Sembari mendekap erat perasaan merana, aku berusaha untuk tetap bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur pengantin kami yang luas. Pikiranku benar-benar tak bisa lepas dari membayangkan Mas Haris dan Fitri yang entah sedang berbuat apa di luar sana. Inginku tetap berpikiran positif, tetapi naluriku menolak. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sikap adik iparku seperti penjajah yang menguasai penuh suamiku.
Aku yang tadinya hanya memakai stelan piyama lengan panjang warna lavender, buru-buru menukar pakaian dengan lingerie hitam yang tadi kubeli di mal. Biar saja belum dicuci. Tak lupa kusemprotkan parfum berwangi apricot yang manis ke seluruh penjuru tubuh. Semoga ini bisa membuat Mas Haris luluh dan ujung-ujungnya mau terbuka tentang hubungannya dengan Fitri.
Menunggu kehadiran Mas Haris, aku hanya bisa memainkan ponsel dan menatap jam yang tertera di layar. Aku mulai bosan. Sudah pukul 22.00 belum juga kembali dua beradik itu. Ingin sekali kutelepon. Namun … aku benar-benar tak siap untuk mendengarkan caci maki dari mulut Fitri yang tak terdidik tersebut.
Tubuhku yang tengah berbaring di atas ranjang, tiba-tiba tersentak kaget sebab kenop pintu yang bergerak dari luar. Aku buru-buru bangun dari rebah dan menyambut kedatangan si pembuka pintu. Mas Haris. Ya, dia muncul dengan sungging senyum di bibir tebalnya.
“Gita, kamu lama menunggu, ya?” kata lelaki itu sembari menutup daun pintu.
“Iya.” Tak kujawab lelaki itu dengan panjang lebar. Mulutku langsung mengatup. Kupasang wajah sok cuek dan kembali lagi ke atas ranjang dengan gerakan malas.
“Maaf, ya. Tadi Gita mengajakku makan bakmie langganan kami di perempatan RS Bhayangkara. Kami ngobrol banyak terus keliling-keliling dulu.” Mas Haris yang belum berganti pakaian itu, langsung naik ke atas ranjang. Duduk berselonjor kaki di sampingku.
“Aku kecewa, Mas,” jawabku dengan nada tenang. Tak kupandangi sosoknya. Mataku lurus ke depan seperti orang yang tengah menerawang.
“Iya, aku tahu.” Gampang sekali bibir Mas Haris berkata. Dia kini bahkan mendaratkan tangannya di atas punggung tanganku, kemudian mengecup dengan mesra. Dia pikir aku akan memaafkan mereka dengan mudah?
“Fitri masih kecil, Git. Dia belum mengerti sepenuhnya.”
Aku membelalakkan mata. “Apa? Masih kecil? Sebentar lagi dia sudah naik kelas dua belas, Mas!”
“Namun pikirannya belum sematang itu. Kamu harus paham.” Tatapan Mas Haris yang penuh pengibaan semakin membuatku geram. Kapan sih, dia mau berhenti membela adiknya?
Saat genting seperti ini, pintu kamar kami malah diketuk dari luar. Aku memaki di dalam hati. Siapa lagi kalau bukan si Fitri! Apa dia belum puas berduaan berjam-jam dengan suamiku?
“Nah, itu! Kenapa lagi dia? Apa mau tidur di sini denganmu?” Aku geram. Sudah di ujung tanduk emosiku.
Mata Mas Haris langsung mebeliak. Wajahnya terlihat marah. Kata-kataku salah?
“Jangan lancang bicaramu, Gita! Kamu itu orang baru di rumah ini!” Bersamaan dengan betakan Mas Haris, pintu semakin kencang diketuk.
Suamiku kemudian bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang kasar. Ranjang ini sampai bergejolak bagai ombak besar di pantai. Cuma dia dan adiknya yang boleh kesal di rumah ini. Aku tidak boleh. Mentang-mentang aku ini cuma orang baru yang kebetulan dia beri nafkah!
“Ada apa, Sayang?” Suara Mas Haris yang sangat lembut dan berbanding tebalik dengan kata-katanya buatku barusan, sungguh membuatku sempurna menelan liur. Sakit betul hatiku. Ingin rasanya aku turun dari ranjang dan memukul kepala dua beradik itu. Namun, sepertinya aku harus bersabar dan tak boleh gegabah dalam menuangkan emosi di rumah ini.
“Mas, aku takut. Tadi di jendela kaya ada yang ngetuk-ngetuk.” Tubuh Fitri langsung memeluk suamiku dengan erat. Gadis berambut panjang nan lebat yang digerai sampai sepunggung itu tampak benar-benar manja dan menjijikan bagiku. Suamiku yang sangat perhatian pada adik semata wayangnya, langsung menarik gadis itu masuk dan menutup pintu kamar kami.
“Lho, ngapain kamu Fit?” Aku langsung emosi. Ini sudah di luar batasan! Apa dia mau menumpang tidur?
“Kamarku menyeramkan. Sudah beberapa kali kalau malam, ada yang ngetuk jendela.” Wajah Fitri terlihat pucat. Napasnya memburu naik turun. Aku tahu dia pasti sedang berakting. Si*l anak ini! Tak habis dia mencari cara untuk menarik perhatian suamiku.
“Tenang, Sayang. Kamu tidur di sini saja.”
Aku menelan liur. Apa? Mas Haris apakah sudah sint*ng otaknya?
“Oh, kalau begitu kamu tidur di luar, Mas!” bentakku sembari menunjuk ke arahnya.
Jakun suamiku terlihat naik turun seperti habis menelan liur. Rangkulan tangannya yang semula melekat di pundak Fitri yang tingginya hanya sejengkal di bawah pundak Mas Haris tersebut langsung dia turunkan.
“Apa nggak tidur bertiga aja?” tanya Fitri sembari terus mepet ke tubuh suamiku.
“Tidak!” Aku menolak dengan keras. Turun langsung aku dari ranjang. Berdiri di hadapan dua beradik yang penuh drama dan lama-lama bikin muak.
“Lho, kenapa? Dulu, aku biasa kok, tidur sama Maas Haris sebelum kalian menikah. Emangnya salah, ya?” Wajah Fitri makin membuatku sebal. Apa otak anak ini sudah tercecer di jalan?
“Ya, salah! Kamu itu sudah besar, Fit! Mana boleh tidur dengan abangmu meski kalian sedarah. Kamu paham, tidak?” Aku berkacak pinggang di hadapan keduanya. Tak kupedulikan lagi tampilanku yang sudah seperti perempuan malam yang hendak memberikan service pada tamunya. Salah siapa si Fitri lancang masuk ke kamar kami?
“Kamu tidur sama Mbak Gita saja, ya? Biar Mas di luar.” Mas Haris mengusap-usap kepala adiknya. Gadis berwajah imut dengan hidung mancung dan iris hitam yang besar tersebut tampak sangat kecewa.
“Yah,” keluhnya sembari mencebik.
“Kamu terlalu banyak mengatur kami, Mbak Gita! Seharusnya kemarin aku tidak usah setuju saja Mas Haris menikah dengan cewek tua cerewet kaya kamu!” Ucapan Fitri benar-benar seperti racun yang membuat darahku serasa berhenti mengalir. Apa dia bilang? Aku ini tua dan cerewet?
“Jaga bicaramu, Fitri!” Aku sudah maju dan hendak menamparnya. Namun, tangan kekar Mas Haris menangkapku dan mengempaskannya dengan keras di udara.
“Kamu yang jaga sikap, Gita!” Mas Haris tampak marah dan menunjuk wajahku dengan ekspresi murka.
Aku terkesiap. Benar-benar tak ada harga dirinya aku di rumah ini.
“Fitri, kamu tidur di kamar ini. Biar Gita puas. Biar pikiran kotornya tentang kita segera hilang!” Mas Haris kemudian ke luar dari kamar. Pintu dibantingnya kencang sampai aku kaget luar biasa.
“Kamu itu kenapa sih, Mbak? Cemburu ya, sama aku?” Fitri menunjuk mukaku dengan sangat lancang. Ucapannya setali tiga uang dengan ekspresi wajah yang dia buat. Sama-sama menusuk.
“Kamu mungkin yang cemburu padaku!” Aku tak mau kalah. Biar saja kami bertengkar malam ini. Biar puas!
“Aku cemburu padamu? Hah, tidak salah?” Fitri melengos. Ini benar-benar penghinaan buatku. “Mbak Gita yang cantik, seharusnya kamu itu bersyukur dinikahi oleh kakakku yang kaya raya dan baik hati. Kenapa kamu malah ngelunjak, Mbak? Masalah aku dekat sekali sama kakakku sendiri, itu kan hak kami. Jangan sampai aku menghasut Mas Haris untuk menceraikanmu, ya!”
Hatiku panas. Benar-benar panas. Sakit sekali dadaku dibuat ucapannya itu. Andai aku ini tak ingat dosa, inginku kuludahi saja wajahnya yang menyebalkan tersebut.
“Oh, ya, lingeriemu bagus juga. Namun, sayangnya, Mas Haris tidak suka warna hitam!” Fitri tersenyum mengejek ke arahku. Membuatku sempurna terhenyak dan merasa terbanting luar biasa. Anak kecil itu lalu tertawa-tawa sembari melenggang kangkung ke luar dari kamarku. Aku yang masih bengong sebab syok bukan kepalang, hanya bisa berdiri terpaku sembari berusaha memainkan otak. Sebenarnya, Mas Haris dan Fitri ini benar-benar adik kakak kandung, atau ….
(Bersambung)
Aku yang telanjur merasa terbakar api kemarahan, langsung ke luar dari kamar dan menyusul Fitri yang secepat kilat masuk ke kamarnya. Kegeramanku makin bertambah-tambah kala mengetahui bahwa Mas Haris sudah berada di dalam sana, kemudian barulah disusul oleh sang adik. Makin merajalela keduanya! Kuketuk daun pintu kamar Fitri yang hanya bersebelahan saja dengan kamar milik kami. Kencang sekali sampai tanganku terasa sakit. Kalau memang harus bertengkar, maka malam ini baiknya bertengkar saja habis-habisan. “Kamu ini kenapa sih, Git?” Mas Haris muncul dari balik daun pintu. Lelaki itu lalu ke luar dan menutup pintu kamar sang adik kembali. Terdengar dari dalam teriakan Fitri yang mencaci makiku dengan bahasa kotor yang tak sepatutnya dikeluarkan oleh seorang adik kepada iparnya. 
Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi. “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku. Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa bara
“Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas. Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya. “Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.&nbs
“F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank
Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru
“Mbak Gita kenapa?” “Kamu kenapa sih, Git!” Sebuah sentuhan di pundak membuatku membuka mata. Aku sontak kaget melihat sosok Fitri yang duduk sembari memeluk guling dengan selimut yang masih menutupi paha ke bawahnya. Kutoleh lagi sumber sentuhan tadi. Ada Mas Haris yang berdiri di belakangku. Jadi … tadi yang kulihat itu apa? Aku benar-benar syok dan speechless saat menyadari bahwa bayanganku tak seperti fakta yang tersuguh. Tadinya perasaanku telah hancur berkeping-keping dan siap untuk lari sejauh mungkin dari rumah. Namun, nyatanya aku salah besar. Tak ada sosok Mas Haris di dalam selimut itu. Ternyata hanya ada Fitri yang tengah memeluk guling sembari tertawa-tawa di bawah lindungan selimut tebalnya.“Kamu k
Aku betul-betul BAB dengan sangat lancar dan cenderung diare usai minum jus apel tersebut. Perutku langsung sakit, padahal minuman berpencahar itu baru kuteguk beberapa detik. Kacau! Semua jadi kacau akibat kebodohan dan kekurangtelitianku. Aku menyesal mengapa aku seceroboh dan set*lol ini. Sekarang aku menyadari, bahwa di rumah ini benar-benar tak aman. Aku tak bisa leluasa mengerjai mereka, sebab kedua beradik itu bagai cenayang yang tahu segalanya. Sekitar sepuluh menit aku di dalam toilet. Rasanya isi perutku terkuras. Aku yakin ini juga dikarenakan mentalku yang down duluan sewaktu di meja makan tadi. Huhft, bakal seperti apa lagi reaksi keduanya setelah aku keluar dari kamar mandi. Apakah Fitri akan mengejekku habis-habisan setelah ini? Entah. Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki keluar dari bilik kakus menuju ruang makan. Ternyata Ma
“Pa, Papa! Tolong bukakan aku pintu. Aku mohon, Pa!” Kedua tanganku menggedor-gedor pintu dengan kencang. Aku tak peduli lagi dengan ribut suara yang ditimbulkan. Hari ini aku hanya ingin mendengarkan cerita dan penjelasan. Itu saja. Sebab kesempatan yang kumiliki untuk datang ke sini sendirian tidaklah banyak. “Aku hanya ingin tahu tentang Mas Haris dan Fitri. Itu saja. Aku mohon, bukakan pintu untukku. Setelah itu aku akan pergi!” Aku tak ingin berputus asa. Terus kuketuk daun pintu lebar yang terbuat dari kayu tebal berpelitur tersebut. Memang, tak ada jawaban. Sunyi senyap. Namun, bukan berarti aku harus menyerah sampai di sini saja. “Papa, aku mohon, Pa.” Tanganku bahkan sampai ngilu. Kutekan-tekan bel yang tertempel di dinding secara berulang-ulang. Bahkan dari sini aku mampu mendengarkan suarany
Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun
Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat
Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.
Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe
Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n
Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.
Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya
Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos
Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta