Aku betul-betul BAB dengan sangat lancar dan cenderung diare usai minum jus apel tersebut. Perutku langsung sakit, padahal minuman berpencahar itu baru kuteguk beberapa detik. Kacau! Semua jadi kacau akibat kebodohan dan kekurangtelitianku. Aku menyesal mengapa aku seceroboh dan set*lol ini. Sekarang aku menyadari, bahwa di rumah ini benar-benar tak aman. Aku tak bisa leluasa mengerjai mereka, sebab kedua beradik itu bagai cenayang yang tahu segalanya.
Sekitar sepuluh menit aku di dalam toilet. Rasanya isi perutku terkuras. Aku yakin ini juga dikarenakan mentalku yang down duluan sewaktu di meja makan tadi. Huhft, bakal seperti apa lagi reaksi keduanya setelah aku keluar dari kamar mandi. Apakah Fitri akan mengejekku habis-habisan setelah ini? Entah.
Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki keluar dari bilik kakus menuju ruang makan. Ternyata Ma
“Pa, Papa! Tolong bukakan aku pintu. Aku mohon, Pa!” Kedua tanganku menggedor-gedor pintu dengan kencang. Aku tak peduli lagi dengan ribut suara yang ditimbulkan. Hari ini aku hanya ingin mendengarkan cerita dan penjelasan. Itu saja. Sebab kesempatan yang kumiliki untuk datang ke sini sendirian tidaklah banyak. “Aku hanya ingin tahu tentang Mas Haris dan Fitri. Itu saja. Aku mohon, bukakan pintu untukku. Setelah itu aku akan pergi!” Aku tak ingin berputus asa. Terus kuketuk daun pintu lebar yang terbuat dari kayu tebal berpelitur tersebut. Memang, tak ada jawaban. Sunyi senyap. Namun, bukan berarti aku harus menyerah sampai di sini saja. “Papa, aku mohon, Pa.” Tanganku bahkan sampai ngilu. Kutekan-tekan bel yang tertempel di dinding secara berulang-ulang. Bahkan dari sini aku mampu mendengarkan suarany
“Gita, lho, kok ke rumah Papa nggak bilang-bilang?” Mas Haris bertanya dengan wajah yang mengumbar senyum. Dia semakin mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh mungil sang adik yang kini menatapku dengan wajah tak bersahabat. Aku langsung berdiri dengan tungkai yang gemetar. Bingung harus menunjukkan ekspresi apa. Bagaimana bisa dia menyusul ke sini? Apakah … di mobilku dipasanginya GPS? Bulu kuduk ini semakin meremang. “I-iya,” jawabku dengan terbata dan keringat dingin yang tiba-tiba membasahi telapak. Mereka berdua semakin dekat denganku. Saat Mas Haris tiba di sampingku dan melepaskan Fitri dari rangkulan, aku benar-benar takut luar biasa. Ya Tuhan, apa yang akan d
Papa membawaku ke kamarnya yang berada di dekat ruang keluarga. Dia membukakan pintu dan memapahku hingga ke tepian ranjangnya yang besar bersprei warna marun tersebut. Aku terkesiap saat lelaki itu menyuruhku untuk beristirahat sejenak di dalam kamarnya yang luas. “Silakan kamu istirahat. Luka di wajahmu banyak. Lehermu juga tampak memar. Aku ambilkan obat dulu di belakang. Kamu tunggu di sini.” Sosok Papa terlihat lebih tenang ketimbang waktu aku datang barusan. Tak ada lagi mimik muntab dan nada yang kasar. Entah mengapa aku langsung merasa nyaman dan tak takut sama sekali untuk rebah di atas kasurnya. Papa lalu keluar dari kamar dan menutup kembali daun pintu. Saat itulah mataku menyapu ke seluruh bagian kamar yang ukurannya bahkan lebih besar dari kamar kami di rumah milik Mas Haris. Kamar ini dilengkapi dengan lemari pa
Bagian 15 “A-aku … akan segera menceraikannya, Pa,” kataku dengan agak terbata. Kutatap Papa. Mencari penguatan di bola matanya. Lelaki itu mengangguk mantap. Wajahnya kini lebih tenang. Tak ada gejolak amarah di sana. “Bagus. Hidupmu masih panjang. Apa yang kau takutkan?” “Sebenarnya … aku malu jika harus menjanda secepat ini. Apalagi usiaku sudah 35 tahun.” Jujur saja kukatakan padanya tentang keresahan hati ini. Aku sama sekali tak malu untuk berbagi kegundahan kepada Papa. Sebab, bagiku beliau pun sudah mau jujur dan tak keberatan untuk menceritakan luka masa lalunya. “Lantas, mengapa kalau sudah 35 tahun? Kau takut cibiran orang?&rd
Bagian 16 Mataku segera menangkap kamar Fitri yang terletak di seberang kamar milik Papa. Pintunya terbuka separuh. Tanpa pikir panjang lagi, segera aku masuk dan mencari di mana keberadaan Papa. “Papa!” panggilku sembari menoleh kiri dan kanan. Lelaki itu ternyata sedang menyedot debu dengan vaccum cleaner di bagian sudut kamar dekat toilet. Bunyi mesin vakum langsung terhenti. Lelaki itu menatapku dengan heran. Segera aku berlari ke arahnya. “Mas Haris barusan meneleponku. Dia mengancamku, Pa. Dia menyuruhku untuk keluar dari rumah ini. Kalau tidak, semua video hubungan intim kami akan disebar. Aku tidak tahu dia mendapatkan video itu dari mana. Namun, yang jelas, orang gila itu sudah memasang kamera tersembunyi di seluruh sudut rumah!” Na
Bagian 17 “Ayo, kita cek.” Papa langsung turun meninggalkan mobilnya yang sudah dia panaskan. Aku pun turut mengikuti langkah beliau. Berjalan di balik punggungnya sembari memegang ujung kemeja Papa. Jujur, aku masih sangat syok. Terbayang gorokan di leher tubuh yang terbaring di jok belakang mobil. Sekilas saja aku melihatnya. Namun, sangat berbekas di ingatan. Aku memang seperti mengenal wajah itu, meski pipi dan dahinya tampak ada luka-luka besetan. Matanya, ya, matanya yang membelalak tapi mirip seseorang. Akan tetapi, apa mungkin …? Papa melongok dari celah pintu kemudi yang tadi kubuka lebar, tanpa mau menyentuh apa pun di sana. Lelaki itu berseru keras sembari memundurkan langkahnya, hingga hampir menubrukku. “Itu Fitri! Ya, itu Fitr
Bagian 18 “Pa, aku ingin tetap di sini. Aku percaya Papa.” Aku mengatakan kalimat tersebut dengan keteguhan hati yang mulai tumbuh. Aku yakin jika Papa sungguh tak akan membuatku kecewa. “Terserahmu. Itu adalah pilihanmu sendiri. Aku tidak memaksamu untuk tinggal atau pun pergi.” Papa memberikan tatapan tajamnya. Aku tidak merasa tertekan atau bagaimana sebab menangkap sorot matanya tadi. Namun, malah timbul sebuah semangat untuk terus menjalani setiap kejadian tak terduga yang bakal diciptakan oleh lelaki yang bakal menjadi mantan suamiku tersebut. Suara notifikasi pada ponsel yang tergelatak di atas kasur, tiba-tiba berbunyi. Anehnya, bunyi penanda ada pesan masuk di aplikasi WhatsApp tersebut berderet-deret. Seperti ada beberapa bahkan pu
Bagian 19 Lama kelamaan kesadaranku timbul. Pendengaran ini mulai muncul. Suara derap langkah yang hilir mudik, gonggongan anjing, dan bunyi orang ngobrol-ngobrol. Ada bau minyak angin yang menguar. Menusuk hidung sampai paru-paru. Sontak mataku membuka lebar. Kuperhatikan sosok Papa menatap dengan posisi telapak tangannya yang disungkupkan ke wajahku. “Sudah sadar kamu, Git?” tanyanya dengan nada yang khawatir. Aku refleks memegang pelipis. Rasanya kepalaku berat. Aku menyapu dengan pandangan, mencoba menerka di mana sekarang berada. Ternyata aku tengah berbaring di atas sofa ruang tamu. Kulihat polisi-polisi berseragam tersebut hilir mudik berpencar ke seluruh sudut rumah. Sibuk meneliti ini dan itu. Membuka laci-laci pada meja panjang yang diletakkan
Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun
Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat
Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.
Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe
Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n
Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.
Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya
Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos
Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta