Malam itu, Arif kembali ke Desa Srengege. Langit tampak lebih kelam dari biasanya, seperti diselimuti kabut pekat yang tidak kunjung hilang. Pohon-pohon jati di sepanjang jalan desa berdiri kaku, menciptakan bayangan menyeramkan yang bergerak seiring tiupan angin.
Suara jangkrik yang biasanya menemani kesunyian malam kini lenyap, digantikan oleh suara tangisan bayi samar-samar yang terasa seperti datang dari segala arah.
Arif mengatur napasnya, mencoba menghalau rasa takut yang terus menghantui. Tubuhnya terasa berat, seperti ada yang menekannya dari dalam. Di gubuk ritual yang terletak di tengah desa, Mbah Mijan sudah menunggu, dikelilingi oleh lingkaran api kecil yang menyala-nyala, menciptakan bayangan bergerigi di dinding bambu.
“Kamu sudah siap?” suara parau Mbah Mijan memecah kesunyian, diiringi asap kemenyan yang menyesakkan dada.
Arif mengangguk pelan, meski kakinya gemetar. Dalam hati, dia tah
Lorong rumah Arif tampak lebih panjang malam itu, dipenuhi kesunyian yang mengerikan. Cahaya lampu redup di langit-langit berayun pelan, menciptakan bayangan tak beraturan di dinding.Setiap langkah kaki Arif bergema, seolah-olah rumah itu hidup dan mengawasinya. Aroma apek kayu tua bercampur debu memenuhi udara, membuat napasnya terasa berat.Di tangannya, sebuah kunci tua berkarat bergoyang pelan, mengikuti irama langkahnya. Kunci itu diberikan oleh Mbah Mijan, sebuah simbol pengorbanan."Nyawa harus dibayar dengan nyawa," kata-kata itu terus terngiang di benaknya, menghantui setiap detiknya.Arif berhenti di depan pintu kayu tua yang tampak lebih besar dari biasanya. Di balik pintu itu, dia tahu, keputusan besar menantinya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya gemetar hebat.“Nyawa siapa kali ini?” bisiknya pelan, hampir seperti berharap tidak ada
Langit di atas Desa Misahan selalu kelabu sejak ritual terakhir Arif Mahoni. Hujan rintik-rintik turun sepanjang minggu, menciptakan genangan kecil di sekitar halaman rumahnya. Di depan rumah itu, lahan kosong yang dulu hanya ditumbuhi ilalang kini mulai berubah bentuk.Tumpukan bata merah, pasir dan semen tertata rapi seperti sedang menunggu tangan-tangan tak kasatmata untuk merakitnya menjadi sesuatu yang lebih besar.Arif berdiri di ambang pintu, menatap lahan itu dengan wajah kosong. Angin dingin menerpa, membawa aroma tanah basah bercampur bau besi tua yang berkarat. Tangannya menggenggam sebuah cetakan arsitektur kasar sketsa gedung megah yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, Arif tahu, ini bukan keinginannya. Semua perintah datang dari suara yang menghantui tidurnya."Bangun, Arif. Bangunlah untuk menjaga harta yang telah diberikan," suara Mbah Mijan terus menggaung di telinganya seperti mantra yang tak
Hujan deras mengguyur Desa Misahan, menciptakan simfoni ketukan air di atap rumah Arif Mahoni yang semakin megah dan ganjil. Dari balik jendela ruang tamunya, Arif menatap rumah yang kini berdiri seperti makhluk hidup, dengan sudut-sudut yang seolah bernapas dan dinding yang berbisik.Wajahnya pucat, matanya sayu, tetapi jiwanya terikat lebih kuat dari sebelumnya pada ritual yang telah mengubah hidupnya menjadi labirin tanpa pintu keluar.Pikirannya melayang pada suara Mbah Mijan yang selalu mengiringi malam-malam panjangnya, mengingatkan apa yang harus dia lakukan."Bangunlah, Arif. Bangun untuk kekayaanmu. Untuk masa depan keluargamu." Namun, kalimat itu sekarang terasa seperti racun.Setiap kali Arif mencoba berhenti, mencoba menolak, dorongan itu selalu datang lagi lebih kuat, lebih mencekik.Hari itu, di depan rumahnya, tukang-tukang bekerja seperti biasa, mengangkat bata, m
Hujan deras masih mengguyur Desa Misahan, membawa hawa dingin yang meresap hingga ke tulang. Di dalam rumah besar Arif Mahoni yang terus berkembang namun tak pernah selesai, suasana semakin mencekam. Rumah itu kini seperti labirin kegelapan, tempat rahasia-rahasia kelam bersembunyi di setiap sudut.Arif duduk di ruang tamu, tatapannya kosong menembus dinding yang seolah berbisik. Di hadapannya, Lila sibuk merapikan meja makan, tetapi ada sesuatu yang aneh pada gerak-geriknya. Perhatiannya terpecah ketika Jatinegara, putra mereka, tiba-tiba berdiri di depan jendela besar dan bergumam dengan suara yang tidak wajar.“Kenapa mereka memanggilku, Ayah?” suara Jatinegara menggema rendah, seolah keluar dari tenggorokan orang dewasa, padahal anak itu baru berusia lima tahun.Arif terhenyak, darahnya seperti berhenti mengalir. Dia melangkah mendekati anaknya, lututnya terasa lemas. “Siapa yang memanggilmu, Nak?&r
Hujan deras masih setia mengguyur Desa Misahan, menciptakan irama mencekam di atap rumah besar Arif Mahoni.Rumah itu terus tumbuh, seolah memiliki nyawa sendiri, menuntut lebih banyak ruang, lebih banyak bahan dan entah bagaimana, lebih banyak pengorbanan. Namun, tak satu pun sudutnya yang benar-benar selesai.Bata-bata yang menumpuk seperti dibiarkan melupakan tujuan mereka, membentuk celah dan bayang-bayang gelap yang mengintai.Arif berdiri di depan lahan kosong di samping rumahnya. Tangan kirinya memegang rancangan pembangunan yang diberikan Mbah Mijan, sementara tangan kanannya menggenggam sekop yang terasa semakin berat.Mata Arif menatap garis-garis kasar di kertas itu, denah yang tak pernah jelas. Ada lingkaran-lingkaran aneh di beberapa sudut, membentuk simbol yang tidak dia mengerti.Dia bergumam pelan, hampir seperti bisikan, suaranya tenggelam oleh derasnya hujan."Kenapa aku harus menggali lagi? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?"Tangannya mengelus sudut kertas yang s
Arif meremas sekopnya lebih erat, matanya memerah menahan air mata. Semua ini dimulai dengan janji sederhana, kekayaan dan keamanan bagi keluarganya.Namun, semakin banyak dia membangun, semakin jauh Arif merasa dari kehidupan yang dia dambakan."Kenapa semua ini terasa salah? Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya, suara itu nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan.Ketika Arif kembali ke dalam rumah, malam sudah larut. Tubuhnya terasa remuk, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti bekerja."Ini semua demi mereka... demi Lila... demi Jatinegara..." bisiknya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Namun, bayangan janji-janji Mbah Mijan terus menghantui pikirannya.Arif berjalan melewati lorong-lorong rumah yang terasa semakin panjang. Setiap pintu yang dia lewati membawa desiran angin dingin yang berbisik."Rumah ini hidup... tapi kenapa rasanya seperti melawan aku?" Suaranya nyaris tak terdengar, seperti berbicara pada bayangannya sendiri.Arif membuka pintu ruang tidur Jatinegara dan menemukan
Dia berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Ruangan di baliknya gelap gulita, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang memancarkan kilau merah samar, berdenyut seperti api kecil yang hampir padam.Arif menelan ludah dan mendorong pintu itu lebih lebar. Di dalam, Jatinegara berdiri membelakanginya, menghadap dinding yang dipenuhi coretan kasar. Coretan itu tampak seperti simbol-simbol aneh yang sebelumnya dilihat Arif di rancangan Mbah Mijan.“Jatinegara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arif dengan hati-hati, suaranya bergetar.Anak itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya perlahan dan menyentuh salah satu simbol di dinding. Begitu jari kecilnya menyentuh permukaan, suara gemuruh terdengar, seperti napas panjang dari makhluk besar yang baru bangun tidur.“Jatinegara, berhenti!” Arif melangkah cepat, meraih anaknya.Tapi saat tangannya menyentuh bahu Jatinegara, dia merasakan sesuatu yang dingin, bukan kulit manusia, lebih seperti permukaan logam yang licin.Anak i
Waktu terasa semakin mencekam. Arif duduk terpaku di meja makan, memandangi makan malam yang terhidang di depannya tanpa nafsu.Lila dan Jatinegara duduk di seberangnya, namun mereka tampak jauh, seakan tidak ada hubungan darah di antara mereka. Arif merasa asing di rumahnya sendiri, tubuhnya masih gemetar setelah kejadian aneh."Mas, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," tanya Lila dengan cemas, menyentuh tangan Arif yang tergeletak di atas meja.Arif mengangkat wajahnya, matanya kosong, seperti tak melihat apa-apa. "Aku… aku merasa sesuatu yang aneh, Lila," katanya pelan. "Semakin lama, aku semakin merasa terperangkap dalam ritual ini."Lila menatap suaminya dengan bingung. "Kamu ngomong apa, Mas? Komat kamit tidak bersuara, apa maksudmu?"Arif mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela, tempat hujan mulai turun dengan derasnya.’Lila tidak mendengar kata-kataku ?&rsq
Lila menjerit. “LARI!!!”Mereka semua berbalik dan berlari secepat mungkin, menerobos jalanan berbatu yang penuh dengan reruntuhan.Di belakang mereka, suara langkah kaki yang patah-patah terdengar semakin dekat.Suara tulang-tulang yang berderak.Suara erangan dan jeritan yang bukan berasal dari manusia.Lila hampir terjatuh, tapi Jatinegara menarik tangannya, menyeretnya agar terus berlari.Arif berlari di depan mereka, menuntun jalan. “Kita harus sampai ke menara itu! Itu satu-satunya tempat yang cukup kuat untuk melindungi kita!”Wina menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka semakin dekat!”Lila mengerahkan semua tenaga yang tersisa. Paru-parunya terasa terbakar, otot-ototnya menjerit meminta istirahat.Tapi ia tahu, jika mereka berhenti, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sini.Mereka akhirnya sampai di tangga batu yang mengarah ke menara tinggi di tengah kota.
Lila merasakan tubuhnya jatuh ke dalam kegelapan yang seolah tidak berujung. Udara di sekitarnya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Rasanya seperti ditarik ke dalam kehampaan yang tidak memiliki dasar.Suara berbisik terus terdengar di telinganya."Kau telah menyerahkan sesuatu...""Kau tidak bisa kembali dengan utuh...""Kalian semua adalah bagian dari kami sekarang..."Lila berusaha berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran suara yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya. Matanya terbuka, namun yang ia lihat hanya bayangan hitam yang berkedip-kedip seperti ilusi.Brak!Tubuhnya menghantam sesuatu yang keras. Lila terbatuk, merasakan rasa sakit menjalar di punggungnya. Ia mencoba mengatur napas, tetapi paru-parunya terasa sesak, seperti udara di tempat ini lebih berat dari biasanya.Lila mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling.Ia tidak lagi berada di tanah kosong itu.Sebaliknya, ia kini b
“Lila! Jangan berhenti!” teriak Jatinegara, meraih tangannya.Lila tersentak, lalu kembali berlari meskipun seluruh tubuhnya terasa berat.Mereka akhirnya mencapai sebuah tanah lapang di tengah hutan. Tempat itu kosong, tidak ada pohon, hanya hamparan tanah kering yang retak-retak, seolah sesuatu pernah terbakar di sini.Tapi anehnya… begitu mereka sampai di tempat itu, suara gamelan mendadak berhenti.Sunyi.Tak ada suara burung malam, tak ada angin yang berhembus.Lila berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun, jantungnya masih berdetak kencang.Jatinegara menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Arif dengan tajam. “Apa yang barusan itu? Mereka hampir membuat kita gila!”Arif tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Ustadz Harman melangkah maju, matanya menyipit. “Tempat ini… terasa berbeda.”Wina
pikirannya kalut, dan rasa perih di perutnya semakin menjadi-jadi. Lila merasakan hal yang sama. Aromanya begitu menggoda, begitu nyata. Air liurnya hampir menetes saat ia melihat daging panggang yang tampak begitu renyah dan beraroma harum.Tanpa sadar, Jatinegara melangkah mendekati meja itu.Namun, sebelum tangannya sempat meraih makanan, Arif menepisnya keras.Plak!Jatinegara tersentak, menoleh marah. “Sialan, Ayah Arif! Kau kenapa?!”Arif tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan ketegangan, seolah ia melihat sesuatu yang mereka tidak bisa lihat.“Kalian tidak boleh menyentuh makanan ini.”Ustadz Harman, yang sejak tadi membaca situasi dengan hati-hati, langsung waspada. Wina menatap ke arah Arif dengan curiga.Lila yang masih terpengaruh aroma makanan mencoba mengabaikan peringatan Arif. “Tapi&hel
Crack...Semua orang menoleh. Boneka jerami yang tertancap paku di kepalanya kini bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu yang merayap di dalamnya.Crack. Crack.Tangan Lila gemetar. Ada sesuatu di dalam boneka itu. Kemudian, sebelum mereka sempat bereaksi.Boneka itu bergerak, lengan jeraminya terangkat sendiri. Jatinegara mundur selangkah, wajahnya menegang. “Sial… benda itu hidup?”Kemudian, suara lain mulai terdengar dari dalam kabut. Suara tawa pelan, bukan tawa manusia biasa. Itu suara yang terlalu dalam, terlalu parau, seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia tetapi tidak lagi.“Kalian… tidak seharusnya… berada di sini.” Lila merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.Bayangan-bayangan tinggi di balik kabut mulai bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang
Arif menatap sekeliling dengan tatapan tajam. “Setiap tempat seperti ini selalu memiliki kelemahan. Kita harus menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pola yang diciptakan oleh tempat ini.”Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Jadi kita mencari sesuatu yang aneh? Sesuatu yang berbeda?”Arif tersenyum tipis. “Tepat.”Jatinegara menghela napas. “Baiklah. Daripada kita diam di sini, lebih baik kita mulai mencari.”Lila mengumpulkan tenaga yang tersisa dan mulai berjalan bersama mereka.Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Mereka tidak akan menyerah begitu saja.Langkah mereka berat, tubuh mereka lelah dan kepala terasa pening karena kekurangan makanan dan air. Namun, mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Lila berjalan di samping Jatinegara, merasakan dinginnya udara yang semakin menusuk kulit. Kabut di
Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tanah kosong yang dulu merupakan hutan Srengege. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit tampak lebih gelap, meskipun bulan masih bersinar redup di atas kepala mereka.Arif berlutut, menempelkan tangannya ke tanah, lalu memejamkan mata.Lila, Jatinegara, Wina, dan Ustadz Harman hanya bisa menunggu dalam diam.Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergetar pelan.Lila menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat.Dan kemudian…Dari dalam tanah, muncul sesuatu.Bukan pepohonan, bukan kabut seperti sebelumnya. Tapi pintu kayu tua, setengah terkubur di dalam tanah.Ustadz Harman menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa ini…?”Arif membuka matanya dan menatap mereka. “Gerbang Kandang Bubrah.”
Udara malam terasa lebih berat, seolah menekan dada mereka dengan beban yang tak kasat mata. Kata-kata Arif masih menggantung di udara, mengendap dalam pikiran mereka.“Kalau begitu, bersiaplah. Karena perjalanan kalian baru saja dimulai.”Lila menatap tanah dengan pikiran yang berkecamuk. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri akibat luka di bahunya, tapi rasa takut dan penasaran yang menguasai pikirannya lebih besar daripada rasa sakit itu.Jatinegara berdiri dengan tubuh sedikit limbung, darah yang mengering di sudut bibirnya adalah bukti bahwa ia masih kesakitan setelah dihantam genderuwo. Namun, matanya tetap menyala penuh tekad.“Kalau gerbang Kandang Bubrah akan menemukan kita, itu berarti kita tidak punya pilihan selain menunggu?” tanya Wina, suaranya terdengar datar tapi penuh kewaspadaan.Arif menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. “Menunggu bukan pilihan. Kalian tidak punya banyak waktu.”Ustadz Harman menarik napas panjang. “Jadi bagaimana kita menemukannya?”Arif menat
Jatinegara yang masih kesakitan setelah dihantam genderuwo, mencoba berdiri lebih tegap. Wina membantu menopangnya, meski sorot mata wanita itu masih penuh waspada.Sementara Ustadz Harman berdiri dengan tangan menggenggam tasbihnya erat-erat.Arif menatap mereka satu per satu. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya—sesuatu yang belum ia ungkapkan.“Kau seharusnya sudah hilang,” kata Jatinegara akhirnya, suaranya serak karena rasa sakit.Arif tersenyum tipis. “Memang.”“Lalu kenapa kau di sini?” tanya Wina, matanya penuh selidik.Arif menghela napas sebelum menjawab, “Karena kalian masih belum keluar dari lingkaran ini.”Lila menegang. “Apa maksudmu?”Arif menatapnya dalam-dalam, seolah menimbang kata-katanya. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, ia berkata, “Ini belum selesai.”Kata-kata itu membuat bulu kuduk Lila meremang.Ustadz Harman mengernyit. “Kami sudah menghancurkan hutan Srengege. Kami menghapus namamu, menutup gerbangnya. Kenapa ini belum sel