Bagian 15
Usai tragedi berdarah malam itu, Aku dan Mas Yazid serta merta diperintahkan untuk cepat angkat kaki dari rumah Ummi dan Abi. Sementara itu, Dinda bersama sang putra dan adik lelakinya disuruh mertua kejiku untuk menginap di istana besar mereka. Alasannya hari sudah semakin larut. Abi dengan sewenang-wenang memperingati Mas Yazid agar setelah salat Subuh, pagi-pagi dia harus kembali ke sini untuk mengantar pulang tiga orang tamu spesial tersebut.
“Ingat akan janjimu pada Dinda, Yazid. Almira, kamu pun demikian. Pandai-pandailah membawa diri dalam keluarga ini kalau memang masih ingin berada di sisi Yazid.” Begitu pesan menohok dari bibir hitam Abi kala mengantar kami di depan gerbang tinggi rumahnya.
Aku dan Mas Yazid hanya dapat mengangguk pa
Bagian 16 Aku sadar betul, orang-orang di sekeliling mulai memandang iba dan melas. Meski awalnya rasa hati begitu hancur terpuruk, kini kukuatkan diri untuk bangkit. Mengumpulkan sisa kekuatan dan bertekat bahwa ini adalah tangis terakhir yang bakal keluar. Di depan sana, Mas Yazid dan Dinda sibuk berpose sembari memamerkan cincin maupun buku nikah. Blitz kamera milik fotografer maupun ponsel milik hadirin berbalas-balasan bagai kilat petir yang menyambar-nyambar. Saat semua riuh dan bersorak atas kebahagiaan sang pengantin, perlahan aku menarik diri dan undur dari kerumunan. Beberapa orang yang sadar akan gerakanku bertanya hendak pergi kemanakah sang istri pertama ini. “Aku ingin mengambil sesuatu di rumah depan,” ujarku ada salah satu tamu yang tak
Bagian 17 Saat masuk, maka terlihatlah olehku ramainya orang-orang yang menyalami Mas Yazid dan Dinda di atas pelaminan. Penuh suka cita sekali mereka. Berpose di depan kamera dengan ragam senyum dan gaya. Ummi dan Abi pun terlihat begitu bangganya kala ikut berbincang dengan para tamu yang hadir. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak mau peduli. Kuterobos lalu lalang para tamu yang keluar masuk rumah ini. Kakiku terus melangkah ke arah dapur yang ternyata sama ramainya oleh pembantu lepas yang disewa Ummi untuk menyiapkan makanan bagi para tamu dan mencuci segala perkakas bekas pakai. Aku mencari sosok Bi Tin. Setelah bertanya ke sana ke mari, ternyata wanita paruh baya itu sedang beristirahat di kamar. Tak enak badan kata mereka. “Bi,” kataku s
Bagian 18 Selesai aku membuatkan jus untuk para ‘tuan’ yang sedang menikmati santap siangnya di meja makan sana, segera kutata gelas-gelas tinggi berisi cairan warna merah kental dari potongan daging buah naga. Perlahan kuangkat nampan berisi tujuh gelas jus tersebut dan membawanya untuk dihidangkan sebagai minuman pelepas dahaga mereka. “Neng Mira, ingat urutannya,” bisik Bi Tin sebelum aku benar-benar meninggalkan dirinya di dapur. Aku mengangguk sambil tersenyum kala mendengar ucapan darinya. Tentu saja aku tak boleh lupa dengan mana yang paling spesial. Salah-salah, bisa jadi senjata makan tuan. Saat aku sampai di depan meja makan, ternyata orang-orang sudah memulai makannya. Mereka sibuk dengan sendok garpu yang sesekali beradu dengan p
Bagian 19 Setelah puas menampar Dinda, Ummi juga tak mau membiarkan yang lainnya lega begitu saja. Kami yang tak berbuat salah pun juga ikut-ikutan kena semprot. “Mira, Azka, awas kalau kalian ikut-ikutan bikin Ummi jengkel, ya!” Mata Ummi melotot pada kami. Sarfaraz yang berdiri di sampingku, sampai-sampai berlindung dan mencengkeram erat kaftan yang kukenakan. Kami hanya diam seribu bahasa. Sama sekali tak mengajak Ummi atau Abi berbicara, bahkan hingga mobil Abi yang kami tumpangi mulai berjalan. Sedang mataku sesekali sibuk memperhatikan mobil putih milik Mas Yazid yang melaju sedang tepat di depan milik Abi. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di sana. Apakah Dinda sibuk berteriak-teriak pada suami barunya ataukah perempuan itu h
Bagian 20 Untung saja gerakan tangan mahir milik para perias begitu sangat cepat serta cekatan. Coba kalau tidak, waktu yang termakan akan lebih panjang lagi dan sudah pasti hal itu bakal membuat Ummi semakin marah besar. Meski memang terlambat hingga tiga puluh menit lamanya, suasana hati Ummi ternyata tak buruk-buruk amat. Dia masih mau membidik kamera pada Dinda yang telah terbalut dalam gaun mewah warna putih bertahtakan swaroski. “Coba kamu senyum yang manis, Din. Ummi mau unggah untuk story di WhatsApp.” Ummi memberikan perintahnya pada sang menantu yang berdiri anggun di ruang rias. Tubuh semampai Dinda sangat begitu pas kala mengenakan gaun berkoset ketat yang membuat kesan ramping pada pinggangnya. Gaun warna putih yang begitu mengkilap kala diterpa cahaya lampu itu memiliki panjang lengan hanya sesiku
Bagian 21 Acara di gedung mewah ini menjadi tak berarti lagi untuk Ummi. Wajah kesalnya yang terpampang sejak insiden tersungkamnya Dinda, tak dapat ditampik meski pesta telah usai. Begitu tamu undangan telah surut yang menandakan bahwa pesta telah usai, di situlah meluap amukan Ummi yang sedari tadi coba ditahannya. Dinda yang terduduk lemas di kursi pelaminan, Ummi datangi dengan segenap emosi negatif. “Baru menikah sehari kamu sudah bikin malu orang tua! Kamu pikir, Ummi sama Abi adalah orang sembarangan? Lihat, Din! Para tamu tertawa terbahak dan tak hentinya hanya membahas hal memalukan itu ketika bersalaman. Puas kamu bikin malu?” Berdiri Ummi di hadapan Dinda. Dicengkeramnya lengan ramping perempuan bermahkota penuh berlian itu. Tak ayal membuat
Bagian 22 Takut-takut kami menoleh ke asal suara. Benar saja, Ummi dan Abi berjalan semakin mendekat. Tatapan keduanya sama-sama diliputi berang. Ah, aku sudah sangat muak dengan semua ini. Bisakah sedetik saja mereka membiar kami untuk hidup dalam kelegaan? “Ummi,” kataku sembari berdiri untuk menyambutnya. “Ngapain kalian duduk-duduk santai di sini? Pegang-pegang segala pula?” Ummi mendelik tajam. Memperhatikan aku dan Azka secara bergantian. Tangannya sampai kuat meremas pegangan tas. Sebegitu membuat emosinya kah kami? “Tidak, Mi. Azka Cuma menenangkan Mbak Mira. Tadi katanya sedih campur haru melihat pernikahan Mas Yazid dan Kak Dinda.” Tentu saja Azka
Bagian 23 “S-siapa d-dia ... Azka?” Bergetar hebat lidahku. Sungguh, bukanlah suatu yang mudah untuk menanyakan hal ini padanya. Azka terdiam sejenak. Dia tampak ragu saat menatap ke arahku. Apakah sebentar lagi dia akan menyebutkan nama seseorang yang sangat kukenali? “Mbak Mira.” Jangan ditanya seperti apa kabar jantungku kini. Hampir saja meledak akibat didihan darah yang bergurak bagai desakan lava dalam kawah gunung berapi. Dia benar-benar menyebut namaku. Tanpa sebuah keraguan sedikit pun. Mantap sekali Azka. Apakah dia tak merasa gentar? Lupakah dia bahwa aku ini siapa? Rasa syok, gamang, dan takut bahkan menyergapi hati. Bukan aku tak menyukai pria yang tengah
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t