“Mas, kenapa foto Fitri yang kamu jadikan wallpaper?” Aku bertanya dengan nada yang agak tinggi. Belum hilang degup keras di jantungku, kini mataku giliran yang mulai bereaksi. Terasa berbayang kini aku memandang sebab air mata yang mau luruh jatuh membasahi pipi.
“Lho, memangnya kenapa, Git? Fitri kan adikku.” Mas Haris menjawab dengan santai. Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap ke arahku dengan wajah heran.
“Kamu kenapa menangis?” Suara Mas Haris sangat lembut. Tangannya yang panjang dan besar mengusap air mata ini dengan gerakan pelan.
“Kamu … sebenarnya ada apa dengan Fitri?” Bibirku gemetar saat menanyakan kalimat barusan padanya. Wajah Mas Haris langsung berubah. Tangan berbulunya yang tadi hinggap di pipi, cepat-cepat dia tarik kembali.
“Apa maksudmu?” Nada Mas Haris dingin. Terdengar nada keberatan dari pertanyaannya. Aku seketika merasa ketakutan. Takut dia marah dan melakukan hal yang tak kuinginkan.
“T-tidak ….”
“Dia adikku. Perempuan paling penting nomor dua setelah Mama. Apa aku salah menyayangi adikku sendiri?” Nada Mas Haris makin naik. Seketika membuatku panik luar biasa dan semakin menangis. Aku sudah tak tahu, berapa pasang mata yang menoleh ke arah kami sebab keributan ini.
“M-maaf, Mas,” kataku sembari meraih tangannya. Kuakui aku tak memiliki kekuatan untuk bertanya lebih. Aku langsung menyesal. Mengapa harus kukatakan pertanyaan seperti tadi. Akankah Mas Haris marah besar padaku setelah ini?
“Apa kamu cemburu, Gita?” Suara Mas Haris mulai merendah. Hatiku langsung sedikit lega. Sungguh, aku tak ingin suamiku marah. Bukan apa-apa. Dia baik. Belum tentu aku bisa menemukan yang sepertinya jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku.
“S-sedikit, Mas.” Aku menunduk. Mengusap air mata dan mencoba untuk menenangkan diri. Ya, mungkin aku sudah salah cemburu pada ipar sendiri. Dia adalah adik kandung suamiku. Mana mungkin mereka memiliki hubungan spesial lebih dari sekadar saudara kandung. Pikiranku memang kotor. Aku benar-benar sangat menyesal.
“Gita, dia adikku. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia cuma punya aku setelah Mama meninggal. Papa dingin dan tidak dekat padanya. Apakah aku salah kalau perhatian dan sayang pada adikku sendiri?” Mas Haris menggenggam tanganku. Lelaki berbulu mata lebat dan alis yang setali tiga uang tersebut menatapku lekat-lekat. Seketika aku merasa sangat malu sekaligus menyesal. Dasar aku yang bodoh. Mengapa bisa aku berpikir sejauh itu?
Tak lama, menu yang kami pesan berupa rawon, selat solo, dan dua gelas jus apel tersebut datang. Aku buru-buru menyambar sehelai tisu dan mengusap cairan hidung yang mulai mau meluber.
“Terima kasih, Mas,” kata Mas Haris kepada pramusaji yang mengantarkan makanan.
“Sama-sama, Pak.” Pramusaji bertubuh tinggi kurus itu lalu berlalu sembari membawa nampannya. Untung lelaki itu tak melirik-lirik ke arahku yang baru saja habis menangis ini. Kalau tidak, bertambah-tambah lah rasa maluku.
“Makanlah, Git.” Mas Haris merangkul tubuhku. Lelaki itu tersenyum sangat manis hingga menampakkan kedua lesung pipit yang dalam. Dia tampan menurutku. Bahkan sangat tampan. Aku beruntung bisa memilikinya. Padahal, dengan uang yang banyak dan rupa menawan, bisa saja Mas Haris menikahi gadis belia belasan tahun ketimbang perawan tua sepertiku. Maka dari itu aku harus banyak bersyukur dan berhenti untuk berpikiran buruk kepadanya.
“Iya, Mas,” jawabku sembari menyuap selat solo yang kupesan tadi.
“Kamu jangan berpikir yang bukan-bukan lagi ya, Sayang.” Mas Haris mengusap-usap rambutku.
Aku hanya bisa mengangguk sembari mengulas sebuah senyum kepadanya.
“Sayangi Fitri seperti adikmu sendiri, Gita. Kasihan dia. Tolong jalin terus keakraban dengannya.” Kata-kata Mas Haris membuatku jadi agak tersudut. Aku selalu berusaha untuk dekat padanya, tapi bagaimana kalau si Fitri sendiri yang tampak menjaga jarak denganku? Tiap kuajak jalan berdua, dia selalu saja ada alasan. Kalau diajak jalan bertiga pun, jarang-jarang dia mau. Namun, lain cerita kalau hanya berdua dengan Mas Haris. Pasti gerakannya selalu cepat.
“Baik, Sayang,” jawabku sekenanya.
“Makasih ya, Gita. Aku tahu kamu istri yang baik.” Mas Haris tanpa malu-malu mendaratkan sebuah ciuman di puncak kepalaku. Padahal, di sekitar kami banyak sekali pengunjung resto yang tengah menikmati makanan di meja-meja persegi yang mereka tempati.
Ponsel Mas Haris yang tergeletak di atas meja, tiba-tiba mengeluarkan dering. Aku langsung menoleh menatap ke arah layarnya. Ada sebuah panggilan dari kontak bernama ‘My Sweety’. Ya, itu adalah Fitri. Bahkan nama kontak untuk nomornya lebih manis ketimbang kontakku yang diberi nama ‘Istri’ oleh Mas Haris. Seketika nafsu makanku pun lenyap. Pisau dan garpu yang berada di tanganku langsung kuletakkan di atas selat solo yang bahkan belum habis separuhnya.
“Halo, Sayang,” kata Mas Haris saat mengangkat telepon dari adik kesayangannya. Kulihat wajah Mas Haris begitu berseri-seri. Dia tak henti tersenyum meski hanya berbicara jarak jauh dengan si Fitri.
“Mas lagi di mal sama Mbak Gita. Kenapa, Fit?” tanya Mas Haris dengan nada yang sangat lembut.
“Jemput? Kamu di mana memangnya?” Aku cuma bisa menahan jengkel saat diam-diam mendapati wajah Mas Haris yang semakin berseri-seri. Wajar kan kalau aku makin menaruh curiga kalau suamiku sikapnya terus-terusan begini?
“Oh, di rumah Mega. Oke, Mas jemput, ya. Bentar tapi. Mas baru aja makan.” Mas Haris terdiam sesaat. Seperti sedang mendengarkan khotbah panjang dari adiknya.
“Lho, ya berdua lah jemputnya. Sama Mbak Gita juga. Masa Mbak Gita ditinggalin.”
Aku menelan liur. Apa kan kubilang! Bahkan dia hanya mau dijemput oleh Mas Haris tok! Apa salahku memangnya? Mengapa dia tidak mau semobil denganku?
“Oke, oke. Jangan ngambek dong, Sayang. Iya, tunggu, ya. Mas ke sana. Sendirian.”
Tercengang aku mendengar kalimat Mas Haris. Lelaki itu … tega-teganya dia lebih mementingkan adiknya ketimbang aku sebagai istri yang kini mendampinginya. Lantas, dia akan pergi tanpa diriku?
Deg-degan sekali aku menunggu Mas Haris mematikan ponsel. Akhirnya lelaki itu melepaskan alat komunikasi selulernya juga. Tak enak hati dia menoleh ke arahku. Wajahnya seperti tengah menyimpan beban.
“Git, aku jemput Fitri dulu, ya?”
“Terus, aku sendirian di sini, Mas?” Dadaku langsung sesak. Air mataku rasanya mau tumpah lagi.
“Iya. Kamu di sini dulu. Atau, mau kuantar pulang sekalian?” Mas Haris terlihat bingung. Nada bicaranya begitu gamang.
“Kamu nggak lihat, makananku bahkan baru kesentuh dua tiga suap.” Kali ini aku benar-benar tak kuat untuk menahan desakan air mata. Aku menangis lagi. Sekarang lebih pilu dari yang tadi.
“Gita, please, ngertiin posisiku. Aku nggak mau Fitri ngambek. Dia nanti bakal nggak mau makan dan ngurung diri di kamar.”
Terus, bagaimana dengan perasaanku? Apa itu sama sekali tidak penting untuk Mas Haris?
“Aku ikut,” kataku sembari menghapus air mata dan memakai tas selempang warna beige milikku.
“Jangan, Gita. Kamu kuantar saja sampai rumah, setelah itu aku jemput Gita.” Mas Haris menahan lenganku.
“Memangnya ada masalah apa kalau aku ikut kalian, Mas?”
Mas Haris terdiam. Lelaki itu seolah tak berdaya. Aku tak suka dengan pertengkaran. Namun, kalau sudah begini, masa aku hanya diam saja terus menerus?
“Oke. Kalau terjadi apa-apa dengan Fitri, kamu tidak bakal bisa kumaafkan.”
Mas Haris bangkit dari duduknya. Pergi meninggalkanku untuk menuju meja kasir yang berada di depan.
Aku benar-benar sesak. Kuhapus air mata ini sembari menyambar belanjaan yang kuletakkan di kursi depan yang menghadap ke arahku. Ingin rasanya kulemparkan lingerie ini sekalian ke muka Fitri. Aku kesal dengan anak itu hari ini. Benar-benar sangat kesal. Tuhan, tolong tunjukkan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi di antara Mas Haris dan adik iparku tersebut.
(Bersebut)
Kusejajari langkah Mas Haris yang terburu-buru. Kakinya panjang sehingga langkah yang dihasilkan pri itu sangat lebar dan agak sulit kuimbangi. Namun, aku tak mau menyerah. Kugamit tangannya erat-erat dan akhirnya lelaki itu menyerah. “Pokoknya aku ikut,” kataku dengan keras kepala. Mas Haris terdengar menghela napas berat. Lelaki itu tampak setengah kesal sekaligus resah. Aku bisa membaca perasaan itu lewat ekspresi wajah yang dia kesankan. “Aku takut Fitri akan marah besar.” Lelaki itu berujar dengan suara lirih. Aku enggan peduli. Tetap kugamit lengan besar Mas Haris dan menuruni tangga eskalator dengan tekat yang kuat. Aku ini istrinya. Sesayang apa pun dia pada Fi
Sembari mendekap erat perasaan merana, aku berusaha untuk tetap bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur pengantin kami yang luas. Pikiranku benar-benar tak bisa lepas dari membayangkan Mas Haris dan Fitri yang entah sedang berbuat apa di luar sana. Inginku tetap berpikiran positif, tetapi naluriku menolak. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sikap adik iparku seperti penjajah yang menguasai penuh suamiku. Aku yang tadinya hanya memakai stelan piyama lengan panjang warna lavender, buru-buru menukar pakaian dengan lingerie hitam yang tadi kubeli di mal. Biar saja belum dicuci. Tak lupa kusemprotkan parfum berwangi apricot yang manis ke seluruh penjuru tubuh. Semoga ini bisa membuat Mas Haris luluh dan ujung-ujungnya mau terbuka tentang hubungannya dengan Fitri. Menunggu kehadiran Mas Haris, aku hanya bisa memainkan ponsel dan m
Aku yang telanjur merasa terbakar api kemarahan, langsung ke luar dari kamar dan menyusul Fitri yang secepat kilat masuk ke kamarnya. Kegeramanku makin bertambah-tambah kala mengetahui bahwa Mas Haris sudah berada di dalam sana, kemudian barulah disusul oleh sang adik. Makin merajalela keduanya! Kuketuk daun pintu kamar Fitri yang hanya bersebelahan saja dengan kamar milik kami. Kencang sekali sampai tanganku terasa sakit. Kalau memang harus bertengkar, maka malam ini baiknya bertengkar saja habis-habisan. “Kamu ini kenapa sih, Git?” Mas Haris muncul dari balik daun pintu. Lelaki itu lalu ke luar dan menutup pintu kamar sang adik kembali. Terdengar dari dalam teriakan Fitri yang mencaci makiku dengan bahasa kotor yang tak sepatutnya dikeluarkan oleh seorang adik kepada iparnya. 
Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi. “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku. Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa bara
“Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas. Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya. “Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.&nbs
“F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank
Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru
“Mbak Gita kenapa?” “Kamu kenapa sih, Git!” Sebuah sentuhan di pundak membuatku membuka mata. Aku sontak kaget melihat sosok Fitri yang duduk sembari memeluk guling dengan selimut yang masih menutupi paha ke bawahnya. Kutoleh lagi sumber sentuhan tadi. Ada Mas Haris yang berdiri di belakangku. Jadi … tadi yang kulihat itu apa? Aku benar-benar syok dan speechless saat menyadari bahwa bayanganku tak seperti fakta yang tersuguh. Tadinya perasaanku telah hancur berkeping-keping dan siap untuk lari sejauh mungkin dari rumah. Namun, nyatanya aku salah besar. Tak ada sosok Mas Haris di dalam selimut itu. Ternyata hanya ada Fitri yang tengah memeluk guling sembari tertawa-tawa di bawah lindungan selimut tebalnya.“Kamu k
Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun
Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat
Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.
Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe
Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n
Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.
Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya
Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos
Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta