Bab78
Tania dilema, haruskah Karin dan Ibunya tahu, bagaimana kelakuan keluarga suaminya? Tania benar-benar bingung.
Tania takut Ibunya tertekan. Juga Karin, mengingat bagaimana kisah perjalanan hidup Karin, hingga kini bahagia bersama Kakaknya.
Itu tidaklah mudah, Tania berusaha kuat dan waras. Biar bagaimana pun juga, yang Tania lewati ini, tidak seberapa pahit, dengan apa yang pernah Karin ceritakan.
Tania berusaha yakin, bahwa Allah, sendang menguji rumah tangganya. Wanita satu orang anak inipun sadar, bahwa bukan cuma dia yang tertekan, suaminya juga.
"Aku harus waras, dan bangkit lebih kuat lagi. Jika aku terus diam dan mengalah, yang ada, akulah yang akan kalah!" gumam Tania. Berusaha mensugesti dirinya sendiri.
_______"Makan yuk! Mas sudah masak tadi."Tania menatap lekat wajah Raka, yang begitu berusaha keras, menghiburnya sedari tadi.
"Siapa yang masak?" tanya Tania.
"Mas yang masak, ayo sayang! Nanti
Bab79Raka melakukan panggilan video ke nomor Tania, hanya ingin tau, dia dimana.Namun Tania tidak menjawab panggilan Raka, hingga terdengar suara pintu luar terbuka, Raka berpikir, mungkin itu Tania datang.Raka pun keluar kamar, dan menuruni anak tangga. Benar saja, Tania datang dengan membawa beberapa belanjaan di tangannya.Tania sumringah, ia langsung mencium punggung tangan Raka dengan takzim."Bagaimana hari ini? Kamu senang?" tanya Raka.Tania mengangguk. "Sangat, aku sangat senang," ungkapnya."Apa tuh, kamu hambur-hamburkan uang anakku?" tanya Sutina, yang membuat Raka, merasakan hal buruk akan terjadi.Namun, ada hal yang sulit Raka sembunyikan selain marah.Yaitu, tertawa, melihat penampilan Sutina yang nampak aneh."Kamu kenapa?" tanya Sutina, yang mulai tidak suka, melihat Raka dengan Tania menahan tawa."Bu, aku tahu Ibu hobi dandan, itulah yang membuat Ibu, nampak selalu can
Bab80"Lihat tuh, istri kamu! Benar-benar tidak sopan," kata Sutina pada Raka."Iya ih, songong banget," timpal Rina."Bu, Rina, kalian pulang saja, ya!" pinta Raka."Kok kamu gitu sih, Raka. Apa Ibu dan Rina nggak berhak ada di sini? Di rumah anak Ibu sendiri?""Bukannya begitu, Bu. Setiap kalian datang, rumah ini seakan hilang ketenangan. Istri Raka itu, butuh ketenangan pasca melahirkan, bukannya di buat stress dengan Ibu terus merepet.""Astaga, Raka. Perasaan, kamu sekarang ini mulai tidak bisa menjaga perasaan kami lagi.""Bukan gitu, Bu.""Alah, nyatanya begitu," sungut Sutina.Raka menarik napas dalam, dia tahu, tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan Ibunya.Pak Mamat kembali masuk ke dalam ruang tamu."Maaf, Pak. Diluar, ada keluarga Bu Tania," lapor Pak Mamat."Kok nggak di bawa masuk?" tanya Raka."Beliau tidak ingin masuk.""Kenapa?""Kurang tahu,
Bab81"Tan ....""Kakak jahat ...." Tania berteriak keras. "Laki-laki apa semua sama? Brengsek semacam itu?""Tan, sabar," pinta Karin, menahan bahu Tania yang kini bergetar hebat.Matanya di penuhi dengan amarah."Dan kamu, perempuan tidak tahu malu. Sekarang, kamu tinggalkan Kakakku," teriak Tania dengan emosi, sembari menunjuk-nunjuk ke arah wanita itu.Wanita yang menjadi lara di kehidupan baru Karin dan Hanung."Maaf, pernikahan kami bukan untuk mainan. Biar bagaimana pun juga, aku kini istri Mas Hanung," sahut wanita itu, dia pun mendekat ke arah Hanung berdiri, dan memeluk lengan Hanung.Karin merasa sesak melihat itu semua, dan bergegas membuang pandang."Keterlaluan. Pergilah, Kak! Aku takut, jika aku semakin keterlaluan.""Ada apa ini?" tanya Raka setengah berlari, mendekati mereka."Kamu kenapa, Dek?" tanya Raka lagi, mendekati Tania dan Karin.Tania tidak menjawab, wajahnya basah air mata
Bab82"Ibu, kok datang lagi.""Kenapa, nggak boleh? Apa cuma mereka yang boleh?" tunjuk Sutina.Wanita itu sangat kesal dan murka."Bu ...." Raka mencoba meraih tangan Ibunya, dan membawanya menjauh, dari hadapan keluarga Tania."Apa?" bentak Sutina, yang kini tersulut emosi."Bu, tolong jangan bikin masalah lagi, Raka mohon!" pinta Raka, dengan raut wajah mengiba.Sutina mendengkus. "Sialan. Untung saja Ibu datang, jika tidak, Ibu tidak akan pernah tahu, kelakuan besan yang memalukan," cibir Sutina."Ibu ada masalah apa? Selalu ikut campur masalah kami. Aku lelah, paham nggak sih. Ini rumahku, bukan rumah Ibu. Dengar baik-baik, Ibu itu benalu di rumah ini," teriak Tania.Bukan hanya berteriak, kini wanita satu anak itu, menangis histeris."Aku muak walau hanya mendengar suara wanita ini," tunjuk Tania. Dengan perasaan emosi, yang membuncah dalam dadanya.Tania meraih gelas di atas nakas, dan me
Bab83Sudah nyaris seminggu, Tania tidak bisa di hubungi. Raka merasa tidak kuasa tetap di rumah seorang diri, bermodal nekat, Raka pun melajukan mobilnya, ke kampung halaman istrinya.Bagi Raka, Tania dan anaknya adalah hal penting dalam hidupnya, tidak ada mereka, hidup Raka terasa hampa.Sesampainya di pekarangan rumah, Raka begitu sangat memohon. Agar, Tania tidak mengusirnya.Berkat rasa kasihan, Hanung pun mengizinkan Raka untuk masuk, dan menginap.Raka mencoba berbicara, dari hati ke hati, berdua dengan Tania."Maafkan, Mas. Terlahir menjadi suami yang penuh kekurangan," lirih Raka."Tidak!" sahut Tania datar. "Ibu kamu berhak atas kamu, Mas!" lanjut Tania, tanpa mau menatapku."Maaf, kalau sudah menyangkut Ibu, Mas tidak memiliki kekuatan. Bukan hanya takut menjadi durhaka saja, tapi kelak, kita pun akan menjadi orang tua. Seperti yang pernah orang katakan, bahwa orang semakin tua, dia akan semakin bersikap kekanak-kan
Bab84 - Pov Raka-"Dokter, apakah ini serius?" Syok, dan rasanya jantungku berhenti berdetak, kala menatap wajah kuyu istriku, Tania.Aku sulit mengerti dan rasanya tidak dapat aku terima kenyataan ini. Bagaimana mungkin, Tania yang masih berusia muda, harus menderita penyakit ini.Meskipun terlihat berat, Dokter pun akhirnya mau menjelaskan tentang penyakit yang Tania derita. Ia juga menyarankan, agar Tania jangan sering di tinggal seorang diri.Sebab, akan ada masanya, dimana Tania tidak lagi mampu untuk melakukan pekerjaan kecil seorang diri.Bahkan walau hanya untuk sekedar mengetik dan menerima panggilan telepon.Tania menangis terisak, aku memeluknya, mencoba untuk memenangkannya, meskipun aku sendiri rasanya mau mati mendengar semua ini."Lepas, lepaskan aku." Tania mencoba mendorongku.Namun aku berusaha memeluknya semakin erat."Kita harus berpisah! Aku tidak ingin menjadi beban kamu, mas."&nbs
Bab85 - pov Raka-"Apa? Alzheimer, kamu yakin Raka?" Ayah bertanya dengan nada setengah berteriak."Iya, Yah." Aku menjawab dengan lirih dan suara ini seakan tercekat di tenggorokan. "Penyakit itu perlahan-lahan akan membuat Tania melupakan Raka, Yah. Dan, dia juga akan melupakan kita semua."Tidak tahan lagi, bahkan sebagai laki-laki, aku kehilangan rasa malu. Aku menangis terisak, bercerita pada Ayah, walau hanya melalui sambungan telepon."Ya Allah, astagfirullah, menantuku." Terdengar suara lirih Ayah yang menyayat hati, aku merasa semakin pilu."Sekarang kondisinya bagaimana, Nak?""Terkadang Tania seperti berpikir keras, mungkin ia masih berusaha mengingat semua dengan baik."Tania sudah melupakan hal-hal kecil, meskipun ia akan kembali mengingat sesekali, namun hal itu sukses memacu jantungku setiap saat, takut, takut Tania benar-benar akan melupakan kami, dan ingatan itu selamanya akan m
Bab86 - pov Raka-"Ada apa sih? Kalian ribut-ribut." Terdengar suara berat Ayah dari dalam rumah, ia berjalan menuju ke arah kami, dengan wajah yang terheran-heran.Ibu segera berlari ke arah Ayah, dan mulai playing victim."Anak kamu itu mengamuk, tuh liat tas aku dan Rina!" tunjuk Ibu dengan mengadu. "Raka sudah sangat keterlaluan, Yah. Masa dia memukuli tangan Rina dengan kayu."Ayah menoleh ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya."Raka, apa yang terjadi?" tanya Ayah."Ibu merusuh ke rumah Raka, semua pekerja ia suruh keluar rumah dengan alasan beli ini itu, termasuk Tania. Hanya ada pengasuh yang masih di rumah. Ibu dan Rina mencuri uang dan juga perhiasan Tania."Ayah yang mendengar hal itu pun terlihat sangat marah dan wajahnya memerah. Ia berjalan cepat ke arahku dan merebut kayu dari genggaman tangan ini.Aku sedikit heran, namun setelah merebut kayu itu, Ayah menoleh ke arah Rina dan Ibu yang ter
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu
Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi
Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam
Bab104"Suami kamu!"Aisya terdiam, melihat Azzam yang nampak kusut."Suami Aisya?" tanya Hanung pada Karin. Karin mengangguk.Sari memegang bahu Aish. "Hadapi, dan selesaikan baik-baik," ucap Sari."Iya, Aish. Bagaimana pun juga, dia masih suami kamu," timpal Karin.Meskipun rasa hati teramat berat, Aisya tetap, mengikuti saran mereka.Karin keluar dari mobil, membuka pintu pagar. Dan mobil Hanung pun, memasuki pekarangan rumah."Masuklah, Zam!" seru Karin, sembari berjalan, menuju ke arah rumahnya.Mobil Hanung pun menepi, mereka semua keluar. Sedangkan Karin, membuka pintu rumah.Azzam pun berjalan ke depan pintu pagar, semberi menatap istrinya, yang baru keluar dari mobil.Aisya melangkah, mendekati Azzam."Masuk dulu, Mas!" ucap Aisya dengan lembut.Azzam pun mengangguk, mengikuti langkah Aisya. Ada debaran rasa gugup, yang mengganggunya kini.Karin duduk bersama anaknya Aisy
Bab103Saat itu, pukul 05.30 sore. Sesampainya Raka di rumah Sutina, hanya ada beberapa tetangga dekat rumah, yang berada di rumah duka.Raka menepikan mobilnya, bergegas keluar dan sedikit tergopoh. Di dalam rumah, ada keluarga besar Tania, juga Sutina dan Rina."Ayah!" lirih Raka. Sutina tidak mau menoleh ke arah Raka, begitu juga dengan Tania.Kedua wanita ini, merasa sangat terluka, dengan perlakuan Raka. Mereka merasa, Raka abai dan begitu mementingkan perasaannya sendiri."Ayah, maafkan Raka ....""Ibu," lirihnya, berusaha memegangi tangan Sutina. Sutina hanya bisa terisak, dia tidak mampu berkata-kata lagi.Secapat ini, Tuhan memisahkan mereka. Bahkan selama ini, Sutina merasa banyak salah dan berdosa pada suaminya.Namun apalah daya, mereka di pisahkan oleh maut, yang di perantai tangan anak kandungnya sendiri."Kamu kemana saja?" tanya Sutina dengan pelan, ketika Raka memeluk ibunya."Ma
Bab102Aisya menulis alamat Karin disecarik kertas. Sebab itulah, dia melupakan ponselnya, dan fokus memegangi alamat rumah Karin.Kini Aisya merasa was-was, kalau Azzam, akan datang menyusulnya ke rumah Karin.Ia pun kembali memencet tombol bell berulang kali, hingga pintu rumah, bercat putih itu kini terbuka."Kak Karin," pekik Aisya. Sambil melambaikan tangan.Karin yang melihat di depan pintu pagar itu Aisya, sedikit berlari ke dalam rumah, dan gegas meraih kunci pagar.Ia pun tidak sabar, ingin berpelukan dengan Aisya, adik yang sangat dia rindukan selama ini.Karin keluar rumah, dan membuka kunci pagar. Aisya mendorong pelan pagar, yang sudah tidak terkunci lagi.Mereka saling berpelukan, melepas sejuta rasa rindu yang mendalam.Sedangkan anak Aisya, hanya menatap heran.Kakak beradik itu menangis terisak, dan melupakan si kecil yang menatap heran pada mereka."Siapa Rin?" tanya Sari, yang