Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin.
Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah.
“Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang istri sekaligus menantu yang patuh.” Senyuman dari bibir berhias lipstik warna bata itu begitu manis tersungging. Wajah Ummi malam ini benar-benar cerah, meski dia baru saja melemparkan ucapan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya barusan.
Aku hanya mengangguk dan tersennyum kecil. Di balik semua ketabahan ini, ada rasa sakit yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Air mata ini sungguh telah kering. Tak dapat lagi menetes terlebih di hadapan mereka. Siang hingga sore tadi sudah lelah aku tergugu sendirian di kamar tanpa mendapatkan secuil pun perhatian dari Mas Yazid. Jadi, buat apalagi aku sibuk meratap. Toh, tak bakal ada yang mau peduli.
“Ya, memang seperti itu, dong. Mira harus menerima semua keputusan yang dibuat oleh keluarga besar suaminya. Secara, di rumah ini Mira hanya menumpang hidup. Bukan begitu, Mir?” Tatapan Abi begitu penuh remehan. Membuat aku benar-benar terhenyak tak berdaya.
“I-iya, Abi ....” Bayangkan saja betapa semakin terhinanya aku di rumah ini. Sibuk dicaci maki, dihina dina, diinjak-injak hingga jiwa ini centang perenang pun lagi-lagi mulut Cuma bisa berkata iya.
“Yazid, siapkan diri besok. Abi sudah telepon Dinda untuk datang ke sini. Dia sampai minta izin pada atasan kantornya untuk tidak masuk kerja. Mira, kamu masak makanan yang enak-enak. Setelah Subuh langsung ke sini. Jangan lupa untuk membuat kue atau jajanan pasar. Tunjukkan pada Dinda bahwa kamu ini adalah contoh istri tua yang patut untuk ditiru. Untuk masalah mengurus rumah tangga memang Abi akui kehebatanmu. Namun, kalau mandul, memang semua jadi tidak ada hebatnya.” Setelah dinaikkan, aku benar-benar diempaskan kembali oleh Abi. Pria yang mengenakan kemeja warna abu itu terkekeh hingga perut buncitnya naik turun. Apakah baginya aku hanya sebuah lelucon?
“Mira, Ummi juga minta kamu berdandan yang cantik. Tunjukkan pada Dinda bahwa menjadi istri Yazid itu adalah sebuah kebanggaan dan kehormatan sendiri bagimu. Pakai pakaian terbaik. Ummi tidak mau kamu tampak lusuh apalagi tidak berdandan. Mengerti?” Ucapan Ummi tak kalah sengitnya. Sebenarnya aku ini apa di mata mereka? Sebuah propertikah?
“Baik, Ummi.” Meski hati ini tercabik-cabik, tetap saja aku menunjukkan rasa patuh yang dalam kepada dua haji dan hajjah ini. Biar mereka puas dan bahagia! Anggap saja dunia dan isinya sedang ada di dalam dekapan mereka, sampai-sampai menghinakan orang lain merupakan hal mudah bagi keduanya.
Makan malam kali ini sempurna membuatku makin tersadar akan sosok orang-orang di rumah ini. Mereka hanya membanggakan hal-hal yang bersifat duniawi. Harta, tahta, rupa, dan keturunan. Itu saja yang ada di otaknya. Sama sekali tak mencerminkan sikap arif dan bijaksana yang seharusnya dimiliki oleh orang setua Abi maupun Ummi. Jangan ditanya betapa kecewanya aku kepada kedua mertua sekaligus suami. Tak ubahnya, mereka bertiga hanya penghancur semangat bagiku kini. Tiada lagi yang dapat kuharapkan dari ketiganya, kecuali harta dan kenyamanan hidup yang kini tersedia.
Sesampainya di rumah, aku sama sekali tak mau membahas hal ini lagi kepada Mas Yazid. Lelaki itu kulayani seperti biasa. Setelah salat Isya berjamaah, Mas Yazid minta disiapkan air hangat beserta bath foam untuk dirinya berendam. Tanpa banyak omong, aku lekas bergerak dan menyiapkan segala yang dia minta.
Lelaki itu berendam di kamar mandi cukup lama. Sekitar dua puluh menit. Sepanjang dia bertapa di dalam sana, aku sibuk menyiapkan body butter dan minyak zaitun untuk urut. Tempat tidur sebelumnya sudah kualasi dengan handuk lebar. Semua ini untuk apa? Ya, untuk memuliakan Yazid Al Hussein yang dipertuan agungkan. Bukankah diriku ini sudah layaknya pelayan yang dapat ditunggangi bagi pria tinggi tersebut? Ah, apakah seorang Dinda yang notabene adalah wanita karier bisa mengimbangi kehidupan Mas Yazid yang selalu minta dilayani bak sedang di hotel bintang lima ini? Semoga saja janda anak satu itu betah dan rela mengabdikan dirinya pada keluarga yang penuh titah dan perintah.
Mas Yazid keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit menutupi pusat ke bawahnya. Maka tampaklah dadanya yang kotak-kotak dan lembab tersebut. Rambut ikalnya yang mulai menyentuh leher, basah dan tersisir ke belakang. Dia begitu tampan meski tiada senyum atau raut keceriaan. Lelaki itu terus berjalan untuk kemudian rebah di atas ranjang yang telah kualasi tadi.
“Mir, tolong pijatkan. Aku sangat lelah. Setelah ini jangan lupa bikinkan jahe hangat.” Mas Yazdi lalu terlungkup dan membiarkan tubuhnya kubaluri dengan krim aroma moringa tersebut. Jemariku lincah bermain di atas punggung berototnya. Lelaki itu terlihat tenang dan rileks. Diam-diam aku mengintip ke arahnya. Ternyata lelaki itu sampai memejamkan mata. Mungkin saking nikmatnya. Habis berendam lalu dipijat. Enak betul jadi Mas Yazid. Semua tinggal tunjuk dan perintah saja. Tak punya anak pun langsung dicarikan istri kedua oleh orangtua. Kurang apalagi hidupnya? Cuma aku saja yang bodoh mau-maunya bertahan dalam keluarga yang merasa paling tinggi dan ber-power ini. Biarlah, aku yakin suatu saat nanti bakal kutemukan hikmah besar dan kebagahigaan yang tiada berujung.
“Mir, masalah Dinda. Aku ... tidak yakin bisa mencintainya.” Mas Yazid tiba-tiba berucap. Kaget sekali aku mendengarkannya. Mengapa pria itu kini malah berkata demikian setelah tadi siang dia marah dan begitu emosional saat aku membahas perkara sulit ini.
Aku tak berani menjawab. Hanya membiarkan lelak itu terus berbicara, sementara jari jemariku tak henti memberikan pijatan lembut pada punggungnya yang putih bersih ini.
“Dia sepupuku. Saat kecil kami sering sekali bermain bersama. Kala itu Ammah Zahra masih hidup. Setelah menginjak remaja, kami memang jarang sekali bertemu. Selain karena Ammah meninggal dan ayah Dinda menikah lagi, gadis itu juga jadi tertutup dan enggan bermain ke rumah saudara-saudara ibunya. Aku juga heran mengapa Abi dan Ummi malah ingin sekali aku menikahi Dinda yang baru saja ditinggal mati oleh Ami Firdaus. Jika memang alasannya untuk mencari keturunan, mengapa harus Dinda? Ah, sudahlah. Aku tak mau durhaka pada Abi dan Ummi. Kita ikuti saja kata-kata mereka.” Terungkap sudah isi hati terdalam Mas Yazid. Mungkin, tadi siang dia terlalu lelah dan tertekan. Sampai-sampai hanya kemarahan saja yang menyeruak dari bibir tebalnya.
“Mira? Kamu dengar omonganku, kan?” Mas Yazid berbalik tubuh. Lelaki itu terlentang sembari menatapku. Irisnya yang cokelat begitu lembut memandangiku.
“Iya, aku dengar, Mas.” Aku mengangguk sembari tertunduk.
“Jika memang pernikahan dengan Dinda harus terjadi, kuharap kamu bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku tidak mau kita pisah rumah. Kita harus tinggal satu atap, apa pun yang terjadi.” Mas Yazid bangkit. Lelaki itu duduk menghadapku dengan dada yang bertelanjang. Bahkan handuk di pinggangnya pun kini telah terlepas.
Aku hanya diam seribu bahasa. Tak sanggup berucap. Mau berkata apa pun tak bakal ada gunanya. Mungkin inilah yang terbaik, pikirku.
“Mir, aku hanya menakutkan satu hal. Bagaimana jika setelah pernikahan itu terjadi, Dinda juga tak bakal hamil sepertimu?” Mas Yazid menggenggam kedua tanganku.
Aku menatapnya dalam. Menelisik pada bola mata jernih yang ia miliki. Mencari-cari masihkah ada ketulusan yang disimpan untukku. Kusadari, ternyata Mas Yazid masih seperti dulu. Tetap ada sepotong cinta yang dia siapkan bagi aku cinta pertamanya.
Pelan kepalaku menggeleng. Kugigit bibir bawah ini dengan hati yang resah. Apabila ketakutan Mas Yazid bakal terjadi, akulah pihak yang paling marah dan terluka atas keputusan gila ini. Tak terima aku. Sungguh mati, akan kubuat perhitungan besar pada Ummi dan Abi.
“Entah, Mas.” Bibirku bergetar mengucapkannya. Mas Yazid sontak menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan masygul.
“Aku memang sungguh takut pada Abi dan Ummi, karena hidup kita bergantung pada mereka. Semua harta pusaka ini masih milik mereka. Jika melawan, risikonya sangat berat. Meski hatiku sedikit menolak, tetapi kurasa ini yang paling terbaik. Kita jalani dulu ya, Mir. Aku harus sabar dan kuat. Kamu tidak mau kan, kita diusir hanya karena menolak permintaan mereka? Mau makan apa kita, Mir? Sementara semua usaha masih dipegang oleh Abi.” Kental sekali nada putus asa yang keluar dari ucapan Mas Yazid, seolah dia itu adalah sosok lelaki yang tiada punya daya upaya.
“Mas, kenapa kita tidak coba untuk mandiri?”
Mas Yazid membulatkan mata. Dia melepaskan genggaman tangannya. “Mandiri katamu? Tidak, Mir. Aku tidak mau dan tidak bakal sanggup. Aku lebih memilih untuk meninggalkanmu ketimbang harus kehilangan segalanya.”
Termangu aku dibuatnya. Ternyata ... harta adalah segala-galanya bagi Mas Yazid ketimbang diriku. Ingin tertawa dalam tangis. Mengenaskan sekali nasibku. Bahkan tak ada satu pun yang menginginkan keberadaanku di dunia ini.
“Mir, jangan marah, ya? Aku hanya mengatakan yang sesungguhnya.” Mas Yazid membelai rambutku. Kemudian, dengan agak kasar, lelaki itu mendorongku hingga tubuh ini rebah di atas ranjang.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Mas Yazid sibuk mencumbuiku. Dia sama sekali tak punya perasaan. Tak meminta pendapatku, apakah aku mau melakukannya malam ini atau tidak. Bahkan kata maaf pun enggan dia luncurkan setelah melempar kalimat menyakitkan barusan. Ya Tuhan, hapuslah rasa sakit ini. Sunguh, aku rasanya tak lagi kuat menerima perlakuan Mas Yazid dan kedua orangtuanya yang makin hari tak manusiawi tersebut.
(Bersambung)
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”* Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut. Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memeja
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?  
Bagian 12 Suasana sempat hening sejenak di mobil. Sarfaraz telah berhenti menangis, begitupun Ummi dengan ocehan tak pentingnya. Hanya deru pendingin yang terdengar. Sesekali aku melirik ke arah Azka, begitupula pemuda itu. Mata kami beberapa kali banyaknya saling bertumbuk. Entah mengapa, jantungku selalu saja berdebar tak keruan ketika menangkap manik hitamnya yang memancarkan kehangatan. Berulang kali aku beristighfar. Memohon ampun pada Allah jika memang apa yang kulakukan ini salah. Namun, hati kecil kian tak dapat dibohongi. Bagai ada getaran aneh entah apa namanya. Merambat dan mengikat kuat. Makin lama membuatku bertanya, perasaan apakah ini namanya? Sungkan aku untuk mengakui. Sekuat tenaga menepis segala praduga. Berusaha untuk realistis dan sadar diri. Ingat Almira, statusmu adalah istri dari seorang Yazid Al Hussein. Meski di
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t