Share

Petaka Lingerie Merah
Petaka Lingerie Merah
Author: Meisya Jasmine

1

last update Last Updated: 2022-01-05 19:47:38

“Git, belikan juga baju untuk Fitri. Dia suka warna merah.” Mas Haris berkata padaku saat aku asyik memilih-milih lingerie di counter yang khusus menjual aneka ragam pakaian dalam wanita.

            Aku tersentak. Belikan untuk Fitri, katanya? Baju seksi ini? Bahkan Mas Haris bilang adik perempuannya yang masih kelas dua SMA itu suka warna merah. Tentu saja aku tercengang mendengar perkataan lelaki yang baru menikahiku tiga bulan itu. Nuraniku mengatakan bahwa kata-katanya tadi sungguh ganjil.

            “Mas, ini kan ….” Tak sampai hati aku menerus kalimat. Suamiku yang harusnya menunggu saja di depan toko tapi malah ngotot ingin ikut masuk melihatku memilih lingerie, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

            “Kenapa memangnya, Gita?” lirih Mas Haris sembari makin mendekat padaku. “Belikan saja,” tambahnya lagi sembari mengulas senyum kecil.

            Cepat tanganku meraih gaun tidur menerawang warna merah yang satu set dengan celana tong berenda. Aku gemetar. Perasaanku benar-benar sangat tak enak. Suamiku, mengapa seruannya kali ini membuatku heran bukan kepalang.

            “Nah, yang itu bagus. Punyamu yang mana?” tanya Mas Haris sembari menggamit lenganku.

            “Aku ambil yang hitam saja.” Kusambar pakaian dengan model sama yang berada pada deretan nomor dua setelah lingerie merah tadi. Kakiku segera melangkah menuju kasir dalam keadaan tangan yang masih digamit erat oleh Mas Haris yang semula kukenal lewat aplikasi kencan selama dua bulan lamanya, kemudian tanpa kusangka malah mengajak menikah tanpa proses yang berbelit-belit.

            “Cuma ini saja?” tanya suamiku yang berperawakan tinggi besar dengan jambang tercukur rapi di kedua pipi tembam putih miliknya.

            “Iya.” Jujur, nafsu belanjaku sudah buyar. Tadinya aku ingin membeli beberapa underware baru dan kimono satin untuk tidur. Namun, ucapan Mas Haris yang minta dibelikan lingerie untuk si Fitri benar-benar membuatku kehilangan mood.

            Berada di depan kasir, pikiranku benar-benar melayang. Tak kuhiraukan Mas Haris yang mengeluarkan dompet untuk membayar dua potong baju malam tersebut. Aku benar-benar syok. Bukan karena aku tak suka suamiku mengeluarkan uang untuk adik semata wayangnya. Tidak sama sekali! Namun, masalahnya yang dibeli adalah sebuah pakaian sensual yang tak seharusnya dimiliki seorang gadis belia seperti Fitri. Terlebih, suruhan untuk membelinya itu keluar dari mulut seorang lelaki dewasa yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Fitri memang satu-satunya adik yang Mas Haris miliki. Namun, apakah pantas suamiku membelikan sesuatu yang bagiku tabu?

            “Ayo, Git.” Mas Haris menggenggam tanganku. Membuat pikiran ini langsung buyar seketika.

            “I-iya,” jawabku agak terbata sebab masih merasa janggal dengan perilaku Mas Haris hari ini.

            Kami berdua pun keluar dari toko pakaian dalam tersebut. Berjalan menyusuri mal dan menaiki tangga esklataor untuk naik ke lantai tiga. Aku tak tahu Mas Haris ingin mengajak ke mana lagi. Pikiranku masih berkelebat tentang Fitri.

            Gadis itu memang sangat cantik. Kulitnya putih, sama seperti Mas Haris. Tubuhnya mungil, 11-12 denganku. Berbanding terbalik dengan Mas Haris yang tingginya mencapai 179 sentimeter. Selain cantik, Fitri adalah gadis yang sangat manja. Saat kami pindah rumah, dia bahkan ingin ikut dan tidak keberatan meninggalkan papa mertuaku seorang diri. Ya, almaruhmah mama Mas Haris memang sudah meninggal empat tahun yang lalu sebab penyakit kanker payudara. Begitu menurut penuturan Mas Haris.

            Aku maklum jika Mas Haris sayang pada gadis itu. Apalagi kulihat Papa orangnya dingin dan sangat sibuk bekerja di kantor. Wajar jika Fitri lebih mau tinggal bersama kami ketimbang Papa. Aku tak masalah. Sama sekali tak merasa terganggu dan keberatan. Bahkan anak itu menurutku kelewat dekat dengan Mas Haris. Ke mana-mana harus dengan suamiku. Sekolah, pergi les, ekstrakurikuler, bahkan main ke tempat temannya pun minta diantar oleh suamiku. Untung Mas Haris seorang pengusaha kafetaria dan beberapa outlet minuman yang punya anak buah dan lebih banyak di rumah. Coba kalau pekerja kantoran? Mana dia tak mau jika aku yang mengantar. Yah, kupikir mungkin dia memang sudah begitu. Apa hakku untuk mengubah kebiasaannya selama ini? Namun, mengapa hari ini tiba-tiba aku berpikiran lain?

            “Kamu kenapa melamun, Git?” Mas Haris yang merangkul tubuhku bertanya dengan nada lembut. Lelaki itu mengusap-usap rambut ikal gantung sebahuku. Matanya menatap dengan tatapan sehangat matahari pagi. Jika dia sudah bersikap begini, sedikit banyak pikiran jelekku perlahan sirna.

            “Nggak, Mas. Nggak apa-apa,” elakku.

            “Mikirin apa?” Lelaki itu masih mendesak. Kami terus berjalan, tapi Mas Haris tak melepaskan tatapannya dari wajahku.

            “Lingerie itu, Mas,” kataku tak bisa menahan diri.

            “Kenapa?”

            “Fitri kan masih remaja. Kenapa Mas belikan untuknya?” Aku menatap Mas Haris dengan wajah takut-takut. Sebenarnya aku khawatir bila dia tersinggung.

            “Lucu soalnya. Dia pasti suka.” Senyum Mas Haris dikulum. Lelaki itu kemudian memandang lurus ke depan sembari tak mengenyahkan senyumannya. Jantungku langsung berdegub sangat kencang. Entah mengapa aku makin merasa tak enak perasaan.

            “Eh, Git, Fitri itu mulai pacar-pacaran sepertinya. Tolong kamu ingatin sesekali, ya? Aku takut dia kebablasan.” Mas Haris mengencangkan rangkulannya. Kami terus berjalan melewati beberapa toko yang berjejer di sepanjang mal yang luas.

            “Wajar, Mas. Namanya remaja,” kataku masih dengan degupan jantung yang keras.

            “Aku nggak suka, Gita. Aku maunya kamu yang ingatin. Kalau aku yang buka suara, aku takut khilaf soalnya.” Nada Mas Haris saat ini berubah serius. Tak ada senyuman lagi di wajahnya. Aku seketika bergidik. Mengapa dia sampai segitunya? Bukankah hal yang wajar bila remaja mulai menyukai lawan jenisnya?

            “Kita makan dulu ke atas, yuk. Sambil ngobrol-ngobrol.” Mas Haris kemudian mengajakku untuk naik ke lantai lima dengan menaiki eskalator. Lelaki itu tak melepaskan rangkulannya meski kami berada di atas tangga sekali pun. Dia memang romantis. Penuh sentuhan dan kata-kata manis. Namun … ah, sudahlah. Aku merasa lelah jika berpikiran negatif terus. Bukankah aku harusnya bersyukur bisa menikah dengan seorang pengusaha yang tajir sepertinya dalam keadaan usiaku yang sudah 35 tahun? Come on, Gita! Mimpimu untuk menikah dan menemukan pasangan yang sempurna sudah terwujud. Cita-citamu untuk resign dari bank dan menjadi ibu rumah tangga sembari membantu suami untuk berbisnis pun sekarang sudah kau rengkuh. Apalagi? Masa hanya gara-gara lingerie, kamu lupa untuk mensyukuri nikmat besar ini?

            Kami tiba di sebuah resto yang menjual kuliner khas Jawa. Mas Haris memang selalu mengajak makan di sini sejak pertama kali kami bertemu setelah tiga hari chatting di aplikasi kencan. Pertemuan yang tak bakal kulupakan seumur hidup! Tak kusangka orang asing yang jarak usianya hanya lebih tua sebulan dariku itu langsung bisa klop dan bahkan tak lama kemudian mengajak untuk menikah. Padahal, selama ini aku kerap dekat bahkan sampai pacaran dengan beberapa pria, baik rekan kerja sendiri, teman sekolah, maupun berjumpa lewat dunia maya. Namun, semuanya zonk. Gagal lagi dan lagi. Aku sampai putus asa dan berpikir tak bakal menikah sampai kapan pun. Ternyata, Tuhan punya kehendak lain. Jodohku adalah Mas Haris yang rupanya tengah sibuk membangun bisnis selama beberapa tahun ke belakang. Saat dia semakin sukses dan mapan secara finansial, barulah kami dipertemukan dan kemudian dipersatukan. Ya, kupikir itulah hikmahnya.

            Setelah memesan beberapa menu, Mas Haris yang duduk di sampingku, mengeluarkan ponsel miliknya. Aku yang awalnya setengah melamun tetapi tetap menatap ke arah ponselnya, tiba-tiba membelalakkan mata besar-besar. Aku terkejut luar biasa. Syok. Terpampang jelas foto Fitri setengah badan yang mengenakan bikini one peace warna orange tengah menopang dagu di tepi kolam berenang, dijadikan Mas Haris sebagai wallpaper di dalam ponselnya. Demi Tuhan, kemarin foto pernikahan kamilah yang ada di sana. Namun, mengapa Mas Haris menggantinya dengan gambar Fitri? Terlebih, pakaian gadis itu sangat terbuka dan … seksi.

            Mas Haris, kamu sebenarnya menyimpan rahasia apa?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
jangan" bukan saudaranya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Petaka Lingerie Merah   2

    “Mas, kenapa foto Fitri yang kamu jadikan wallpaper?” Aku bertanya dengan nada yang agak tinggi. Belum hilang degup keras di jantungku, kini mataku giliran yang mulai bereaksi. Terasa berbayang kini aku memandang sebab air mata yang mau luruh jatuh membasahi pipi. “Lho, memangnya kenapa, Git? Fitri kan adikku.” Mas Haris menjawab dengan santai. Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap ke arahku dengan wajah heran. “Kamu kenapa menangis?” Suara Mas Haris sangat lembut. Tangannya yang panjang dan besar mengusap air mata ini dengan gerakan pelan. “Kamu … sebenarnya ada apa dengan Fitri?” Bibirku gemetar saat menanyakan kalimat barusan padanya. Wajah Mas Haris langsung berubah. Tangan berbu

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   3

    Kusejajari langkah Mas Haris yang terburu-buru. Kakinya panjang sehingga langkah yang dihasilkan pri itu sangat lebar dan agak sulit kuimbangi. Namun, aku tak mau menyerah. Kugamit tangannya erat-erat dan akhirnya lelaki itu menyerah. “Pokoknya aku ikut,” kataku dengan keras kepala. Mas Haris terdengar menghela napas berat. Lelaki itu tampak setengah kesal sekaligus resah. Aku bisa membaca perasaan itu lewat ekspresi wajah yang dia kesankan. “Aku takut Fitri akan marah besar.” Lelaki itu berujar dengan suara lirih. Aku enggan peduli. Tetap kugamit lengan besar Mas Haris dan menuruni tangga eskalator dengan tekat yang kuat. Aku ini istrinya. Sesayang apa pun dia pada Fi

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   4

    Sembari mendekap erat perasaan merana, aku berusaha untuk tetap bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur pengantin kami yang luas. Pikiranku benar-benar tak bisa lepas dari membayangkan Mas Haris dan Fitri yang entah sedang berbuat apa di luar sana. Inginku tetap berpikiran positif, tetapi naluriku menolak. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sikap adik iparku seperti penjajah yang menguasai penuh suamiku. Aku yang tadinya hanya memakai stelan piyama lengan panjang warna lavender, buru-buru menukar pakaian dengan lingerie hitam yang tadi kubeli di mal. Biar saja belum dicuci. Tak lupa kusemprotkan parfum berwangi apricot yang manis ke seluruh penjuru tubuh. Semoga ini bisa membuat Mas Haris luluh dan ujung-ujungnya mau terbuka tentang hubungannya dengan Fitri. Menunggu kehadiran Mas Haris, aku hanya bisa memainkan ponsel dan m

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   5

    Aku yang telanjur merasa terbakar api kemarahan, langsung ke luar dari kamar dan menyusul Fitri yang secepat kilat masuk ke kamarnya. Kegeramanku makin bertambah-tambah kala mengetahui bahwa Mas Haris sudah berada di dalam sana, kemudian barulah disusul oleh sang adik. Makin merajalela keduanya! Kuketuk daun pintu kamar Fitri yang hanya bersebelahan saja dengan kamar milik kami. Kencang sekali sampai tanganku terasa sakit. Kalau memang harus bertengkar, maka malam ini baiknya bertengkar saja habis-habisan. “Kamu ini kenapa sih, Git?” Mas Haris muncul dari balik daun pintu. Lelaki itu lalu ke luar dan menutup pintu kamar sang adik kembali. Terdengar dari dalam teriakan Fitri yang mencaci makiku dengan bahasa kotor yang tak sepatutnya dikeluarkan oleh seorang adik kepada iparnya. 

    Last Updated : 2022-01-05
  • Petaka Lingerie Merah   6

    Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi. “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku. Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa bara

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   7

    “Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas. Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya. “Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.&nbs

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   8

    “F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank

    Last Updated : 2022-01-10
  • Petaka Lingerie Merah   9

    Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru

    Last Updated : 2022-01-10

Latest chapter

  • Petaka Lingerie Merah   56

    Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun

  • Petaka Lingerie Merah   55

    Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat

  • Petaka Lingerie Merah   54

    Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.

  • Petaka Lingerie Merah   53

    Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe

  • Petaka Lingerie Merah   52

    Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n

  • Petaka Lingerie Merah   51

    Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.

  • Petaka Lingerie Merah   50

    Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya

  • Petaka Lingerie Merah   49

    Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos

  • Petaka Lingerie Merah   48

    Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status