“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
*
Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut.
Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memejamkan mata demi meresapi pijatan dari hujan air hangat yang mampu mengendurkan tegang pada otot pundak. Nikmat sekali rasanya. Setidaknya rasa penat dan muntab yang tersimpan dalam hati, perlahan dapat terhapus.
Usai mandi, aku membangunkan Mas Yazid. Lelaki itu bakal marah jika dirinya kesiangan. Meski agak susah, akhirnya Mas Yazid mau juga terbangun dan bergegas mandi. Selama lelaki itu membersihkan diri dari hadas besar, maka aku menyiapkan pakaian dan sarung untuknya salat.
Setelah itu, kami salat berjamaah di mushala yang berada di tengah rumah. Merdu sekali suara lantunan ayat suci yang dikumandangkan Mas Yazid. Selalu saja aku terkagum dengan kemampuannyan mentartilkan Alquran. Sampai tak sadar air mataku meleleh kala Mas Yazid membacakan surat Annisa ayat tiga yang kira-kira artinya begini:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Tertegun aku mendengarkan bacaan tersebut hingga selesai. Air mata ini jatuh membasahi pipi hingga mukena. Entah ada unsur kesengajaan atau hanya kebetulan semata. Seakan ayat ini sangat pas bagi keadaan rumah tangga kami saat ini. Seketika aku tersadar, bahwa Mas Yazid hanyalah manusia biasa. Dia bukan ulama apalagi nabi. Mana mungkin dia dapat berlaku adil jika memang poligami bakal terjadi di kemudian hari. Namun, lagi-lagi kehendak Abi dan Ummi tak bakal bisa dihentikan oleh siapa pun kecuali Yang Punya Hidup.
Dalam rukuk dan sujud terakhir, aku berdoa pada Tuhan agar Dia mau menyelamatkan hati dan jiwa ini. Aku hanya minta dikuatkan bahu untuk memanggul setiap beban berat yang pasti akan muncul pada hari-hari ke depan. Kusebut nama Mas Yazid berkali-kali, minta dijaga hatinya agar dia hanya dapat mencintai diriku seorang. Sungguh, hati ini belum ikhlas untuk berbagi.
Setelah salam, langsung tanganku meraih tangan Mas Yazid untuk kucium dengan takzim. Lelaki itu seperti biasa mengusap kepalaku berkali-kali dengan lembut. “Mira, maaf ya, jika akhir-akhir ini kata-kataku sering menyakitimu.”
Terdiam membeku aku mendengarnya. Mas Yazid benar-benar labil, pikirku. Sebentar dia ketus dan emosional, sebentar lagi ucapannya waras serta mampu menggugah hati. Sebenarnya, apa yang dirasakan lelaki ini? Tertekankah dia? Atau bagaimana? Lantas, sebagai istri, apa yang harus kulakukan? Ya Tuhan, kondisi seperti ini membuatku bingung sekaligus resah bukan kepalang.
“Keadaan ini benar-benar membuatku bingung campur pusing, Mir. Kamu bisa mengerti posisiku, kan?” Mas Yazid yang berkopiah rajut warna putih itu menatapku dengan lembut. Tangannya tak henti menggenggam jemari ini.
Aku mengangguk pelan. Berusaha kuat dan tabah atas segala cobaan yang bakal menerjang. Percuma memberontak untuk saat ini. Tak bakal ada hasil atau guna.
“Baiklah, Mir. Semoga hari ini kita bisa sama-sama melewatinya. Kamu harus kuat, ya. Supaya aku juga semangat.” Mas Yazid melayangkan kecupan di keningku. Hangat sekali. Namun, jujur ada rasa nyeri yang menghunjam dada. Sungguh tak dapat dipungkiri jika sedikt banyak aku tetap meras kecewa.
Pagi itu, kusiapkan pakaian terbaik untuk dikenakan Mas Yazid. Sepotong kemeja batik lengan panjang corak burung cendrawasih dengan warna ekor yang cerah. Tak lupa celana bahan yang telah kusetrika licin juga telah siap untuk dipakai Mas Yazid untuk pertemuan ‘spesial’ di rumah Abi-Ummi.
Aku juga menyiapkan gaun warna magenta dan khimar warna soft pink. Semua baju-baju tersebut kulipat serapi mungkin dan memasukkannya ke dalam paper bag untuk kemudian dibawa ke rumah depan. Setelah nanti selesai masak, maka pakaian ini akan kami kenakan untuk menyambut kehadiran Dinda sekeluarga.
Kami berdua berjalan sembari bergandengan tangan untuk meyambangi rumah depan. Suasana pagi ini begitu syahdu. Burung berkicau ramah dengan sinar mentari yang mulai menyingsing dari ufuk timur. Semilir angin pagi yang sejuk berembus menerpa wajah. Namun, hati ini begitu pilu meski pagi menyambutku dengan begitu gempita. Hampa benar perasaan ini. Kecamuk memenuhi dada hingga begitu sesak kala menarik napas. Ah, bisakah aku bertahan dalam keadaan yang serba sulit ini?
Bi Tin membukakan pintu dengan senyuman ramahnya. Dia tak lupa menyapa dan mengucapkan selamat pagi pada kami berdua. Aku bisa menangkap sinar prihatin dari matanya kala kami saling bersitatap. Paham jika perempuan paruh baya yang selalu memperlakukanku dengan hangat itu sedang merasa tak baik-baik saja pagi ini. Kami seakan satu hati dan saling mengerti bahwa keadaan yang akan terjadi pada beberapa jam ke depan sungguh tak diinginkan.
“Bi, mari kita masak. Bahan makanannya sudah diantar oleh tukang sayur belum?” Aku menggandeng Bi Tin. Sementara Mas Yazid bersantai di ruang tengah untuk menyalakan televisi.
“Sudah, Neng. Pas selesai azan Subuh, Pak Dahlan ngantarin sayur mayur dan lauk pauknya. Ummi yang pesan ke dia dari kemarin malam katanya.” Mata Bi Tin seolah menyiratkan kesedihan.
“Baik, Bi. Bibi yang masak, Mira bikin marble cake, bolu mangkok, sama es buah, ya.” Aku berkata pada Bi Tin sembari membuka kabinet atas pada kitchen set, menurunkan segala perlengkapan untuk membuat kue.
“Iya, Neng. Ummi masih di kamar. Perlu dipanggil nggak, Neng? Bibi takut salah masak. Nanti jadi ribut lagi.” Wajah Bi Tin menatap takut-takut.
“Ini aku datang!” Suara Ummi lantas mengejutkan kami. Hampir saja sebungkus tepung yang berada di tanganku jatuh ke lantai.
“Maaf, Ummi. Bibi kira Ummi masih di kamar.” Bi Tin tertunduk lesu. Perempuan paruh baya itu selalu saja takut apabila Ummi marah meski pembantu setia itu telah bekerja selama berpuluh tahun. Bi Tin pernah bilang, kalau bukan karena gaji yang sangat tinggi, sudah pasti dia hengkang dari dulu. Itu dikarenakan sikap Ummi yang angin-anginan. Kadang baik, kadang juga luar biasa sensitif.
“Iya, nggak apa-apa.” Ummi menjawab ketus. Namun, tak berapa lama wajahnya kembali semringah. Senyumnya mengembang begitu manis.
“Almira, mantu Ummi yang paling cantik, mau bikin apa?” Ummi mendekatiku. Perempuan yang mengenakan kaftan lengan ¾ warna hitam dengan aksen manik-manik warna gold di daa itu menegur ramah. Bahkan Ummi tak segan merangkulku.
“Marble cake, Mi. Rencana mau bikin bolu mangkok dan es buah juga. Ummi punya ide lagi untuk menu lain?” Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengukir senyum di bibir, menyembunyikan rasa gamang yang menyelimuti hati.
“Itu saja cukup, Mira. Pintar sekali kamu, Mir. Semua bisa. Cuma sayang, nggak bisa punya anak aja kekuranganmu. Coba kalau kamu bisa hamil. Nggak bakal ini terjadi.” Ummi tersenyum getir. Dia langsung membuang pandang ke arah lain.
Walaupun terbesit rasa sakit yang mendalam, aku coba untuk tegar di hadapannya. “Mungkin ini sudah takdirnya, Mi. Siapa tahu, dosa-dosa Mira selama ini akan terhapus akibat sabar dan ikhlas saat Mas Yazid melakukan poligami.” Bohong jika aku sungguhan mengatakan hal tersebut dengan lapang dada. Tentu saja ucapan barusan hanya pantas-pantasan saja. Demi menyenangkan hati Ummi belaka. Namun, di balik itu semua, terpatri pilu yang tak bakal dapat dihapus dengan apa pun.
“Syukurlah kalau kamu bisa menerima, Mir. Ummi dan Abi Cuma ingin punya cucu untuk meneruskan keturunan. Itu saja. Sebenarnya tak ada maksud sama sekali untuk menyakitimu apalagi Yazid. Mengerti, kan?” Selembut apa pun kata-kata Ummi, tetap saja aku sama sekali tak bakal merasa tenang. Bagiku ini adalah petaka.
Aku hanya mengangguk hormat pada Ummi, kemudian tangan ini segera memecahkan telur dan memasukkan bahan lainnya untuk dikocok menggunakan mixer. Sepanjang waktu, aku hanya membayangkan betapa hancurnya hatiku untuk beberapa jam ke depan. Sosok Dinda yang hanya beberapa kali kutemui selama tujuh tahun menikah dengan Mas Yazid, samar-samar tergambar dalam benak.
Perempuan cantik dengan tubuh tinggi semampai dan gemar mengecat rambut dengan warna-warna terang tersebut terakhir kali berjumpa kami dua tahun yang lalu saat Idulfitri. Sikapnya lumayan cuek dan jarang tersenyum. Terkesan kurang ramah dan tidak banyak bicara. Saat itu dia masih bersuami dan putra mereka masih sangat kecil. Entah bagaimana sekarang wanita yang bekerja di sebuah perusahaan penyedia jasa asuransi tersebut. Apakah dia masih bersikap seperti dulu atau sudah berubah, aku pun tak tahu.
Meski pikiran ini kalut, untung saja semua sajian kue buatanku dapat terhidang dengan cantik. Dua cetak marble cake dan dua puluh kap bolu mangkok kukus tersusun rapi di dalam wadah khusus kue yang terbuat dari keramik bertutup kaca tebal. Kutata semuanya di atas meja makan, berdampingan dengan es berisi aneka potongan buah yang terhidang dalam wadah kaca besar.
Masakan Bi Tin dan Ummi pun telah matang semua. Ikan kakap acar, sop iga sapi, perkedel jagung, dan cumi asin balado kini turut memenuhi meja makan. Untung saja ukuran meja yang terbuat dari kayu jati kualitas wahid ini ukurannya lumayan luas dan panjang. Makanan sebanyak apa pun masih bisa tertampung di atasnya.
“Mira, kamu mandi lagi. Pakai baju yang bagus dan dandan yang cantik. Yazid disiapkan juga. Pakai kamar kalian di sini saja. Jangan pulang ke rumah depan.” Ummi memberi titah yang tak boleh dibantah. Aku pun hanya dapat menurut dan bergegas mendatangi Mas Yazid yang sedari tadi berbaring santai di ruang televisi bersama Abi.
“Mas, Ummi bilang kita harus siap-siap sekarang,” kataku pada sang suami yang terlihat asyik menyaksikan serial western kesukaannya. Lelaki itu kemudian bangkit dan menggandeng tanganku.
“Nikmatilah masa-masa kalian berdua karena sebentar lagi bakal ada orang ketiga.” Abi terkekeh geli. Itu sama sekali tidak lucu bagiku. Hanya menambah sayatan luka dalam hati yang kian menganga.
Mas Yazid menoleh ke arahku dengan wajah yang pias. Dia memberikan kode agar kami segera pergi dan tak usah meladeni kata-kata Abi barusan. Aku menurut dan berjalan sembari terus menggandeng Mas Yazid, menuju kamar yang biasa kami gunakan kala menginap di rumah besar bergaya klasik ala Eropa yang catnya serba putih ini.
Saat berdua di kamar, kami berdua segera mengganti pakaian dengan baju yang kubawa dari rumah. Kubantu Mas Yazid untuk mengancing bajunya. Lelaki ini begitu gagah saat mengenakan batik yang kupilih. Pas sekali di badannya yang proporsional.
Mas Yazid menyisir rambut ikalnya dengan gaya belah tengah. Sudah setengah tahun dia tidak pangkas sehingga rambutnya telah lumayan panjang, hampir menyentuh pundak. Tampan sekali dia, apalagi saat tersenyum. Aduhai, senanglah dirimu Dinda. Mendapat suami orang yang begini rupawan dengan harta melimpah. Luar biasa. Apalah dayaku yang perempuan mandul tak beranak ini. Syukur-syukur tak ditendang ke tong sampah.
Tak lupa kusemprotkan parfum beraroma campuran orange, ginger, dan kelopak bunga peony ke leher dan pakaian Mas Yazid. Harum betul suamiku. Membuat siapa saja pasti terkesima jika berada di dekatnya. Yakin, Dinda pasti langsung luluh dalam sekali tekuk. Tak ada lagi kesan geli saat sadar bahwa mereka ini bersepupu dan pernah akrab saat kecil dulu.
“Mira, kamu sungguh kuat. Apakah di hatimu sedang tersenyum juga?” Mas Yazid melingkarkan tangannya saat aku hendak memakai gamis.
“Entahlah, Mas,” jawabku dengan setengah hati sembari menepis pelan tangannya. Kukenakan gamis tersebut, lalu Mas Yazid membantu menarik ke atas ritsleting yang berada di punggung. Dia berdiri di belakangku, sembari kembali memeluk dan menatap ke arah cermin besar yang tertempel pada lemari jati.
“Wajahmu cantik, Mir. Dari dulu aku selalu sayang padamu. Makanya, saat lulus kuliah aku langsung melamar dirimu untuk menjadikan seorang istri. Ternyata, takdir itu pahit ya, Mir.” Ucapan Mas Yazid kali ini membuatku sedikit merasa tersentuh. Teringat akan masa lalu yang indah.
“Sudahlah, Mas. Ini adalah keputusan kita bersama.” Ketegaran kini adalah sahabat karibku. Kami sangat dekat dan hanya dia yang saat ini kubutuhkan. Tanpa rasa tegar, mungkin aku hanya butiran partikel debu yang enyah saat angin meniupnya.
Tanpa membuang banyak waktu, aku segera mengenakan make up. Tak perlu tebal, yang penting terlihat fresh. Mas Yazid ikut membantuku untuk mengikat rambut lurus sebahu ini. Tumben sekali dia berlaku seperti ini. Bahkan, khimarku pun dia bantu untuk memasangkannya. Mas Yazid, tingkahmu semakin membuatku terpuruk dan takut kehilangan. Harusnya kau tampar saja pipi ini agar pelan-pelan aku bisa membencimu.
“Kamu cantik, Mir.” Mas Yazdi mengusap kepalaku yang kini telah terbungkus khimar.
“Namun sayang, mandul. Begitu kan, Mas?” Bergetar bibir ini berucap. Terasa hangat sekali mataku, seolah akan runtuh bulir air mata dari pelupuk.
Mas Yazid terdiam beku. Matanya mengawang. Tiba-tiba bibirnya mencebik. Oh, Allah. Priaku ternyata meneteskan air mata. Guguannya semakin terisak hingga seorang Mas Yazid yang kupikir telah abai dan tak peduli itu sesegukan.
“M-maaf, Mir ....” Pelukan Mas Yazid begitu erat. Mas, mengapa kamu harus menampilkan sikap seperti ini di kala waktu sudah semakin dekat? Ini membuatku hancur tak keruan, Sayang. Rasanya aku ingin kita berdua mati saja agar cinta ini tetap abadi tak ternoda. Andaikan bisa semua kita atur, Mas ....
(Bersambung)
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?  
Bagian 12 Suasana sempat hening sejenak di mobil. Sarfaraz telah berhenti menangis, begitupun Ummi dengan ocehan tak pentingnya. Hanya deru pendingin yang terdengar. Sesekali aku melirik ke arah Azka, begitupula pemuda itu. Mata kami beberapa kali banyaknya saling bertumbuk. Entah mengapa, jantungku selalu saja berdebar tak keruan ketika menangkap manik hitamnya yang memancarkan kehangatan. Berulang kali aku beristighfar. Memohon ampun pada Allah jika memang apa yang kulakukan ini salah. Namun, hati kecil kian tak dapat dibohongi. Bagai ada getaran aneh entah apa namanya. Merambat dan mengikat kuat. Makin lama membuatku bertanya, perasaan apakah ini namanya? Sungkan aku untuk mengakui. Sekuat tenaga menepis segala praduga. Berusaha untuk realistis dan sadar diri. Ingat Almira, statusmu adalah istri dari seorang Yazid Al Hussein. Meski di
Bagian 13 Mas Yazid lantas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuatku seketika merasa ngeri dan tak terbiasa. Waktu dan keadaan telah mengubah segalanya. Mas Yazid yang kukenal dulu kini telah berbeda jauh. Dia yang bertutur manis, berlaku lembut, tetapi kelewat taat pada Ummi dan Abi, kini memperlihatkan sisi gelapnya padaku. Tempramen dan begitu keras. Aku hingga merasa takut luar biasa. “Mas, pelan-pelan,” kataku sembari mencengkeram lengan kirinya. Lelaki itu masih fokus menyetir dengan kecepatan tinggi, sementara itu kami mulai memasuki jalanan yang lalu lalang kendaraannya cukup padat. “Mas, kendalikan diri. Jangan membuat kita berada di dalam bahaya.” Aku sangat takut untuk sekadar melihat ke depan. Jalanan makin ramai dan di
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t