Share

3

last update Last Updated: 2022-01-05 19:48:18

Kusejajari langkah Mas Haris yang terburu-buru. Kakinya panjang sehingga langkah yang dihasilkan pri itu sangat lebar dan agak sulit kuimbangi. Namun, aku tak mau menyerah. Kugamit tangannya erat-erat dan akhirnya lelaki itu menyerah.

            “Pokoknya aku ikut,” kataku dengan keras kepala.

            Mas Haris terdengar menghela napas berat. Lelaki itu tampak setengah kesal sekaligus resah. Aku bisa membaca perasaan itu lewat ekspresi wajah yang dia kesankan.

            “Aku takut Fitri akan marah besar.” Lelaki itu berujar dengan suara lirih.

            Aku enggan peduli. Tetap kugamit lengan besar Mas Haris dan menuruni tangga eskalator dengan tekat yang kuat. Aku ini istrinya. Sesayang apa pun dia pada Fitri, apa salahnya jika membiarkan aku untuk ikut serta menjemput anak itu? Toh, ini posisinya kami sedang berkencan. Seharusnya gadis itu tahu diri bahwa sang kakak kini telah memiliki pasangan yang juga harus dihormati haknya. Apakah sulit bagi Fitri untuk menghargai iparnya sendiri?

            Kami lalu tiba di parkiran yang berada di lantai basement. Berjalan setengah berlari Mas Haris, mungkin saking takutnya Fitri menunggu lama. Aku sampai hampir tersandung sebab ikut berlari.

            “Maaf,” kata Mas Haris kala tahu bahwa istrinya mau terjungkal.

            Aku hanya bisa diam. Ingin marah, tapi aku tak punya kekuatan. Ingin menangis, rasanya semua sia-sia belaka.

            Kami kemudian masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Haris. Lelaki itu benar-benar terlihat buru-buru. Aku tak mengerti, memangnya harus segitunya, ya?

            “Santai, Mas. Jangan gopoh. Fitri akan menunggu di rumah temannya.” Aku berusaha untuk menenangkan lelaki berkaus polo warna putih itu. Mas Haris tampak mengatur napasnya.

            “Bukan begitu. Aku nggak mau bikin dia bosa menunggu di sana.”

            Aku jadi berpikir, kalau semisal aku yang ada di posisi Fitri, akankah Mas Haris melakukan hal yang sama? Huh, aku benar-benar dibakar api cemburu sekarang.

            Mobil melaju kencang meninggalkan mal yang semula kami rencanakan sebagai tempat kencan untuk melewati Sabtu malam yang romantis. Namun, nyatanya semua bubar jalan. Aku kesal. Sangat kesal. Jiwaku rasanya memberontak dengan kejadian hari ini. Fitri, aku tidak tahu kamu itu sebenarnya ada masalah apa denganku. Apakah kamu sengaja ingin menghancurkan acara kami? Apa susahnya kalau pulang minta antar temanmu atau naik taksi misalnya?

            Mas Haris menyetir dengan wajah tegang. Tak mau dia mengajakku berbicara seperti biasanya. Aku jadi semakin risau. Sangat geram sebab ini gara-gara Fitri pastinya.

            “Mas, kita mau ke mana? Kok nuju rumah, sih?” Aku heran. Mas Haris melewati jalan yang biasa kami lewati untuk menuju ke komplek perumahan Citra Asri, lokasi di mana rumah milik Mas Haris berdiri.

            “Kamu kuantar pulang dulu, Git. Biar aku sendirian ke rumahnya si Mega untuk jemput Fitri. Aku takut dia marah besar kalau ngajak kamu.”

            Mataku sempurna membeliak. Apa? Dia benar-benar mengantarku ke rumah? Ya Tuhan! Mas Haris, apa maumu sebenarnya?

            “Mas, kamu segitunya ya, sama aku!” Aku marah. Geram bukan main. Kuremas tasku yang terbuat dari kulit sintetis tersebut kuat-kuat demi menyalurkan letupan emosi.

            “Aku nggak bisa kalau lihat dia nangis atau kecewa, Gita. Kamu tolong pahami ini!” Mas Haris membentakku dengan suara yang tinggi. Membuatku makin jengkel dan sangat sakit hati.

            “Aku kecewa sama kamu, Mas! Sebagai suami kamu tidak bisa memposisikan dirimu. Kamu harusnya lebih memperhatikan perasaan istri.” Suaraku sampai parau. Bibir ini gemetar lagi. Sudah berapa kali aku menangis sebabnya hari ini. Hilang sudah predikat Gita si perempuan tegar yang kerap disematkan oleh keluarga dan teman-teman kepadaku. Aku kini telah berubah menjadi perempuan sensitif dengan harga air mata yang murah.

            “Gita, tolong jangan drama! Sebelum menikah denganmu, aku sudah menjalani semuanya begini! Jangan sekali-kali mengubahku menjadi orang lain, Git!” Mas Haris menekan tiap kalimatnya. Lelaki itu bahkan memukul kaca jendela di sampingnya dengan tinju yang agak keras.

            Aku senyap. Diam seribu bahasa sembari melelehkan air mata pilu. Beginikah rasanya diperlakukan tidak adil oleh suami sendiri? Jika orang banyak mengeluhkan prahara rumah tangga sebab suami yang jahat atau mertua kejam, aku malah merasakan betapa tersiksanya punya ipar kelewat manja dan mesra kepada suamiku. Jijik, kesal, geram. Ah, semuanya campur aduk sampai membuatku sakit kepala.

            Setibanya di depan rumah bertingkat dua dengan cat serba putih yang lampu teras dan tamannya kami hidupkan sejak meninggalkan rumah pada sebelum Magrib tadi, Mas Haris langsung menghentikan laju mobilnya.

            “Turunlah, Gita. Aku mau langsung menjemput Fitri.”

            Aku benar-benar tersinggung. Keluar dari mobil dan membanting pintu dengan keras. Aku tak peduli jika mobil mewah itu bakal rusak atau bagaimana. Terserah!

            Cepat-cepat aku membuka slot pagar yang tak digembok. Membantingnya dengan kencang seperti tadi tanpa mengunci slot kembali, lalu menuju pintu untuk masuk ke rumah. Dadaku sesak. Terlebih saat tahu bahwa Mas Haris tak melakukan apa pun saat istrinya mengamuk. Dia melenggang kangkung tanpa beban. Tancap gas meninggalkan aku sendirian di rumah besarnya dalam keadaan murung.

            Kakiku lemas saat masuk ke rumah yang suasananya sepi sekaligus sunyi. Ada rasa rindu terhadap keluargaku yang tinggal di kota sebelah. Aku ingin pulang. Menemui Ibu dan Bapak yang selalu memperlakukanku dengan baik. Atau sekadar bercengkerama dengan Dita, keponakanku yang baru berusia tiga tahun. Ya, adik semata wayangku, si Gity, telah menikah empat tahun yang lalu dan memiliki seorang momongan lucu. Aku memang kalah jauh dari perempuan tinggi tersebut. Selain sudah punya anak, Gity juga punya karier cemerlang di perusahaannya. Posisinya sekarang sudah naik menjadi senior manager. Keren. Tidak sepertiku yang sekarang full menjadi house wife.

            Aku mengempaskan diri di atas sofa ruang tamu. Menjatuhkan tas ke lantai, kemudian menghapus linangan air mata. Seketika aku menyesal, mengapa aku berhenti bekerja setelah menikah. Pikiranku jadi semakin sempit sejak tak pergi ke mana-mana dan berjumpa dengan banyak orang. Aku jadi curiga, apakah gara-gara itu aku jadi sangat cemburu dan berpikir negatif kepada Mas Haris?

            Gita, kamu memang gegabah. Harusnya aku memang lanjut bekerja saja. Pergi pagi, pulang hampir malam hari. Senin sampai Jumat berkutat dengan angka dan laporan. Sabtu pun terkadang masih harus berangkat untuk lembur dan menyelesaikan sisa tugas. Mungkin kalau masih berkarier, aku tak sempat untuk memikirkan hal-hal remeh seperti sekarang.

            Oh, hidup. Rasanya pelik dan penuh cobaan. Mulai dari gagal dalam urusan asmara, eh, setelah menikah pun masih juga harus menelan pil pahit. Sebenarnya, aku ini punya dosa apa, sih? Kok, hidupku tak henti-hentinya disapa ujian.

            Satu jam aku merenung. Tak ada yang kudapatkan selain rasa sesal tak berujung. Menyalahkan diri sendiri, kemudian merasa begitu tak berguna. Kutarik napas dalam, sepertinya aku harus mulai menerima diriku yang sekarang. Harus kuterima juga kenyataan bahwa Mas Haris begitu mengagungkan adik perempuannya ketimbang aku sebagai pendamping hidup. Ya, aku harus terbiasa menjalani semua. Tidak boleh egosi dan negative thinking. Bagaimana pun aku ingin rumah tanggaku harmonis seperti milik adikku Gity. Dia perempuan yang luas hatinya. Beberapa kali si Arman, suaminya yang sangat dia cintai, kepergok berkirim pesan dengan rekan kantornya. Namun, Gity selalu memaafkan dan kini hubungan rumah tangga mereka makin harmonis. Arman pun katanya telah tobat dengan sendirinya dan sangat mencintai anak dan istri.

            Ya, aku ingin ada keajaiban seperti itu. Kuharap Mas Haris perlahan-lahan berubah dan insyaf. Aku inginnya dia menjaga jarak yang wajar dengan Fitri. Membiarkan gadis itu mandiri dan tak terlalu bergantung. Semoga Tuhan memberikan keajaiban tersebut pada waktu yang tepat.

            Aku meraih tas yang tergeletak di lantai. Kubuka ritsletingnya yang berwarna emas, lalu mencari-cari di mana ponselku berada. Setelah kutemukan, aku hampir kaget saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 21.05 malam. Mas Haris bahkan belum kembali bersama adiknya. Aku yang awalnya sudah mulai merasa tenang dan positif, tiba-tiba jadi goyah lagi. Ke mana mereka?

            Kuputuskan untuk menelepon suamiku. Lama sekali lelaki itu mengangkatnya. Setelah dua kali telepon, barulah terdengar suara.

            “Halo?” Aku benar-benar makin terluka. Itu suara Fitri. Mengapa dia yang memegang ponsel suamiku?

            “Mana Mas Haris?” tanyaku dengan nada ketus.

            “Di sampingku.” Fitri tak mau kalah. Nadanya sengak.

            “Kalian di mana? Mengapa jam segini belum pulang?” Darahku mulai panas dan mau mendidih rasanya. Kesabaranku benar-benar sedang diuji.

            “Makan di resto. Kenapa sih, tanya-tanya? Please, lah. Orang baru jalan-jalan juga.”

            Anak itu! Benar-benar tidak punya malu dan harga diri. Saat itu aku sangat merasa jengkel. Ingin kupukul wajahnya jika dia sedang berada di hadapan!

            “Fitri, kamu bisa sopan nggak kalau bicara?”

            “Maaf, ya. Bicaranya nanti saja.” Teleponku langsung dimatikan. Bisa bayangkan betapa remuknya hatiku?

            Fitri, tunggu kamu. Kamu kira aku takut? Kita lihat saja. Siapa yang lebih kuat di antara aku dan kamu.

(Bersambung)

Related chapters

  • Petaka Lingerie Merah   4

    Sembari mendekap erat perasaan merana, aku berusaha untuk tetap bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur pengantin kami yang luas. Pikiranku benar-benar tak bisa lepas dari membayangkan Mas Haris dan Fitri yang entah sedang berbuat apa di luar sana. Inginku tetap berpikiran positif, tetapi naluriku menolak. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sikap adik iparku seperti penjajah yang menguasai penuh suamiku. Aku yang tadinya hanya memakai stelan piyama lengan panjang warna lavender, buru-buru menukar pakaian dengan lingerie hitam yang tadi kubeli di mal. Biar saja belum dicuci. Tak lupa kusemprotkan parfum berwangi apricot yang manis ke seluruh penjuru tubuh. Semoga ini bisa membuat Mas Haris luluh dan ujung-ujungnya mau terbuka tentang hubungannya dengan Fitri. Menunggu kehadiran Mas Haris, aku hanya bisa memainkan ponsel dan m

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   5

    Aku yang telanjur merasa terbakar api kemarahan, langsung ke luar dari kamar dan menyusul Fitri yang secepat kilat masuk ke kamarnya. Kegeramanku makin bertambah-tambah kala mengetahui bahwa Mas Haris sudah berada di dalam sana, kemudian barulah disusul oleh sang adik. Makin merajalela keduanya! Kuketuk daun pintu kamar Fitri yang hanya bersebelahan saja dengan kamar milik kami. Kencang sekali sampai tanganku terasa sakit. Kalau memang harus bertengkar, maka malam ini baiknya bertengkar saja habis-habisan. “Kamu ini kenapa sih, Git?” Mas Haris muncul dari balik daun pintu. Lelaki itu lalu ke luar dan menutup pintu kamar sang adik kembali. Terdengar dari dalam teriakan Fitri yang mencaci makiku dengan bahasa kotor yang tak sepatutnya dikeluarkan oleh seorang adik kepada iparnya. 

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   6

    Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi. “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku. Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa bara

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   7

    “Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas. Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya. “Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.&nbs

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   8

    “F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   9

    Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   10

    “Mbak Gita kenapa?” “Kamu kenapa sih, Git!” Sebuah sentuhan di pundak membuatku membuka mata. Aku sontak kaget melihat sosok Fitri yang duduk sembari memeluk guling dengan selimut yang masih menutupi paha ke bawahnya. Kutoleh lagi sumber sentuhan tadi. Ada Mas Haris yang berdiri di belakangku. Jadi … tadi yang kulihat itu apa? Aku benar-benar syok dan speechless saat menyadari bahwa bayanganku tak seperti fakta yang tersuguh. Tadinya perasaanku telah hancur berkeping-keping dan siap untuk lari sejauh mungkin dari rumah. Namun, nyatanya aku salah besar. Tak ada sosok Mas Haris di dalam selimut itu. Ternyata hanya ada Fitri yang tengah memeluk guling sembari tertawa-tawa di bawah lindungan selimut tebalnya.“Kamu k

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   11

    Aku betul-betul BAB dengan sangat lancar dan cenderung diare usai minum jus apel tersebut. Perutku langsung sakit, padahal minuman berpencahar itu baru kuteguk beberapa detik. Kacau! Semua jadi kacau akibat kebodohan dan kekurangtelitianku. Aku menyesal mengapa aku seceroboh dan set*lol ini. Sekarang aku menyadari, bahwa di rumah ini benar-benar tak aman. Aku tak bisa leluasa mengerjai mereka, sebab kedua beradik itu bagai cenayang yang tahu segalanya. Sekitar sepuluh menit aku di dalam toilet. Rasanya isi perutku terkuras. Aku yakin ini juga dikarenakan mentalku yang down duluan sewaktu di meja makan tadi. Huhft, bakal seperti apa lagi reaksi keduanya setelah aku keluar dari kamar mandi. Apakah Fitri akan mengejekku habis-habisan setelah ini? Entah. Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki keluar dari bilik kakus menuju ruang makan. Ternyata Ma

    Last Updated : 2022-01-10

Latest chapter

  • Petaka Lingerie Merah   56

    Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun

  • Petaka Lingerie Merah   55

    Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat

  • Petaka Lingerie Merah   54

    Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.

  • Petaka Lingerie Merah   53

    Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe

  • Petaka Lingerie Merah   52

    Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n

  • Petaka Lingerie Merah   51

    Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.

  • Petaka Lingerie Merah   50

    Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya

  • Petaka Lingerie Merah   49

    Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos

  • Petaka Lingerie Merah   48

    Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status