Bagian 2
“Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”
*
Sembari berderai tangis pilu, aku menguatkan diri untuk melanjutkan memasak menu makan siang. Abi dan Yazid akan pulang beberapa jam lagi. Tak mungkin kalau di meja belum terhidang aneka santapan apabila kedua pengusaha perikanan tersebut tiba. Bisa makin runyam persoalan.
Aku dan Bi Tin pun kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayam goreng yang telah menghitam dan bau hangus itu segera kuangkat. Bak sampah adalah tempatnya. Setelah membuang potongan yang lumayang banyak tersebut, aku kembali mengganti minyak di wajan dan memanaskannya ulang.
Tangan ini cekatan mengerjakan segala urusan dapur. Sudah tujuh tahun aku terlatih melakukan tugas-tugas rumah tangga. Semua hanya demi membuat Mas Yazid dan keluarganya bahagia. Namun, ternyata semua tak ada nilai. Tetap dikali nol sebab tiada tanda kehadiran jabang bayi dalam rahim diri.
Tak apa. Mungkin sudah nasib dikandung badan. Lari dan minta cerai bukan solusi untuk saat ini. Praktis hidup nyaman bergelimang harta tak bakal lagi kutemui jika berpisah. Itu hanya kebodohan menurutku. Enak saja aku dibuang bagai benalu yang tak dibutuhkan. Maaf, biar begini aku masih berpikir secara rasional.
Sebelum azan Zuhur, semua masakan telah siap. Ayam goreng tepung, sayur lodeh, tempe bacem, tongkol asin balado, dan tak lupa sambal kecap kesukaan Mas Yazid telah terhidang rapi di atas meja. Biasanya, dua kepala keluarga akan datang beberapa saat sebelum atau sesudah Zuhur. Keduanya beristirahat sampai sore tiba di rumah ini setelah seharian mengawasi tambak dan melayani para pengepul yang mengangkut hasil budidaya perikanan.
Aku dan Mas Yazid memang tak serumah dengan Abi-Ummi. Kami tinggal di rumah depan, persis berseberangan dengan istina mewah milik keluarga terpandang ini. Namun, sebagian besar hari-hariku dihabiskan di rumah ini untuk mengabdi menyenangkan hati mertua. Ada saja yang kukerjakan. Entah membantu Bi Tin memasak dan bikin jajanan, atau menjahit aneka kerajinan yang sering dipakai maupun dibagikan Ummi pada teman-teman pengajiannya.
Betapa sesungguhnya aku telah berbakti pada keluarga ini untuk waktu yang tak sebentar. Namun mengapa semua tak ada harganya di mata mereka? Bahkan, Ummi kini semakin sering menghardik dan tak henti menyalahkan. Sungguh aku sudah lelah. Tiada tempat mengadu dan meminta pembelaan. Sedang orangtua sendiri jauh di sana, selalu berprasangka bahwa anak sulungnya sedanh bergelimang nikmat di kota ini.
Pukul 12.15 bel rumah berbunyi. Aku yang sedang duduk di mushala, cepat bangkit dan melangkah ke depan untuk membukakan pintu. Untung sudah selesai salat, pikirku. Kalau masih salat, pasti aku harus menghentikannya sejenak untuk menyambut kedatangan suami dan mertua. Maklum, Mas Yazid paling tidak suka jika yang muncul pertama kali kala dia tiba adalah Bi Tin. Kalau Ummi, mana mau dia bergerak hanya untuk membuka pintu.
“Assalamualaikum,” ucap Abi dengan suara yang dingin. Tak biasanya beliau berlaku demikian. Dari pancaran wajah tua pria tinggi besar tersebut tak muncul adanya senyum setitik pun.
“Waalaikumsalam, Abi, Mas Yazid.” Segera aku menyalami keduanya dengan takzim.
Tak ada lagi kata-kata dari dua beranak itu. Mereka berjalan terus tanpa mau berbasa-basi menanyakan masak apa hari ini atau di mana keberadaan Ummi. Hatiku entah mengapa seketika ciut. Ada noda kekecewaan yang menyaput. Ya Tuhan, mengapa sikap keduanya begitu berbeda hari ini? Adakah hubungannya dengan pembahasan Ummi di dapur tadi?
Gontai, aku menutup daun pintu besar dengan gagang mewah berlapis marmer tersebut. Kaki ini melangkah lemah menuju mushala. Kulepaskan mukena putih yang masih menempel di tubuh, lalu melipatnya rapi. Tanpa mengenakan hijab, aku kemudian mendatangi Abi dan Mas Yazid yang sudah duduk tenang di kursi makan.
“Mari kita makan dulu. Mana Ummi?” Abi memandangku dengan ekspresi datar. Seketika membuatku merasa makin tegang.
“Di kamar, Abi. Apa perlu Mira panggilkan?”
“Kenapa Ummi ke kamar, Mir? Kamu ada bikin kesalahankah?” Mas Yazid yang duduk di seberangku memandang curiga. Manik cokelatnya begitu tajam menelisik. Ya Tuhan, mengapa suamiku pun malah ikut-ikutan begini? Lelaki yang dulunya banyak diam itu kok semakin bertambah berubah perangainya.
“Tidak, Mas. Tadi Ummi cuma marah sama Mira. Mungkin ... karena Mira ini mandul.” Remuk benar perasaanku saat harus mengatakan kalimat barusan.
Keduanya hanya diam. Abi langsung menciduk nasi dengan wajah tak berselera. Begitupula Mas Yazid. Lelaki tinggi berambut ikal dengan hidung mancung seperti Ummi tersebut malah membuang pandang. Tak sedikit pun wajah tampannya mau menoleh padaku. Apa salahku, Mas? Sebegitu kesalnyakah kalian?
“Abi, tongkol asinnya. Kesukaan Abi dan Mas Yazid.” Aku menawarkan sembari mendekatkan lauk dalam wadah keramik tersebut pada Abi. Tak disangka, lelaki berkulit gelap itu tak menyentuhnya sedikit pun.
“Tidak.” Sakit benar aku mendengar perkataan Abi. Lebih nyeri kala melihat wajahnya yang cuek.
“Mas?” Aku menawarkan pada Mas Yazid. Lelaki itu malah menggeleng tak ingin. Maka, melelehlah air mata ini perlahan.
“Mira, Abi mau bicara. Ini masalah penting.” Suara Abi terdengar berat. Lelaki berhidung besar dengan rambut yang telah ditumbuhi uban tersebut memandang ke arahku dengan tajam.
Cepat kuseka air mata. Tak bakal ada yang mengasihani, pikirku. Semua orang nyata sekali sedang tak berpihak. Hanya berusaha kuat dan tegar yang dapat dilakukan. Berserah pada Tuhan. Apapun yang akan dikatakan Abi, mungkin inilah awal titik balik dalam hidup yang semakin sursm ini.
“Tentang pernikahan kalian ....” Abi menggantung kalimat. Wajah tembamnya melihat ke arah aku dan Mas Yazid bergiliran. Seakan mau menimbang apakah kami ini masih pantas untuk membina rumah tangga atau tidak.
“Abi rasa, hanya ada dua pilihan saja untuk ke depannya.” Nada Abi begitu sarat akan penghinaan. Seolah dia tak segan untuk mencoretku sebagai mantu. Seakan segala keputusan berada di genggamannya dan aku hanya wayang yang bisa disetir begini begitu oleh sang dalang. Jangan tanya bagaimana kondisi jiwa ini. Remuk redam hancur berkeping-keping.
Kutatap Mas Yazid. Pria bertubuh sedang dengan kulit bersih itu menunduk lemas. Dia selalu lemah jika berhadapan dengan kedua orangtuanya yang sangat tegas dan cenderung keras. Tak bakal ada pembelaan diri yang bakal keluar dari bibir tebalnya itu.
“Kamu tinggal pilih, Mir. Dimadu atau hengkang dari rumah ini.” Akhirnya, kata-kata itu meluncur juga.
Deraslah air mataku. Dua kali aku disakiti oleh mertua hari ini. Sama kejamnya meski berbeda cara penyampaian. Kepala ini seketika pening bagai dihantam palu godam berkali-kali. Allah Ya Rahman, matikan saja jika aku memang tak berguna bagi mereka, ketimbang harus berada di dalam posisi yang serba sulit begini. Poligami makan hati, tetapi bercerai artinya makan mimpi.
Di usia setua ini, usaha apa yang kulakukan untuk bertahan hidup bila dicerai nanti? Tak mudah mencari kerja kala aku tak punya pengalaman sama sekali. Mau usaha pun, modal dari mana?
“Tentukan pilihanmu sekarang juga, Mira. Besok Ummi dan Abi akan mengundang Dinda, anak dari adik perempuan Ummi. Kami sudah berpikir puluhan kali untuk menjadikannya menantu. Dia cantik, pekerja keras, dan yang terpenting terbukti dapat menghasilkan keturunan. Toh, segala macam usaha sudah kita lakukan selama ini padamu. Tak ada hasilnya, kan?” Tudingan Abi begitu tajam dan mencabik. Terbuat dari apa hati mereka yang semula kusangka baik? Tega nian ucapan yang dilontarkan padaku. Sama sekali tak berperi kemanusiaan!
“Yazid, kamu keberatan?” Abi beralih pada anak tunggalnya. Ditatapnya dengan dalam sang putra yang mengenakan hem warna mustard tersebut.
Tak menunggu lama, ucapan Mas Yazid keluar dari mulutnya yang dulu begitu manis merayuiku. “Kalau memang itu keputusan Abi dan Ummi, Yazid patuh.”
Lemas tungkai ini. Maka semakin pilulah tangisan yang keluar dari manik netra. Teremas-remas jantungku hingga terasa sungguh menyesakkan dada. Ya Allah, Mas Yazid ... sungguh tega dirimu. Mana janji manismu saat kita baru saja lulus dulu? Katamu hidupku akan terjamin dan tak usah lagi merisaukan masa depan karena sebagai suami kamu akan senantiasa melindungi serta mensejahterakanku. Namun, hari ini terbukti segala ungkap masa lalu hanya bualan dan ingkar semata.
“Mira, hentikan tangisan itu. Air matamu tak bakal mengubah nasib. Abi hanya minta jawabanmu sekarang. Poligami atau berpisah baik-baik?” Pertanyaan Abi bagai simalakama yang tak ada manfaatnya bagiku sama sekali. Dua pilihan itu sama-sama bernilai petaka.
Diam aku membisu seribu bahasa. Hanya suara guguan yang setengah mati kutahan sesekali menyeruak dari bibir tipis ini. Serendah inikah derajatku hingga keputusan hidup mati sendiri berada di tangan mertua?
“Mir, jangan buang waktu Abi. Katakan cepat, lalu kita ambil keputusan saat ini juga.” Suara Abi meninggi. Tangannya bahkan mengentak meja dengan geram.
“Mira pilih ....” Berat sekali lidahku berkata. Setengah mati diupayakan pun malah membuat tangisan ini makin menganak sungai.
Sungguh, aku tak ingin diduakan cintanya dan menanggung beban dalam mencemburui. Namun, sanggupkah aku berdiri sendiri dalam kekejaman dunia yang semakin serba sulit? Tuhan, berikan petunjuk-Mu. Aku sudah tak sanggup lagi rasanya menanggung masalah seluas samudra.
(Bersambung)
Dengan guguan yang masih mengisak, bibir ini begitu terbata menjawab pertanyaan Abi. “S-si-lakan m-me-ni-kah lagi, Mas ....” Dada ini sesak luar biasa. Ada beban besar yang tak dapat kutanggung seorang diri.Maka, air mata pun meluah bagai air bah kala memandang wajah Mas Yazid. Lelaki berwajah persegi dengan dua tulang pipi yang menonjol tersebut hanya dapat diam tanpa ekspresi keberatan. Seolah mau-mau saja dan memang menginginkan hal tersebut.Wajah Abi langsung segar. Ada rona bahagia dari senyum semringahnya. Bagaikan pria paruh baya itu baru saja mendapatkan kado terspesial dalam hidup. Semakin sempurnalah rasa sakit yang berkemacuk dalam sanubari.“Baguslah jika kamu memilih jalan tersebut, Mira. Lihat dirimu saat ini. Tanpa pekerjaan maupun penghasilan. Apa yang dapat kau harapkan jika berpisah dari pria mapaj seperti Yazid? Bersyukurlah bahwa kami tidak mendepak dan masih mempertahankan keberadaanmu di keluarga ini.” Kalimat demi
Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin. Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah. “Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”* Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut. Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memeja
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t