‘’Loh kok?’’ Sementara Valerie terdiam dalam kegugupan, Inah menggaruk kepalanya heran.Jadi dengan cara inilah hubungan mereka terungkap? Valerie tak bergeming. Memasrahkan diri tertangkap basah di saat Inah sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar seperti orang kebingungan. ‘’Non Valerie ngapain sendiri di sini gelap-gelap?’’Sendiri? Pertanyaan yang diucapkan Inah membuat Valerie memutar tubuh secepat kilat, mengira akan mendapati Leo di belakangnya. Tapi ternyata? Mas? ‘’Aku gak mungkin sama Mbak Vania kan, Nah.’’ Ekspresi memang terlihat biasa, namun dalam dirinya, ada gunung es bernama ketakutan yang sekarang telah mencair perlahan. Rasanya begitu lega, juga sekaligus merasa dicampakkan karena Leo menghilang entah kemana.Seperti biasa, Inah tersenyum lebar. ‘’Tapi, tadi saya lihat bayangannya ada loh, Non. Satunya laki-laki. Makanya tak kirain Non Vania sama Tuan Leo.’’Valerie tersenyum getir. Kalau saja Inah tau bahwa tadi memang ada Leo di sini, mungkin keterkejutan Inah
‘’Mama, Valerie mau pergi sebentar,’’ ijinnya pada Vira. ‘’Pulangnya jangan malam-malam ya, Nak. Mama petikin mangga muda untuk dibuat rujak buat kamu dan Vania.’’ Puluhan buah berkulit hijau terlihat memenuhi meja ketika Valerie menghampiri Vira dan Inah di dapur. Valerie bisa merasakan bibirnya berair karena sudah membayangkan seperti apa rasanya. ‘’Non Valerie suka yang pedas gak?’’ tanya Inah dengan kesibukan mengupas kulit mangga. ‘’Suka, Nah. Tapi, Mbak Van kan gak terlalu suka pedas.’’ ‘’Tenang aja. Khusus Non Valerie, Inah akan pisahkan.’’ Wanita itu tersenyum sembari memberikan dua jempolnya yang membuat Valerie tertawa. ‘’Ngomong-ngomong, kenapa gak pergi bareng sama kakak iparmu saja, Nak? Tadi, kata Vania, Leo mau pergi untuk urusan bisnis.’’ Apa Mas Leo akan membawa Vania juga? Pikiran Valerie langsung mengawang kemana-mana. ‘’Hus, kamu kok melamun sih?’’ tegur Vira melihat Valerie yang tiba-tiba terdiam. ‘’Ah, enggak, Ma. Valerie naik taksi saja,’’ jawabnya yaki
Selama beberapa detik, Valerie masih bisa mendengar nada mengganggu itu terus memanggil Leo. Kamu pasti akan mengangkatnya kan, Mas? Gerakan di atas spring bed seperti mempertegas dugaannya. Laksana pisau yang siap menusuk Valerie. Sesungguhnya ia tak mampu dengan gangguan Vania, lagi dan lagi. Waktu yang diluangkan Leo untuk membahagiakannya bagai dirampas begitu saja.Ternyata benar apa kata orang, istri kedua hanya bisa menerima. ‘’Sayang, kenapa diam saja?’’ tanya Leo sambil memeluknya dari belakang. ‘’Kenapa tidak diangkat, Mas?’’ Valerie balik bertanya. Menganggap bahwa panggilan Vania lebih penting dibandingkan dirinya. Bukankah memang seperti itu kenyataannya? Vania selalu yang diutamakan di hati siapapun. Tidak orang tuanya, tidak juga suaminya.‘’Hari ini mas mau menghabiskan waktu sama kamu. Jadi tidak boleh ada yang mengganggu.’’ Berpikir akan mendapatkan luka, ternyata Valerie malah tersenyum bahagia. Ia berbalik dan terdorong untuk memeluk Leo saat itu juga.Mas, t
‘’Ma, sekarang Valerie akan les di luar, setiap hari,’’ ucap Valerie saat menemukan Vira sedang berkebun di halama belakang.‘’Kamu masih ingin melanjutkan kuliah, Val?’’ Vira langsung memahami. Saat mendiang Mahendra masih ada, Valerie pernah mengatakan untuk melakukan les demi persiapan masuk ke perguruan tinggi. ‘’Iya, Ma,’’ jawabnya. ‘’Ya sudah. Tapi hati-hati, ya.’’Alam seperti merestui kebohongan Valerie. Tentu dia tak akan pergi ke tempat les tersebut. Valerie hanya mencari alasan agar Vira tidak mencari-cari keberadaannya bila sedang tidak di rumah.‘’Semoga cita-citamu menjadi dokter tercapai ya, Nak,’’ imbuh Vira kemudian.Valerie tersadarkan akan kata-kata sang ibu.Benar. Valerie masih memiliki cita-cita yang belum digapai. Tentu. Valerie akan mewujudkannya bila urusannya dengan Leo telah selesai. ‘’Iya, Ma. Terimakasih.’’***Di rumah yang hanya dikunjungi di waktu-waktu tertentu itu, Leo selalu datang di jam makan siang. Menikmati masakan Valerie yang awalnya terasa
‘’Sayang, maaf ya akhir-akhir ini aku gak perhatian sama kamu,’’ Vania memeluk Leo dari belakang. ‘’Badan kamu jadi lebih kurus. Karena itu aku bawain kamu makan siang dari rumah.’’Leo buru-buru menghapus pesan yang ia kirim pada Valerie sebelum berbalik.‘’Tidak apa-apa.’’ Hanya sebentar Leo membalas pelukan Vania. Setelah itu, mengajak Vania duduk berhadap-hadapan.‘’Aku bawain makanan kesukaan kamu, Mas. Ada seafood.’’ Rantang-rantang disusun rapi di depan Leo. Vania perhatikan, gurat di wajah Leo seperti tak tertarik dengan masakannya.‘’Aku yang masak loh,’’ sambungnya mengharapkan Leo merubah ekspresi itu. Tapi yang didapat hanya sebuah senyum tipis. Leo terlihat tak terkejut. Padahal memasak adalah sesuatu yang sangat jarang Vania lakukan. Sejak mulai bekerja, Leo sudah jarang makan banyak. Dan bukan itu saja, Leo jarang sekali mau diajak berhubungan. Lelah menjadi alasan Leo untuk tidak melakukannya.Di tengah malam, kadang Vania terbangun hanya untuk memandangi suaminya ya
Saat matahari mulai menampakkan cahayanya, membuat Vania terbangun dari tidur lelapnya. Ia pandangi Leo yang masih terjaga di alam mimpi. Urung ia bangunkan karena Leo terlihat sangat lelah sekali.‘’Selamat pagi, Sayang,’’ Kecupan yang ia sematkan di pipi Leo menjadi awal kesibukan Vania pagi itu.Mulai dari menyiapkan pakaian Leo untuk ke kantor hingga membuatkan teh hangat kesukaan sang suami.Kebetulan di mana Vania tak sengaja berpapasan dengan Valerie di dapur, menyadarkan Vania bila kehamilan berandil besar pada perubahan bentuk tubuh adiknya. Selain pinggang melebar, dada Valerie juga begitu montok.Bila mengulas kembali, Vania tidak mengalami morning sickness, juga gejala-gejala pertanda adanya janin di dalam rahim selain perutnya yang membesar. ‘’Kenapa melamun? Kamu sakit?’’ Kata-kata Leo menyadarkannya. Akan nasi goreng yang belum ia sentuh sejak duduk di meja makan.‘’Ah, enggak, Mas,’’ kilahnya dengan menyumpalkan makanan ke dalam mulut. ‘’Hari ini mami sama papi mau
‘’Mas, kamu ngapain ke sini?’’ Kaget karena Leo sudah duduk di atas tempat tidur saat dia masuk.Krek.‘’Bukannya mengusir, tapi malah mengunci pintu,’’ goda Leo menghampiri Valerie.‘’Gak lucu kan kalau kita ketahuan di saat ada orang tuamu di sini, Mas?’’‘’Mereka juga mertuamu, Sayang.’’Oh, iya. Sekalipun memang begitu, mereka tidak akan menganggap Valerie sebagai menantu. Istri simpanan tidak akan pernah bisa diterima keluarga suami.Lagi pula, Nyonya dan Tuan Arka tidak akan tau kalau mereka memiliki menantu lain. ‘’Nanti malam jangan begadang. Hari ini mas gak bisa kunjungin.’’ Valerie menghirup udara dalam-dalam, merasakan tangan Leo di pinggang. Valerie akan merindukan sentuhan Leo untuk sementara waktu.Bagi madu sepertinya, kunjungan singkat seperti ini sangat-sangat berharga.‘’Iya, Mas,’’ ucap Valerie, mencoba bersabar. Keluarga Leo tidak akan lama berada di Jakarta, bukan? Leo pasti akan mengunjunginya lagi. Seperti biasanya. Dalam keheningan malam atau di dalam saran
‘’Astaga. Itu bukannya Vania?’’ Delia menelusupkan kepala dari celah pintu, lalu menutupnya lagi. Beruntung, Delia sempat melihat dan bertindak cepat dengan menjauhkan Valerie dari koridor. Sudah jelas itu kakaknya. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. ‘’Kamu akan menikahi anggota keluarga Arka?’’ tanya Valerie, cemas. ‘’Arka siapa, sih? Keluarga Leo? Enggak lah,’’ Delia berbaring tanpa menggubris wajah penasaran Valerie. ‘’Beritahu aku siapa nama laki-laki itu,’’ cecar Valerie sembari menyusul ke atas kasur. ‘’Namanya Rendi.’’ Valerie mengusap wajah, kaget dengan situasi rumit ini. ‘’Kamu kenapa, sih? Kamu kenal?’’ Selidiknya melihat tingkah aneh Valerie. ‘’Apa jangan-jangan orang yang perkosa kamu itu Rendi?’’ ‘’Lihat ini!’’ Saat Valerie menunjukkan foto pernikahan Vania dan Leo, rahang Delia langsung mengatup. ‘’Ya ampun, Val.’’ Sepanjang menjelaskan, Valerie dan Delia sama-sama dikagetkan dengan rahasia yang keduanya sembunyikan. Valerie bercerita dan tak lagi menyimpan
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu