‘’Dok, maafkan saya. Tadi itu Tuan Leo memaksa masuk.’’
Lili menjelaskan segalanya, agar Gavi tidak salah paham dan menganggapnya tidak becus dalam bekerja.
‘’Dan, Tuan Leo memiliki hak untuk masuk. Karena, beliau adalah suami dari Nyonya Vania.’’
‘’Tidak apa-apa.’’ Mungkin sudah seharusnya semua harus terkuak. Gavi bergumam dalam hati.
Tanpa disuruh oleh Gavi, akhirnya Lili menutup ruangan agar tidak ada pasien atau rekan-rekan rumah sakit yang menjadikan tempat ia berada sekarang sebagai tontonan.
Kejadian tadi cukup membuat seluruh rumah sakit heboh. Karena Vania mengejar-ngejar Arka
Meski tak ada lagi cinta kasih untuk Vania, tapi Leo tidak bisa membohongi hati jika dirinya merasa terkhianati.Beginikah rasanya, ketika Vania memergokinya dan Valerie?Tidak, tidak. Leo bukan sakit karena melihat persetubuhan Vania dan Gavi. Melainkan, sakit karena selama ini merasa ditipu, diperdaya agar tak mengejar Valerie. Karena berpikir, bayi di kandungan Vania adalah miliknya.Keluarga memposisikan Vania sebagai korban dari perselingkuhannya. Memintanya mengasihani dan sadar diri, untuk berubah menjadi suami untuk satu istri. Hingga membuat dirinya sangatg tersiksa selama ini. Namun inikah balasan atas semua yang telah ia korbankan?Andai tak ada Arka di sampingnya sekarang, Leo sudah pasti berteriak
Vania pasrah dengan keadaannya. Berada dalam lembah putus asa penuh kepahitan.Sebab, perasaan Leo pada Valerie begitu kuat, hingga Leo begitu tegas tak mau lagi mengarungi bahtera rumah tangga dengannya.Hukuman ini sangat menyakitkan, hingga melukai relung hati. Mata Vania terus menitikkan air mata. Selain rasa sakit akibat kontraksi, juga karena Vania menatap Leo yang terlihat biasa saja meski dalam situasi menegangkan.Vania kini sadar, akan keegoisannya mempertahankan Leo hanya semakin membuat Leo menginginkan Valerie sangat jauh.Dan kebenaran lainnya adalah, seberapa banyak pun ia berkorban, tetap tak bisa mengembalikan kedudukannya yang telah direbut oleh Valerie.
Vania menggenggam kedua tangan Leo, sekaligus menghentikan usapan lembut di kepalanya.Memandang wajah Leo penuh cinta. Mungkin tak akan bisa melakukannya lagi, sebab, perpisahan telah melekat di depan mata.‘’Kalau begitu seharusnya kamu tidak bicara lagi, Vania.’’‘’Tapi aku harus, Mas. Aku tidak ingin menjadi manusia egois terlalu lama. Cintamu sudah tidak ada. Mungkin, kamu berada disampingku sekarang pun, hanya karena didasari rasa kasihan,’’ isaknya.‘’Maafkan, Mas, Van. Mas juga tidak tau, kenapa cinta sebesar itu bisa lenyap tak berjejak,’’ ungkap Leo sejujurnya.‘’K
Tok!Palu hakim resmi menjadi penanda bila Leo dan Vania telah bercerai.Leo berdiri diikuti Vania setelah keduanya selesai mendengar putusan hakim. Keduanya keluar bersama, bagai orang asing yang tak pernah terikat dalam ikatan suci.Berakhir sudah pernikahan mereka. Sekarang, Vania sudah tidak lagi menyandang nama Arka dan Leo bebas dengan status duda.Vania tak lagi memiliki hak atas Leo. Begitupun sebaliknya. Dengan hati nelangsa, Vania kembali melihat Leo, orang yang ia cintai itu sebelum keduanya tenggelam dalam jalan masing-masing.‘’Mas, apakah kamu bisa memelukku untuk yang terakhir kali?’’
Tiga hari berlalu. Kesulitan memejam menyebabkan bagian bawah mata Leo menggelap. Nyatanya, Leo tidak bisa menenangkan diri pasca perceraian. Karena itu Rendi meminta Leo untuk tidak masuk kantor terlebih dahulu. Rumah sakit, menjadi tempat pelarian Leo meminta pertolongan. Berharap mendapatkan obat untuk bisa terlelap dari ketidaksempurnaan hidup. Seorang perawat memberitahu Leo untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Namun tanpa sengaja, Gavi dengan seragam dokternya, melihat Leo dari kejauhan. ‘’Leo!’’ Dengan tergesa-gesa Gavi menyusul, mencegat pria itu sebelum mencapai ruangan. Namun menoleh pun tidak. Kusutnya pikiran, membuat Leo tak mendengar panggilan tersebut.
Obat pemberian Gavi sangatlah manjur. Dalam satu kali dua puluh empat jam, Loe sudah merasa jauh lebih baik.Sudah tidak ada lagi mata panda, tubuh lelah dan kepala berdenyut nyeri yang Leo rasakan. Meski demikian, pikiran Leo masih belum sehat.Bukan karena pasca perceraiannya dengan Vania. Melainkan karena Valerie belum kembali menjadi istrinya.Tak mengerti mengapa ini sangat menyiksa Leo. Dan tak pula mengerti, mengapa kehilangan Vania seperti bukan suatu hal besar.Mungkin karena Leo terlambat menyadari, bila Valerie memang yang seharusnya ia pertahankan dan Vania adalah orang yang seharusnya ia lepas.Tapi setiap kesalahan pasti bisa
‘’Mas mencintaimu, hingga detik ini.’’Valerie diam tak menanggapi. Baginya, Leo hanyalah masa lalu yang tidak bisa diperbaiki. Sudah pernah dipatahkan hati Valerie berkali-kali mana mungkin bisa bersama lagi.‘’Tapi aku tidak.’’ Valerie berkata tegas.Leo memegang tangan Valerie, menyatukan kedua pandangan mereka walau bagai air dan api. Mengingat bila Valerie juga pernah mencintainya, lalu sekarang, apakah rasa cinta itu sudah tidak ada?‘’Apa itu benar-benar dari hatimu?’’Namun Valerie membuang muka, sekalipun Leo menatapnya dalam.
‘’Aku turut berduka, Mbak. Aku juga ingin meminta maaf,’’ Sejenak Valerie menarik napas. ‘’Karena ku, kamu jadi banyak kehilangan orang yang kamu sayang.’’Cukup berbeda dengan apa yang ada di pikiran Vania. Valerie tidak merendahkan ataupun menghinanya. Mungkin bila Valerie berada di posisinya sekarang, Vania akan mencaci maki, tertawa di atas derita Valerie.Banyaknya salah pada Valerie, membuat Vania malu hati hingga tertunduk. Tak pernah terbayangkan, bahwa Valerie meminta maaf padahal dialah yang seharusnya mengatakan itu.‘’Valerie, mbak yang minta maaf. Karena mbak, kamu jadi istri siri, dicerai, disingkirkan dari kehidupan orang yang kamu cintai, hingga Ryan seperti anak yatim tak berayah. Itu semua salah mb
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu