Langkah Arif terasa berat ketika dia melintasi lorong panjang yang dipenuhi nyala api biru. Angin dingin yang berhembus dari ujung lorong membawa aroma aneh, seperti campuran dupa dan daging terbakar. Bisikan-bisikan yang tidak jelas terus terdengar, menyusup ke dalam pikirannya, membuat jantungnya berdetak semakin kencang.“Fokus, Arif.” Suara dari pisau itu berbisik di pikirannya. “Jangan biarkan suara-suara itu menguasaimu.”Arif menggenggam pisau itu lebih erat. Cahaya biru dari bilahnya terasa menenangkan di tengah suasana mencekam. Arif menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut penglihatannya.Di ujung lorong, sebuah gerbang besar terlihat berdiri kokoh. Gerbang itu terbuat dari logam hitam yang penuh ukiran simbol-simbol aneh. Nyala api biru tampak berkumpul di sekitar gerbang, menciptakan aura mengintimidasi. Arif tahu bahwa ini adalah tempat ujian terakhirnya.
Arif berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tetapi matanya memancarkan keberanian yang tidak goyah. Makhluk-makhluk bayangan terus menyerangnya, datang dari segala arah seperti gelombang tanpa akhir.Pisau di tangannya bersinar biru terang, membelah setiap bayangan yang mendekat. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Untuk setiap satu makhluk yang dihancurkan, dua lagi muncul dari kegelapan.Di tengah ruangan, sosok tinggi yang diselimuti kain hitam tetap diam, mengamati dari balik bayangan. Suara dinginnya kembali terdengar, menusuk hati Arif.“Kau melawan untuk apa, Arif? Kau pikir kau bisa menyelamatkan mereka?” Suara itu terdengar seperti ejekan yang bercampur dengan keangkuhan.Arif mengayunkan pisaunya, menebas bayangan lain yang mencoba menerjangnya. Jeritan melengking terdengar ketika makhluk itu menghilang menjadi asap hitam. Arif melirik ke arah Lila dan Jatinegara yang
Lantai ruangan berguncang hebat, memancarkan getaran yang terasa hingga ke tulang Arif. Sosok raksasa yang bangkit dari bawah altar kini berdiri tegak, tubuhnya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Kegelapan memancar dari tubuhnya seperti asap pekat, menyelimuti ruangan dalam aura kematian. Mata merah menyala sosok itu menatap Arif dengan tajam, penuh amarah.“Kau berpikir bisa menghancurkanku, manusia lemah?” Suara sosok itu bergema, dalam dan mengancam. “Aku adalah inti dari segala yang kau cari. Aku adalah kutukan yang kau ciptakan sendiri!”Arif berdiri dengan napas terengah-engah, lututnya bergetar tetapi ia menolak untuk menyerah. Pisau di tangannya bersinar terang, cahayanya mencoba melawan kegelapan yang mendominasi ruangan. Arif melirik Lila dan Jatinegara yang tergeletak di lantai, napas“Aku tidak takut padamu,” kata Arif, meskipun hatinya penuh keraguan. “
Arif terbangun dengan terkejut, matanya terbuka lebar dan napasnya memburu, cepat dan berat. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, seolah-olah baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang begitu nyata. Dia mengerjap, mencoba menenangkan diri, namun rasa panik itu tak kunjung hilang.Dengan gemetar, Arif menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan dirinya. Kamar tidurnya yang sederhana, dengan dinding putih dan jendela yang masih tertutup rapat, kini terasa asing dan sunyi. Hanya ada suara ayam berkokok dari luar, samar-samar menandakan bahwa pagi telah tiba. Sebuah lampu kecil di sudut kamar memancarkan cahaya redup, menambah kesan tenang yang kontras dengan ketegangan dalam dirinya.“Lila?” Suara Arif keluar serak, seperti baru saja berteriak dalam mimpi yang tak bisa dia ingat dengan jelas. Arif berbalik ke samping, berharap menemukan kenyamanan dalam keberadaan istrinya.Matanya tertuju pada Lila yang masih
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini
“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har
Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang
“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.
Arif terbangun dengan terkejut, matanya terbuka lebar dan napasnya memburu, cepat dan berat. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, seolah-olah baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang begitu nyata. Dia mengerjap, mencoba menenangkan diri, namun rasa panik itu tak kunjung hilang.Dengan gemetar, Arif menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan dirinya. Kamar tidurnya yang sederhana, dengan dinding putih dan jendela yang masih tertutup rapat, kini terasa asing dan sunyi. Hanya ada suara ayam berkokok dari luar, samar-samar menandakan bahwa pagi telah tiba. Sebuah lampu kecil di sudut kamar memancarkan cahaya redup, menambah kesan tenang yang kontras dengan ketegangan dalam dirinya.“Lila?” Suara Arif keluar serak, seperti baru saja berteriak dalam mimpi yang tak bisa dia ingat dengan jelas. Arif berbalik ke samping, berharap menemukan kenyamanan dalam keberadaan istrinya.Matanya tertuju pada Lila yang masih
Lantai ruangan berguncang hebat, memancarkan getaran yang terasa hingga ke tulang Arif. Sosok raksasa yang bangkit dari bawah altar kini berdiri tegak, tubuhnya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Kegelapan memancar dari tubuhnya seperti asap pekat, menyelimuti ruangan dalam aura kematian. Mata merah menyala sosok itu menatap Arif dengan tajam, penuh amarah.“Kau berpikir bisa menghancurkanku, manusia lemah?” Suara sosok itu bergema, dalam dan mengancam. “Aku adalah inti dari segala yang kau cari. Aku adalah kutukan yang kau ciptakan sendiri!”Arif berdiri dengan napas terengah-engah, lututnya bergetar tetapi ia menolak untuk menyerah. Pisau di tangannya bersinar terang, cahayanya mencoba melawan kegelapan yang mendominasi ruangan. Arif melirik Lila dan Jatinegara yang tergeletak di lantai, napas“Aku tidak takut padamu,” kata Arif, meskipun hatinya penuh keraguan. “
Arif berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tetapi matanya memancarkan keberanian yang tidak goyah. Makhluk-makhluk bayangan terus menyerangnya, datang dari segala arah seperti gelombang tanpa akhir.Pisau di tangannya bersinar biru terang, membelah setiap bayangan yang mendekat. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Untuk setiap satu makhluk yang dihancurkan, dua lagi muncul dari kegelapan.Di tengah ruangan, sosok tinggi yang diselimuti kain hitam tetap diam, mengamati dari balik bayangan. Suara dinginnya kembali terdengar, menusuk hati Arif.“Kau melawan untuk apa, Arif? Kau pikir kau bisa menyelamatkan mereka?” Suara itu terdengar seperti ejekan yang bercampur dengan keangkuhan.Arif mengayunkan pisaunya, menebas bayangan lain yang mencoba menerjangnya. Jeritan melengking terdengar ketika makhluk itu menghilang menjadi asap hitam. Arif melirik ke arah Lila dan Jatinegara yang
Langkah Arif terasa berat ketika dia melintasi lorong panjang yang dipenuhi nyala api biru. Angin dingin yang berhembus dari ujung lorong membawa aroma aneh, seperti campuran dupa dan daging terbakar. Bisikan-bisikan yang tidak jelas terus terdengar, menyusup ke dalam pikirannya, membuat jantungnya berdetak semakin kencang.“Fokus, Arif.” Suara dari pisau itu berbisik di pikirannya. “Jangan biarkan suara-suara itu menguasaimu.”Arif menggenggam pisau itu lebih erat. Cahaya biru dari bilahnya terasa menenangkan di tengah suasana mencekam. Arif menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut penglihatannya.Di ujung lorong, sebuah gerbang besar terlihat berdiri kokoh. Gerbang itu terbuat dari logam hitam yang penuh ukiran simbol-simbol aneh. Nyala api biru tampak berkumpul di sekitar gerbang, menciptakan aura mengintimidasi. Arif tahu bahwa ini adalah tempat ujian terakhirnya.
Arif berdiri membeku di tengah ruangan gelap itu, pandangannya terpaku pada bayangan dirinya yang terperangkap di dalam lingkaran merah bercahaya. Bayangan itu terus menatapnya dengan senyuman dingin, membuat setiap inci tubuh Arif bergetar. Suara napasnya terdengar berat, seperti menggema di seluruh ruangan.“Aku adalah kau, Arif,” ulang bayangan itu, suaranya dingin dan tanpa emosi. “Aku adalah bagian dari dirimu yang kau coba lupakan. Semua pilihan buruk, semua penyesalan, semua rasa bersalah.”Arif mengangkat pisaunya perlahan, cahayanya kembali menyala meskipun redup. “Kenapa aku harus memilih? Kenapa aku tidak bisa menghancurkanmu saja dan menyelesaikan semuanya?” tanyanya, suaranya penuh dengan keputusasaan.Bayangan itu tertawa kecil. “Menghancurkanku berarti menghancurkan dirimu sendiri. Kau tidak akan bisa melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Tapi jika kau menerimaku, aku akan terus menjadi beban di punggungmu. Apakah kau siap untuk itu?”Arif memejamkan matanya, mencoba meng
Pertarungan di lorong sempit itu berlangsung sengit. Arif terus mengayunkan pisaunya ke arah sosok tinggi tanpa mata itu, tetapi setiap serangan tampak sia-sia. Sosok tersebut bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah-olah dia bukan makhluk dari dunia nyata.“Arif, fokus pada energinya!” Suara dari pisau di tangan Arif bergema dalam pikirannya.“Apa maksudmu?!” Arif berteriak, sambil mundur untuk menghindari cakar tajam sosok itu yang hampir menyayat dadanya.“Dia adalah bayangan yang kau ciptakan. Temukan kelemahannya di dalam dirimu sendiri!”Kata-kata itu membingungkan Arif, tetapi dia tidak punya waktu untuk merenung. Sosok tanpa mata itu menyerangnya lagi, kali ini dengan kecepatan yang lebih mematikan. Cakar-cakarnya menancap ke dinding lorong, meninggalkan bekas luka yang dalam.Arif mengatur napas, berusaha mengingat apa yang telah d
Pintu kecil bercahaya yang terlihat di kejauhan kini semakin dekat. Langkah Arif yang berat membuat setiap detiknya terasa abadi. Pintu itu tampak berbeda dari pintu-pintu sebelumnya dihiasi ukiran menyeramkan berbentuk wajah manusia yang terdistorsi, dengan mata yang seolah mengikuti setiap gerakan Arif.Ketika dia akhirnya tiba di depan pintu, udara di sekitarnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Tangannya yang gemetar meraih gagang pintu, tetapi sebelum ia sempat mendorongnya, suara gemuruh terdengar dari belakang.Arif menoleh dan melihat lantai di ruangan itu mulai retak, memunculkan celah-celah yang menganga seperti mulut yang lapar. Dari dalam celah itu, cairan merah kental mengalir, mengisi ruangan dengan aroma anyir darah.“Cepat, Arif! Buka pintunya!” Suara pisau itu menggema di pikirannya.Tanpa berpikir panjang, Arif mendorong pintu itu dengan seluruh tena
Arif melesat maju, pisaunya terangkat tinggi. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena ketakutan. Adrenalin menguasai dirinya, membakar setiap keraguan yang sebelumnya melumpuhkan. Makhluk besar itu hanya berdiri diam, menunggu dengan senyum licik yang memamerkan deretan gigi tajamnya.Ketika pisau Arif hampir mengenai dada makhluk itu, sosok bayangan besar tersebut menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang tidak mungkin. Cakar hitamnya menyapu udara, menghantam Arif hingga tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang. Arif jatuh terguling, punggungnya menghantam lantai dengan keras.“Kau terlalu lambat,” ejek makhluk itu, matanya bersinar lebih terang. “Apakah ini yang kau sebut keberanian?”Arif meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. Arif menggenggam pisaunya lebih erat, lalu bangkit meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan kalah darimu,” katanya, suaranya serak namun pen
Arif masih terjatuh di lantai, napasnya memburu di tengah ruangan yang kini gelap gulita. Tidak ada lagi pantulan, tidak ada suara selain detak jantungnya yang menggema di telinganya. Pisau di tangannya hanya memancarkan cahaya lemah, seperti api lilin yang hampir padam.“Ke mana selanjutnya?” gumamnya, suaranya terdengar serak. Kakinya gemetar saat dia berusaha bangkit.“Kau harus menemukan jalan.” Suara pisau itu menjawab, tetapi kali ini lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Jalan itu ada, tetapi tidak selalu terlihat. Kau harus percaya pada instingmu.”Arif menghela napas berat. Instingnya? Bagaimana dia bisa mengandalkan insting saat setiap langkahnya terasa seperti menuju jurang yang lebih dalam? Namun, dia tahu bahwa berhenti di sini bukan pilihan. Dia menguatkan dirinya, memegang erat pisau itu dan mulai berjalan perlahan di tengah kegelapan.Langkah-langk