Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel.
“Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis.
“Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur.
“Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh.
“Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?  
Bagian 12 Suasana sempat hening sejenak di mobil. Sarfaraz telah berhenti menangis, begitupun Ummi dengan ocehan tak pentingnya. Hanya deru pendingin yang terdengar. Sesekali aku melirik ke arah Azka, begitupula pemuda itu. Mata kami beberapa kali banyaknya saling bertumbuk. Entah mengapa, jantungku selalu saja berdebar tak keruan ketika menangkap manik hitamnya yang memancarkan kehangatan. Berulang kali aku beristighfar. Memohon ampun pada Allah jika memang apa yang kulakukan ini salah. Namun, hati kecil kian tak dapat dibohongi. Bagai ada getaran aneh entah apa namanya. Merambat dan mengikat kuat. Makin lama membuatku bertanya, perasaan apakah ini namanya? Sungkan aku untuk mengakui. Sekuat tenaga menepis segala praduga. Berusaha untuk realistis dan sadar diri. Ingat Almira, statusmu adalah istri dari seorang Yazid Al Hussein. Meski di
Bagian 13 Mas Yazid lantas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuatku seketika merasa ngeri dan tak terbiasa. Waktu dan keadaan telah mengubah segalanya. Mas Yazid yang kukenal dulu kini telah berbeda jauh. Dia yang bertutur manis, berlaku lembut, tetapi kelewat taat pada Ummi dan Abi, kini memperlihatkan sisi gelapnya padaku. Tempramen dan begitu keras. Aku hingga merasa takut luar biasa. “Mas, pelan-pelan,” kataku sembari mencengkeram lengan kirinya. Lelaki itu masih fokus menyetir dengan kecepatan tinggi, sementara itu kami mulai memasuki jalanan yang lalu lalang kendaraannya cukup padat. “Mas, kendalikan diri. Jangan membuat kita berada di dalam bahaya.” Aku sangat takut untuk sekadar melihat ke depan. Jalanan makin ramai dan di
Bagian 14 Kami tiba di rumah Abi dan Ummi tepat pukul 21.30 malam. Mobil hitam milik Abi telah teparkir rapi di dalam garasi saat Mas Yazid hendak ikut memarkir di sebelahnya. Kami saling berpandangan. Seolah ingin berkata bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi prahara besar. Sebab, si tuan rumah ternyata telah berada di istananya duluan. Aku dan Mas Yazid saling berpegangan tangan. Kami takut-takut melangkah ke dalam. Untung Mas Yazid selalu membawa kunci serep rumah ini. Jadi, kami tak perlu memencet bel karena itu bakal semakin membuat mertuaku berang. Saat pintu berhasil kami buka, maka tampaklah di depan sana, duduk sambil menangis sosok Dinda yang tengah berada dalam pelukan Ummi. Ada pula Azka yang terdiam sembari menundukkan kepala, duduk lemas di samping sosok Abi yang sama resahnya. Tiba-tiba, Abi yang tengah duduk menopang kep
Bagian 15 Usai tragedi berdarah malam itu, Aku dan Mas Yazid serta merta diperintahkan untuk cepat angkat kaki dari rumah Ummi dan Abi. Sementara itu, Dinda bersama sang putra dan adik lelakinya disuruh mertua kejiku untuk menginap di istana besar mereka. Alasannya hari sudah semakin larut. Abi dengan sewenang-wenang memperingati Mas Yazid agar setelah salat Subuh, pagi-pagi dia harus kembali ke sini untuk mengantar pulang tiga orang tamu spesial tersebut. “Ingat akan janjimu pada Dinda, Yazid. Almira, kamu pun demikian. Pandai-pandailah membawa diri dalam keluarga ini kalau memang masih ingin berada di sisi Yazid.” Begitu pesan menohok dari bibir hitam Abi kala mengantar kami di depan gerbang tinggi rumahnya. Aku dan Mas Yazid hanya dapat mengangguk pa
Bagian 16 Aku sadar betul, orang-orang di sekeliling mulai memandang iba dan melas. Meski awalnya rasa hati begitu hancur terpuruk, kini kukuatkan diri untuk bangkit. Mengumpulkan sisa kekuatan dan bertekat bahwa ini adalah tangis terakhir yang bakal keluar. Di depan sana, Mas Yazid dan Dinda sibuk berpose sembari memamerkan cincin maupun buku nikah. Blitz kamera milik fotografer maupun ponsel milik hadirin berbalas-balasan bagai kilat petir yang menyambar-nyambar. Saat semua riuh dan bersorak atas kebahagiaan sang pengantin, perlahan aku menarik diri dan undur dari kerumunan. Beberapa orang yang sadar akan gerakanku bertanya hendak pergi kemanakah sang istri pertama ini. “Aku ingin mengambil sesuatu di rumah depan,” ujarku ada salah satu tamu yang tak
Bagian 17 Saat masuk, maka terlihatlah olehku ramainya orang-orang yang menyalami Mas Yazid dan Dinda di atas pelaminan. Penuh suka cita sekali mereka. Berpose di depan kamera dengan ragam senyum dan gaya. Ummi dan Abi pun terlihat begitu bangganya kala ikut berbincang dengan para tamu yang hadir. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak mau peduli. Kuterobos lalu lalang para tamu yang keluar masuk rumah ini. Kakiku terus melangkah ke arah dapur yang ternyata sama ramainya oleh pembantu lepas yang disewa Ummi untuk menyiapkan makanan bagi para tamu dan mencuci segala perkakas bekas pakai. Aku mencari sosok Bi Tin. Setelah bertanya ke sana ke mari, ternyata wanita paruh baya itu sedang beristirahat di kamar. Tak enak badan kata mereka. “Bi,” kataku s
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t