Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran.
Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini.
Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang menggemaskan, seorang perempuan rambut blonde sebahu yang mengenakan kaftan warna biru laut, dan seorang lagi pemuda dengan wajah teduh yang mengenakan koko warna senada dengan sang kakak.
“Mira, ini Dinda, Sarfaraz, dan Azka adiknya Dinda. Kamu masih ingat, kan?” Semringah sekali Ummi. Bahkan dia mengambil balita bernama Sarfaraz tersebut dari gendongan Abi.
“Lucu, ya, Mir? Cakep banget?” Ummi berdiri dan mendekat ke arahku sembari memamerkan bocah tiga tahun tersebut.
“Halo, Tante,” ujarnya ramah sembari tersenyum memperlihatkan geligi putih rapinya. Anak itu menyodorkan tangan untuk menyalamiku.
“Halo, Sayang. Kamu sudah besar, ya?” Balita yang mengenakan pakaian seragam dengan sang paman itu mencium tanganku. Anak itu minta turun dari gendongan Ummi.
“Faraz mau main, Nek.” Pintar sekali anak itu. Entah mengapa, aku langsung jatuh hati padanya.
“Main, kemana? Ayo, Kakek ajak ke belakang. Kita lihat burung di tepi kolam renang. Faraz pasti suka.” Abi begitu antusias. Beliau tampak bahagia tak terkira menemukan sosok anak lelaki yang cerdas dan pandai bergaul seperti Sarfaraz. Tiba-tiba pemandangan tersebut entah bagaimana mampu membuat hatiku begitu terbakar api cemburu.
“Hei, Mir? Kamu belum salaman sama Dinda?” Ummi membuyarkan lamunanku.
“Maaf, Mi. Halo, Dinda, lama kita tidak berjumpa.” Aku membungkuk, lalu mengulurkan tangan pada sosok Dinda yang tak mau bangkit dari sofanya.
“Halo, juga. Iya.” Perempuan itu tersenyum ala kadarnya. Membuatku begitu tercengang akan sikap dingin yang dia tunjukkan.
“Halo, Azka.” Aku menyalami pria yang duduk di sebelahnya. Wajahnya terlihat masih sangat imut dan muda, layaknya anak kuliahan di tengah semester. Untunglah, lelaki dengan kumis tipis dan rambut belah tepi itu lebih ramah ketimbang sang kakak.
“Halo, Mbak Mira.” Lelaki berkulit putih dengan tubuh cenderung kurus itu tersenyum manis, memperlihatkan sepasang lesung pipitnya.
“Yazid, jangan bengong saja, dong. Itu si Dinda di sambut. Masa Cuma terpaku begitu?” Suara Ummi begitu sinis. Aku memperhatikan Mas Yazdid yang terlihat ragu serta sungkan saat berjalan mendekat ke arah Dinda.
“Hai, Din. Lama tidak jumpa,” ujar Mas Yazid sembari mengulurkan tangannya. Diam-diam aku mencuri pandang pada ekspresi Dinda sembari mengambil posisi duduk di hadapan perempuan dengan full make up tersebut.
Tak kusangka, Dinda berubah 180okala menyapa Mas Yazid. Bibir penuh nan sexy miliknya tersenyum semringah. Perempuan itu bahkan bangkit dari duduknya dan menjabat erat tangan milik Mas Yazid. Yang membuatku makin tercengang, perempuan beraroma sangat wangi itu bahkan hendak mendekatkan pipinya untuk bercipika cipiki.
Reflek, Mas Yazid mengelak dan mundur beberapa langkah. Menghindar dari ciuman agresif milik Dinda. Dapat kulihat sendiri betapa malunya perempuan yang memiliki tinggi sedikit di atasku tersebut. Wajah glowingnya tampak merona, mungkin akibat menahan grogi.
“Eh, kita ke ruang makan, yuk. Ummi sama Mira sudah masak makanan dan kue untuk kalian.” Ummi cepat mengalihkan pembicaraan. Perempuan paruh baya yang tampak terlihat begitu cantik dengan stelah kaftan dan jilbab voal motif abstrak warna hitam-gold tersebut bangkit dari duduk. Ummi langsung mendatangi Dinda dan menggamit lengan keponakannya. Mesra sekali keduanya. Dinda yang tadinya cuek serta dingin padaku, kini menampilkan sikap manja pada sang bibi.
“Dinda sudah lama nggak makan masakan Ummi. Rindu sekali rasanya.” Terdengar jelas di telingaku bagaimana manisnya ucapan Dinda yang tengah merangkul tubuh sang calon mertua dengan mesranya. Aku dan Mas Yazid hanya bisa saling berpandangan dengan ekspresi penuh keresahan di belakang mereka.
“Tenang, jangan khawatir, Sayang. Nanti, setiap hari Dinda akan makan masakan Ummi. Bagaimana, Dinda senang tidak?” Ramah dan penuh kelembutan sekali Ummi, sikapnya sangat berbeda jika sedang bebicara denganku. Bagaimana hati ini tak semakin teriris-iris rasanya.
“Senang sekali, Mi.” Dinda terdengar begitu bahagia dan ceria. Dia bagai sosok yang berbeda, memiliki kepribadian ganda dalam satu waktu yang sama. Aneh aku memikirkannya. Apakah ini pertanda bahwa dia bakal menjadi ancaman di masa mendatang? Almira, coba untuk tenang! Ini bukan saatnya untuk berpikiran negatif terus menerus.
Kami tiba di ruang makan. Ummi mengajak Dinda untuk duduk di sampingnya. Kemudian aku diperintahkan Ummi untuk duduk di sisi kanan Dinda. Jadi, perempuan itu berada di tengah kami berdua. Sedang Mas Yazid duduk di samping Azka yang terlihat canggung untuk banyak berbicara.
“Eh, Mira, panggilin Abi, dong. Ajak makan dulu.” Ummi menoleh ke arahku. Terdengar suara kursi yang digeser oleh Mas Yazid.
“Yazid aja, Mi,” tawar Mas Yazid yang telah berdiri.
“Jangan! Kamu di sini, jangan kemana-mana. Orang ada calon istrinya kok, ditinggal-tinggalin.”
Deg! Pecah hatiku. Terbanting bagai gelas kaca yang rapuh. Ummi, benar-benar neraka mulutmu. Apakah tak bisa sedikit saja menjaga hatiku?
Dengan berat hati, aku bangkit dari duduk. Menahan geram yang seketika memanasi ubun-ubun. Benar-benar kelewatan, pikirku. Kediaman ini membuat mereka semakin menjadi. Sabar, Mira. Ada waktunya bagimu untuk membalas. Namun bukan sekarang. Hanya kesabaran yang kini harus diluaskan.
Aku menuju kolam renang yang berada di samping ruang makan. Kubuka pintu sekat yang terbuat dari kaca tebal. Abi sibuk memamerkan koleksi burung-burungnya yang tergantung pada sangkar-sangkar aneka ukuran pada sang cucu.
“Abi, mari kita makan dulu,” ucapku sembari memaksakan senyuman.
“Oke, Mir. Aduh, senang sekali bermain dengan cucu ternyata. Sampai lupa waktu.” Abi kemudian memimpin Sarfaraz berjalan ke arah ruang makan dengan ekspresi yang begitu ceria. Wajah keduanya begitu bahagia bagaikan baru saja menang lotere. Terlebih bocah lelaki yang sangat pintar itu. Dia tak hentinya berceloteh pada sang kakek dan pastinya hal tersebut telah membuat Abi semakin jatuh hati.
Aku hanya bisa melihat keceriaan orang-orang di rumah ini, tanpa bisa ikut merasakan hal yang sama. Cuma kegetiran yang kini menyaput hati. Membuat air mata seakan ingin tumpah lagi seperti hari-hari lalu. Ya Allah, kuatkan aku. Jangan buat emosi kembali menguasai diri. Tenang, Mira. Jangan perlihatkan kelemahanmu pada manusia-manusia ini. Anggap saja angin lalu yang tak perlu digubris.
Kami pun makan bersama. Abi masih sibuk mengasuh sang cucu dan tak mau melepaskan bocah itu dari pangkuannya. Sementara Ummi, sibuk memuja muji sang keponakan yang dibilangnya cantik sejak kecil hingga dewasa. Mas Yazid tampak sesekali mengajak Azka, lelaki yang ternyata sedang menyusun skripsi demi menyandang gelar sarjana teknik di sebuah universitas negeri ternama di kota ini. Praktis, hanya diriku seorang diri yang tak diajak mengobrol oleh siapa-siapa di rumah ini.
Ingin rasanya aku tenggelam dalam lautan samudra. Terkapar di dasarnya yang tiada terlihat cahaya mentari sedikit pun. Mati dalam kesunyian, berkawan mahluk misterius yang belum dicatat dalam buku ensiklopedia mana pun. Ketimbang harus diasingkan begini, tentu saja kondisi di atas adalah lebih baik untukku. Sebegini sampahnyakah diriku di mata mereka?
“Dinda, Ummi ingin membicarakan hal yang pernah kita bahas di telepon kemarin.” Ummi mulai membuka pembicaraan. Membuat debar jantung ini tiba-tiba jadi tak keruan. Kulirik Mas Yazid yang duduk di seberang sana. Lelaki itu ikut tegang. Tingkahnya seperti grogi dan canggung.
“Iya, Ummi.” Nada bicara Dinda begitu lembut, bagai ibu peri yang sungguh baik hatinya. Jujur, entah mengapa aku kini begitu membenci sosoknya.
“Jadi, kamu mau kan menjadi madu untuk Yazid? Ummi dan Abi benar-benar ingin hubungan kekeluargaan kita semakin erat dan dekat. Selain itu, kami pasti sangat bahagia apabila rumah ini dipenuhi oleh canda tawa anak-anak yang bakal lahir dari rahimmu kelak.”
Sesak dada ini. Bagai terhimpit beban yang sungguh besar. Bukan kepalang rasa kecewa yang memalu kepala hingga membuatnya terasa pening sejenak. Ummi ... tak sadarkah kau jika aku berada di antara kalian?
“Mau, Ummi.” Jawaban dari mulut Dinda lebih membuat separuh nyawaku terbang jauh bagai burung yang mendengar suara tembak dari pelatuk. Kaki ini rasanya sudah tak berpijak lagi pada bumi. Aku sungguh limbung dan mau mati rasanya.
“Alhamdulillah. Abi senang mendengarnya, Dinda. Jadi, kapan kamu siap dilamar?” Suara Abi keluar juga. Kulirik wajah lelaki bertubuh tambun yang kini tengah mengusap-usap rambut hitam lebat milik Sarfaraz. Ada pancar bahagia yang tiada tara dari sorot matanya.
“Semakin cepat, semakin bagus, Abi.”
Sambaran demi sambaran terus mengejutkan jiwaku. Ini benar-benar bagai mimpi buruk yang tiada akhir. Inginku segera terbangun untuk menatap dunia nyata yang indah. Namun, sayang ternyata inilah kenyataan hidup yang harus kutempuh. Meski harus berdarah-darah, kuulaskan sedikit senyum demi memperlihatkan pada dunia bahwa aku baik-baik saja.
Dunia ... mengapa kau terlalu kejam memperlakukanku? Sampai kapan semua ini harus terjadi? Sampai nyawa berada di tenggorokankah?
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?  
Bagian 12 Suasana sempat hening sejenak di mobil. Sarfaraz telah berhenti menangis, begitupun Ummi dengan ocehan tak pentingnya. Hanya deru pendingin yang terdengar. Sesekali aku melirik ke arah Azka, begitupula pemuda itu. Mata kami beberapa kali banyaknya saling bertumbuk. Entah mengapa, jantungku selalu saja berdebar tak keruan ketika menangkap manik hitamnya yang memancarkan kehangatan. Berulang kali aku beristighfar. Memohon ampun pada Allah jika memang apa yang kulakukan ini salah. Namun, hati kecil kian tak dapat dibohongi. Bagai ada getaran aneh entah apa namanya. Merambat dan mengikat kuat. Makin lama membuatku bertanya, perasaan apakah ini namanya? Sungkan aku untuk mengakui. Sekuat tenaga menepis segala praduga. Berusaha untuk realistis dan sadar diri. Ingat Almira, statusmu adalah istri dari seorang Yazid Al Hussein. Meski di
Bagian 13 Mas Yazid lantas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuatku seketika merasa ngeri dan tak terbiasa. Waktu dan keadaan telah mengubah segalanya. Mas Yazid yang kukenal dulu kini telah berbeda jauh. Dia yang bertutur manis, berlaku lembut, tetapi kelewat taat pada Ummi dan Abi, kini memperlihatkan sisi gelapnya padaku. Tempramen dan begitu keras. Aku hingga merasa takut luar biasa. “Mas, pelan-pelan,” kataku sembari mencengkeram lengan kirinya. Lelaki itu masih fokus menyetir dengan kecepatan tinggi, sementara itu kami mulai memasuki jalanan yang lalu lalang kendaraannya cukup padat. “Mas, kendalikan diri. Jangan membuat kita berada di dalam bahaya.” Aku sangat takut untuk sekadar melihat ke depan. Jalanan makin ramai dan di
Bagian 14 Kami tiba di rumah Abi dan Ummi tepat pukul 21.30 malam. Mobil hitam milik Abi telah teparkir rapi di dalam garasi saat Mas Yazid hendak ikut memarkir di sebelahnya. Kami saling berpandangan. Seolah ingin berkata bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi prahara besar. Sebab, si tuan rumah ternyata telah berada di istananya duluan. Aku dan Mas Yazid saling berpegangan tangan. Kami takut-takut melangkah ke dalam. Untung Mas Yazid selalu membawa kunci serep rumah ini. Jadi, kami tak perlu memencet bel karena itu bakal semakin membuat mertuaku berang. Saat pintu berhasil kami buka, maka tampaklah di depan sana, duduk sambil menangis sosok Dinda yang tengah berada dalam pelukan Ummi. Ada pula Azka yang terdiam sembari menundukkan kepala, duduk lemas di samping sosok Abi yang sama resahnya. Tiba-tiba, Abi yang tengah duduk menopang kep
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t