’ Karena tak tahan dengan bau amis. ‘’Mau Inah temenin, Non?’’ ‘’Gak usah. Kamu di sini aja temenin mama.’’ Inah mengangguk bertepatan dengan ponsel di tas Valerie yang berdering. Leo menelepon seperti tau bahwa Valerie sedang sendirian. ‘’Ya, Mas? Kenapa?’’ sahut Valerie pelan sambil cepat-cepat menjauh dari Inah dan Vira. ‘’Mas rindu.’’ Degh. Padahal baru berjumpa di rumah. ‘’Mas ke sana, ya?’’ Valerie menghembuskan napas berat. Tapi Valerie tak menampik bila kata-kata Leo membuatnya senyum-senyum sendiri. ‘’Tidak bisa, Mas. Ada mama.’’ Menoleh ke belakang pada dua orang yang kini berpindah ke tempat per
‘’Sampai kapan kau akan menghindariku, Valerie? Pada akhirnya kita akan hidup bersama hingga dunia berhenti berputar.’’Jantung Valerie bergemuruh membaca pesan Nathan. ‘’Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Nak?’’ Vira menyadari gestur aneh Valerie. Selain terlihat gelisah, napas Valerie juga memburu tak teratur. ‘’Ingatkah kau tentang janji kita?’’Degh. Pesan Nathan kembali menyentil ketenangan Valerie.‘’Val, kamu kenapa sih?’’Valerie melirik Vira sejenak. Mereka sudah dalam perjalanan pulang dan duduk bersebelahan di dalam mobil.‘’Enggak, Ma. Valerie tadi kayaknya salah ngambil pepaya. Sepertinya yang diambil belum terlalu matang.’’‘’Mati Inah. Pasti Non Vania nanti marah-marah,’’ sungutnya di kursi belakang.Vira tertawa lalu membelai wajah manis Valerie.‘’Kamu kok parno banget sih sama Vania? Padahal kalian lahir dari rahim yang sama. Tapi sifat kalian sangat berbeda. Jangan khawatir, nanti biar mama bilang pepayanya udah mama makan.’’‘’Hhuh, selamat Inah. Nyonya Vir
Mobil Leo sampai di depan gerbang. Cukup lama Leo dan Rendi yang berniat ingin menyapa sang adik ipar, Vania, berada di luar. Tidak biasanya Pak Sena lambat membukakan pintu besi itu bila Leo telah membunyikan klakson. Satu pintu gerbang memang sudah terbuka lebar. Tapi mobil Leo hanya bisa masuk bila dua daun pintunya terbuka. Jadi Leo putuskan untuk menunggu, sambil menatap hujan deras yang membasahi mobilnya kini. Mungkin Pak Sena sedang mengambil payung, pikirnya. Sedangkan Rendi, asik menikmati jutaan bulir tetesan air yang membuat udara terasa dingin.‘’Leo, kayaknya aku gak jadi kenalan sama adiknya Vania,’’ Tiba-tiba saja Rendi berkata.Dari awal Leo memang tidak menyukai nama Valerie dibawa-bawa. Tak Leo sangka ternyata Rendi sempat memiliki keseriusan terhadap istri keduanya. Tapi syukurlah Rendi sudah berubah pikiran.‘’Kan sudah ku bilang bahwa aku tidak mau adik iparku jadi kakak iparku,’’ jawab Leo sambil tertawa.‘’Ya ngapain, orang ternyata sudah punya kekasih,’’ Masi
‘’Mas, pelan-pelan…’’ Valerie meringis merasakan kuatnya remasan Leo. ‘’Sakit, ya? Kalau dibeginikan sakit tidak?’’ Mencecap seluruh permukaan yang membesar dengan penuh nafsu. Valerie menggeleng. Tak lama mendesah, menikmati. ‘’Mas…’’ Tapi selanjutnya, ‘’Nyeri, Mas,’’ Valerie meringis lagi. Melihat betapa menggodanya istri sirinya itu, Leo mengecup bibir Valerie, basah dan panas. Sementara tangannya bergerilya di bawah sana. Rasanya Valerie ingin menjerit saat ciuman Leo turun ke leher. ‘’Mas…’’ Beginikah rasanya dicumbu Leo? Inikah yang dirasakan Vania saat ia mendengarnya dari kamar sebelah? ‘’Val, balas ciuman mas.’’ Valerie menggeleng malu. Meski sedikit kecewa, tapi tetap tak menghentikannya menyerang Valerie. ‘’Naikkan kakimu di pinggang,’’ perintah Leo. Valerie manut. Leo mencengkram bokongnya. Valerie mengalungkan tangan di leher Leo agar tidak jatuh. Keduanya larut dalam suasana pagi hari yang cerah. Maklum saja, semalam Leo tak bisa memberi jatah pada Vania kare
Malam hari nan tenang, Leo sulit untuk terpejam. Usaha menggulingkan tubuh ke kanan dan ke kiri pun tetap tak membuat kantuk datang. Apa karena kejadian tadi pagi? Leo memandangi langit-langit sesaat sebelum menoleh pada Vania. Hasrat ini tak bisa dilakukan dengan orang yang berbeda. Leo ingin menuntaskannya dengan orang yang sama. Yaitu Valerie. Desahan istri muda terngiang-ngiang di telinga. ‘’Sial,’’ gumam Leo mengacak rambut, frustasi. ‘’Mas, kamu kenapa dari tadi uring–uringan?’’ Vania setengah mengantuk mengatakannya. Leo membuatnya terbangun. ‘’Tidak apa-apa, Sayang. Aku hanya haus.’’ ‘’Aku ambilin minum, ya?’’ ‘’Tidak perlu. Tidurlah lagi, Sayangku.’’ Kecupan di kening kembali mengantarkan Vania ke alam mimpi. Ia turunkan kaki ke lantai, mencari sendal untuk dipakai. Ketika keluar, dilihatnya tempias lampu dapur dari atas. ‘’Apa Inah belum tidur jam segini?’’ Tetap ia ayunkan kaki menuruni tangga. Dan dijumpainya Valerie sedang makan mie seorang sendiri. ‘’Sedang ap
‘’Loh kok?’’ Sementara Valerie terdiam dalam kegugupan, Inah menggaruk kepalanya heran.Jadi dengan cara inilah hubungan mereka terungkap? Valerie tak bergeming. Memasrahkan diri tertangkap basah di saat Inah sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar seperti orang kebingungan. ‘’Non Valerie ngapain sendiri di sini gelap-gelap?’’Sendiri? Pertanyaan yang diucapkan Inah membuat Valerie memutar tubuh secepat kilat, mengira akan mendapati Leo di belakangnya. Tapi ternyata? Mas? ‘’Aku gak mungkin sama Mbak Vania kan, Nah.’’ Ekspresi memang terlihat biasa, namun dalam dirinya, ada gunung es bernama ketakutan yang sekarang telah mencair perlahan. Rasanya begitu lega, juga sekaligus merasa dicampakkan karena Leo menghilang entah kemana.Seperti biasa, Inah tersenyum lebar. ‘’Tapi, tadi saya lihat bayangannya ada loh, Non. Satunya laki-laki. Makanya tak kirain Non Vania sama Tuan Leo.’’Valerie tersenyum getir. Kalau saja Inah tau bahwa tadi memang ada Leo di sini, mungkin keterkejutan Inah
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu