‘’Papi, kok lagi-lagi malah ketawa?’’ Ryan kembali bertanya.‘’Ryan sayang, sudah main sana,’’ usir Valerie geram.‘’Tapi, Mi, Ryan kan mau tau.’’ Kini Ryan memasang wajah cemberut dengan bibir mencebik. ‘’Mami curang bagi susunya sama papi saja. Nanti Ryan bilangin oma kalau mami pelit.’’‘’Jangan!’’Leo lagi-lagi tertawa karena ekspresi spontan Valerie.‘’Loh kenapa? Pokoknya nanti Ryan bilang oma. Ryan juga akan bilang juga ke Opa, ke Om Rendi, Tante Alin, Tante Delia, Mama Lili, Papa Nathan…’’‘’Ryan, cukup!’’Tak habis pikir Valerie pada putranya ini. Valerie memahami bila Ryan banyak disayang oleh banyak orang. Terutama oleh orang-orang yang disebutkan barusan. Tapi, Ryan akan membuat dirinya malu jika benar-benar mengadu.‘’Kalau mami larang Ryan untuk melapor, berarti mami juga harus bagi Ryan susu yang dikasih ke papi. Oke?’’ Astaga anak ini.Valerie benar-benar dibuat lelah oleh tingkah Ryan.Tidak mungkin menjelaskan bahwa susu yang dimiliki Valerie berbeda dengan yang bia
‘’Lagi ceritain apa, sih? Kok kayaknya seru sekali?’’ Raffi dan Rico menyerbu Alin begitu melihat ibu mereka datang membawa senampan kentang goreng.‘’Cerita tentang mami papinya Ryan, Mi,’’ jawab Raffi.‘’Katanya Ryan, Tante Valerie sekarang jadi pelit,’’ tukas Rico.‘’Oh, ya? Pelit gimana?’’ tanya Alin penasaran. Seketika beralih menatap Ryan.‘’Mami nggak mau bagi Ryan minuman, Tan.’’‘’Minuman?’’ Kening Alin berkerut. Alin yang paling tau betapa Valerie menyayangi Ryan. Sehingga sulit percaya penuturan bocah tampan di antara kedua anak kembarnya ini. Sebab, jangankan minuman, nyawa pun akan Valerie berikan. ‘’Cucu-cucu oma lagi di sini rupanya.’’ Naya langsung duduk di sebelah Alin. Mencari ketiga cucunya kesana-kemari, ternyata malah ada di ruang tv.‘’Lin, kok kamu lihatin Ryan seperti itu?’’ Niatnya ingin mengomentari si kembar karena lahap mengunyah cemilan, Naya malah teralihkan setelah menoleh ke menantunya.‘’Itu, Mi. Kata Ryan…’’‘’Mami pelit, Oma. Mami nggak mau kasih
BRAK! Pintu dibanting dengan sangat keras. Bukan Ryan pelakunya. Melainkan Rendi. ‘’Astaga, Mas!’’ Valeri menoleh pada Leo dengan wajah khawatir. Sejurus kemudian menyembunyikan diri di bawah selimut. Sungguh memalukan sekali. Tertangkap basah oleh seluruh keluarga di rumah. Meski tubuh tertutup selimut ketika Leo berada di atasnya, namun Valerie benar-benar malu. ‘’Telat, Sayang. Seharusnya kamu menutup muka ketika pintu terbuka. Sekarang pintu sudah ditutup kamu malah sembunyi.’’ Leo tertawa karena tak habis pikir dengan reaksi Valerie. Seketika membuka selimut untuk memarahi Leo karena lupa mengunci pintu. Namun yang ingin dimarahi malah tersenyum lebar. ‘’Mas, kamu nyebelin banget sih!’’ ‘’Walau nyebelin, tapi sayang, kan?’’ ‘’Mas!’’ Tawa Leo kembali meledak. Valerie sangat lucu ketika malu. ‘’Kayaknya aku udah gak punya muka buat keluar dari kamar ini,’’ lirih Valerie. ‘’Pakai topeng saja kalau begitu. Mau mas belikan? Pilih saja mau yang bentuknya seperti apa.’’ Lag
Shower sudah menyala. Bathub sudah terisi penuh. Dan Leo pun sudah siap menerkam Valerie lagi. Andai Leo tidak mandul, Valerie yakin mereka sudah memiliki banyak anak sekarang. Sebab Leo rajin sekali membuatnya.‘’Sayang, kamu semakin cantik saja.’’Leo berkata setelah melumat habis bibir Valerie. Hanya mampu membalas dengan mengukir senyum karena Valerie ingin kegiatan mereka cepat berakhir. Bila menanggapi, Leo pasti akan berlama-lama.‘’Akh…’’Valerie mendesah saat Leo mengecup basah lehernya. Umur pernikahan sudah menginjak angka delapan, namun Leo tidak ada bosan-bosannya menggauli Valerie hampir setiap hari.‘’Mas…’’‘’Ya, Sayang.’’Mendengar lirihnya suara sang istri, Leo pun melakukannya perlahan. Menggoda Valerie lewat sentuhan-sentuhan nakal. Melupakan makan malam di mana anggota keluarga sudah menunggu mereka. ‘’Mas… akh…’’‘’Hm?’’ Leo tersenyum. Suara Valerie yang pelan namun menggoda, Leo yakin bila gerakannya membuat Valerie lupa diri. Seperti yang sudah-sudah.Namun
‘’Menantuku? Ya ampun, kerjaannya hanya main hp saja dari pagi hingga suaminya pulang.’’ Walau berada di lantai dua, Vania mendengar jelas kalimat Yura. Mertuanya itu sedang berkumpul bersama teman-temannya. Tak terhitung berapa sudah berapa banyak Yura menjelek-jelekkan Vania. Sehingga hanya bisa mengelus dada, bersabar. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Faktanya Vania juga membantu pekerjaan Lia. Main hp hanya jika ada pesan ataupun telepon masuk saja. ‘’Mbak, kok kamu diam saja. Ada apa, Mbak?’’ Vania sampai lupa tengah menghubungi Valerie. Sangking fokusnya menguping pembicaraan Yura. ‘’Gimana kalau dijodohin saja sama anakku? Sinta baru saja pulang dari luar negeri menamatkan kuliahnya.’’ ‘’Jangan. Lebih baik dengan Nina saja. Anakku itu sudah jadi pengusaha. Cocok dengan Gavi.’’ ‘’Tidak, tidak. Ngapaian dengan wanita karir seperti anak kalian? Lebih baik dengan Sari. Dia anak yang penurut. Aku yakin, dia akan jadi istri patuh dan berbakti pada suami.’’ Wanita-wani
‘’Memangnya kenapa kalau mama minta kamu saja yang pergi? Lagi pula Gavi itu anak mama dan Gia itu cucu mama.’’‘’Lalu Vania apa, Ma? Vania menikah dengan Gavi. Vania yang melahirkan Gia. Vania istri sekaligus ibu dari cucu mama,’’ jelasnya bersama rasa sesak. Membuat Vania berkaca-kaca. Sakit harus menjelaskan padahal tak perlu dikatakan pun Yura seharusnya paham.Berbeda dengan Vania, Yura malah berdecih rendah menanggapi sikap dramatis Vania. Jelas benar menganggap Vania bersikap berlebihan.‘’Kamu berharap mama mengakui kamu sebagai menantu?’’Suka atau tidak suka, bukankah begitu kenyataannya?‘’Dengar ya, Vania. Hanya karena kamu melahirkan cucu mama. Menikah dengan anak mama. Itu semua tidak menjadikan kamu diterima di rumah ini,’’ seru Yura.Vania tak percaya bisa mendengar kalimat kejam dari wanita yang dianggap Vania seperti ibu sendiri itu.Padahal, bukan perkara mudah akhirnya memutuskan menikah dengan Gavi. Juga bukan hal remeh melahirkan Gia.Vania masih mengingat sakitn
Air mata masih setia menemani. Termasuk rasa sakit di hati.Bersama luka akibat berdebat dengan Yura, Vania menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Ruangan yang selama ini menjadi benteng pertahanannya. Di mana di sana Vania terbebas dari semua serangan sikap tak mengenakkan yang didapatnya selama ini.Lekas Vania memutar gagang pintu sesampainya di lantai dua. Buru-buru masuk dan mengambil gawai untuk mencurahkan kepedihan.Namun tiba-tiba Vania teringat pembicaraannya dengan Gavi.‘’Kenapa kamu ngambil jurusan dokter, Gav? Kenapa nggak jurusan lain saja?’’ Vania penasaran karena Gavi malas-malasan ketika kuliah. Karena itulah dulu sempat mengira G
Keesokannya…Dengan membawa hadiah sebesar bantal, Vania dan Gia datang ke acara ulang tahun si kembar. Terlihat sepi di luar ternyata di dalam begitu ramai. Sebab Raffi dan Rico juga mengundang teman-teman di sekolah.‘’Gia, kemari! Ayo bentar lagi tiup lilin.’’ Alia berteriak dan melambaikan tangannya.Siapa yang tak senang bila sahabat karib datang? Begitupula dengan Alia. Sejak tadi memang menunggu Gia.‘’Mama, boleh Gia ke sana?’’ tanya anak kecil bergaun biru tersebut.‘’Tentu saja, Sayang. Pergilah.’’‘&rsqu
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu