Malam itu, suara derap langkah terdengar lagi. Semakin hari semakin jelas, seperti ada seseorang yang berjalan-jalan di dalam rumah. Arif menutup telinganya dengan bantal, mencoba mengabaikan suara itu. Namun, gemanya terus menghantui, semakin dekat, semakin mengintimidasi. Arif merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
"Ini hanya halusinasi," bisiknya pelan, meski dia tahu itu bohong.
Pagi harinya, Arif mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Dia menyibukkan diri dengan menghitung uang yang terus mengalir dari usahanya. Kini Arif memiliki banyak aset, dari sawah hingga toko kelontong besar di desa. Semua orang di Desa Misahan mulai memandangnya dengan rasa iri, tetapi di balik semua itu, Arif tahu harga yang dia bayar jauh lebih besar dari apa pun.
Lila, yang sedang hamil muda lagi, tampak semakin pucat dari hari ke hari. Dia mengeluh tentang sesuatu yang terus mengawasinya dari sudut-sudut rumah.
“M
Malam itu, Arif kembali ke Desa Srengege. Langit tampak lebih kelam dari biasanya, seperti diselimuti kabut pekat yang tidak kunjung hilang. Pohon-pohon jati di sepanjang jalan desa berdiri kaku, menciptakan bayangan menyeramkan yang bergerak seiring tiupan angin.Suara jangkrik yang biasanya menemani kesunyian malam kini lenyap, digantikan oleh suara tangisan bayi samar-samar yang terasa seperti datang dari segala arah.Arif mengatur napasnya, mencoba menghalau rasa takut yang terus menghantui. Tubuhnya terasa berat, seperti ada yang menekannya dari dalam. Di gubuk ritual yang terletak di tengah desa, Mbah Mijan sudah menunggu, dikelilingi oleh lingkaran api kecil yang menyala-nyala, menciptakan bayangan bergerigi di dinding bambu.“Kamu sudah siap?” suara parau Mbah Mijan memecah kesunyian, diiringi asap kemenyan yang menyesakkan dada.Arif mengangguk pelan, meski kakinya gemetar. Dalam hati, dia tah
Lorong rumah Arif tampak lebih panjang malam itu, dipenuhi kesunyian yang mengerikan. Cahaya lampu redup di langit-langit berayun pelan, menciptakan bayangan tak beraturan di dinding.Setiap langkah kaki Arif bergema, seolah-olah rumah itu hidup dan mengawasinya. Aroma apek kayu tua bercampur debu memenuhi udara, membuat napasnya terasa berat.Di tangannya, sebuah kunci tua berkarat bergoyang pelan, mengikuti irama langkahnya. Kunci itu diberikan oleh Mbah Mijan, sebuah simbol pengorbanan."Nyawa harus dibayar dengan nyawa," kata-kata itu terus terngiang di benaknya, menghantui setiap detiknya.Arif berhenti di depan pintu kayu tua yang tampak lebih besar dari biasanya. Di balik pintu itu, dia tahu, keputusan besar menantinya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya gemetar hebat.“Nyawa siapa kali ini?” bisiknya pelan, hampir seperti berharap tidak ada
Langit di atas Desa Misahan selalu kelabu sejak ritual terakhir Arif Mahoni. Hujan rintik-rintik turun sepanjang minggu, menciptakan genangan kecil di sekitar halaman rumahnya. Di depan rumah itu, lahan kosong yang dulu hanya ditumbuhi ilalang kini mulai berubah bentuk.Tumpukan bata merah, pasir dan semen tertata rapi seperti sedang menunggu tangan-tangan tak kasatmata untuk merakitnya menjadi sesuatu yang lebih besar.Arif berdiri di ambang pintu, menatap lahan itu dengan wajah kosong. Angin dingin menerpa, membawa aroma tanah basah bercampur bau besi tua yang berkarat. Tangannya menggenggam sebuah cetakan arsitektur kasar sketsa gedung megah yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, Arif tahu, ini bukan keinginannya. Semua perintah datang dari suara yang menghantui tidurnya."Bangun, Arif. Bangunlah untuk menjaga harta yang telah diberikan," suara Mbah Mijan terus menggaung di telinganya seperti mantra yang tak
Hujan deras mengguyur Desa Misahan, menciptakan simfoni ketukan air di atap rumah Arif Mahoni yang semakin megah dan ganjil. Dari balik jendela ruang tamunya, Arif menatap rumah yang kini berdiri seperti makhluk hidup, dengan sudut-sudut yang seolah bernapas dan dinding yang berbisik.Wajahnya pucat, matanya sayu, tetapi jiwanya terikat lebih kuat dari sebelumnya pada ritual yang telah mengubah hidupnya menjadi labirin tanpa pintu keluar.Pikirannya melayang pada suara Mbah Mijan yang selalu mengiringi malam-malam panjangnya, mengingatkan apa yang harus dia lakukan."Bangunlah, Arif. Bangun untuk kekayaanmu. Untuk masa depan keluargamu." Namun, kalimat itu sekarang terasa seperti racun.Setiap kali Arif mencoba berhenti, mencoba menolak, dorongan itu selalu datang lagi lebih kuat, lebih mencekik.Hari itu, di depan rumahnya, tukang-tukang bekerja seperti biasa, mengangkat bata, m
Hujan deras masih mengguyur Desa Misahan, membawa hawa dingin yang meresap hingga ke tulang. Di dalam rumah besar Arif Mahoni yang terus berkembang namun tak pernah selesai, suasana semakin mencekam. Rumah itu kini seperti labirin kegelapan, tempat rahasia-rahasia kelam bersembunyi di setiap sudut.Arif duduk di ruang tamu, tatapannya kosong menembus dinding yang seolah berbisik. Di hadapannya, Lila sibuk merapikan meja makan, tetapi ada sesuatu yang aneh pada gerak-geriknya. Perhatiannya terpecah ketika Jatinegara, putra mereka, tiba-tiba berdiri di depan jendela besar dan bergumam dengan suara yang tidak wajar.“Kenapa mereka memanggilku, Ayah?” suara Jatinegara menggema rendah, seolah keluar dari tenggorokan orang dewasa, padahal anak itu baru berusia lima tahun.Arif terhenyak, darahnya seperti berhenti mengalir. Dia melangkah mendekati anaknya, lututnya terasa lemas. “Siapa yang memanggilmu, Nak?&r
Hujan deras masih setia mengguyur Desa Misahan, menciptakan irama mencekam di atap rumah besar Arif Mahoni.Rumah itu terus tumbuh, seolah memiliki nyawa sendiri, menuntut lebih banyak ruang, lebih banyak bahan dan entah bagaimana, lebih banyak pengorbanan. Namun, tak satu pun sudutnya yang benar-benar selesai.Bata-bata yang menumpuk seperti dibiarkan melupakan tujuan mereka, membentuk celah dan bayang-bayang gelap yang mengintai.Arif berdiri di depan lahan kosong di samping rumahnya. Tangan kirinya memegang rancangan pembangunan yang diberikan Mbah Mijan, sementara tangan kanannya menggenggam sekop yang terasa semakin berat.Mata Arif menatap garis-garis kasar di kertas itu, denah yang tak pernah jelas. Ada lingkaran-lingkaran aneh di beberapa sudut, membentuk simbol yang tidak dia mengerti.Dia bergumam pelan, hampir seperti bisikan, suaranya tenggelam oleh derasnya hujan."Kenapa aku harus menggali lagi? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?"Tangannya mengelus sudut kertas yang s
Arif meremas sekopnya lebih erat, matanya memerah menahan air mata. Semua ini dimulai dengan janji sederhana, kekayaan dan keamanan bagi keluarganya.Namun, semakin banyak dia membangun, semakin jauh Arif merasa dari kehidupan yang dia dambakan."Kenapa semua ini terasa salah? Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya, suara itu nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan.Ketika Arif kembali ke dalam rumah, malam sudah larut. Tubuhnya terasa remuk, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti bekerja."Ini semua demi mereka... demi Lila... demi Jatinegara..." bisiknya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Namun, bayangan janji-janji Mbah Mijan terus menghantui pikirannya.Arif berjalan melewati lorong-lorong rumah yang terasa semakin panjang. Setiap pintu yang dia lewati membawa desiran angin dingin yang berbisik."Rumah ini hidup... tapi kenapa rasanya seperti melawan aku?" Suaranya nyaris tak terdengar, seperti berbicara pada bayangannya sendiri.Arif membuka pintu ruang tidur Jatinegara dan menemukan
Dia berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Ruangan di baliknya gelap gulita, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang memancarkan kilau merah samar, berdenyut seperti api kecil yang hampir padam.Arif menelan ludah dan mendorong pintu itu lebih lebar. Di dalam, Jatinegara berdiri membelakanginya, menghadap dinding yang dipenuhi coretan kasar. Coretan itu tampak seperti simbol-simbol aneh yang sebelumnya dilihat Arif di rancangan Mbah Mijan.“Jatinegara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arif dengan hati-hati, suaranya bergetar.Anak itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya perlahan dan menyentuh salah satu simbol di dinding. Begitu jari kecilnya menyentuh permukaan, suara gemuruh terdengar, seperti napas panjang dari makhluk besar yang baru bangun tidur.“Jatinegara, berhenti!” Arif melangkah cepat, meraih anaknya.Tapi saat tangannya menyentuh bahu Jatinegara, dia merasakan sesuatu yang dingin, bukan kulit manusia, lebih seperti permukaan logam yang licin.Anak i
Di dalam hatinya, Lila merasa terombang-ambing antara cinta dan amarah. Ia ingin menyelamatkan Arif, suami yang dulu ia cintai, namun ia juga tak bisa menahan rasa sakit dan kecewa atas keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini. Ia mulai bertanya-tanya apakah segala sesuatu yang mereka jalani, semua kebahagiaan mereka hanyalah ilusi yang dibangun di atas dosa dan pengorbanan.Lila duduk di samping Arif yang terbaring lemah, matanya menatap suaminya dengan penuh kecemasan."Arif..." suara Lila terhenti, terisak pelan. "Apa yang sudah kita lakukan? Kenapa kita harus terjerumus sejauh ini? Kenapa kamu memilih jalan ini?"Arif tidak menjawab. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin lemah. Hanya ada keheningan yang semakin menebal di antara mereka. Lila merasa seolah berada di persimpangan jalan yang gelap dan tak ada arah. Setiap pilihan yang ia pikirkan terasa salah. Namun, ia tidak bisa mundur sekarang.
Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Dengan hati yang hancur, ia merasakan keputusan yang harus diambil oleh suaminya.Di luar, warga desa mulai mendekati rumah Mahoni. Mereka sudah hampir mencapai gerbang, dan suara mereka semakin mendekat. Lila berlari keluar, menatap mereka dengan tatapan penuh kebingungan dan kesedihan."Mereka datang," kata Lila, suaranya serak. "Arif... mereka datang."Arif menatap Lila dengan tatapan terakhir yang penuh dengan pengorbanan. "Lila... ini waktunya. Aku siap. Jagalah Jatinegara."Dengan langkah berat, Lila mengangguk, mengucapkan selamat tinggal pada Arif dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ia akan kehilangan pria yang pernah ia cintai, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari kutukan yang telah menghancurkan mereka.Arif, dalam pengor
Ketegangan di rumah Arif semakin memuncak. Warga desa yang marah telah memasuki halaman rumah dengan penuh amarah, memaksa Lila untuk segera mengambil keputusan.Setiap langkah mereka terasa seperti petir yang mengguncang dunia yang sudah hancur di sekelilingnya. Suara teriakan semakin keras, semakin mendekat ke pintu rumah, dan Lila merasa terjebak antara rasa takut dan kebingungan yang tak terungkapkan.Arif terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, tubuhnya ringkih. Hidungnya mencium bau darah yang samar-samar, dan napasnya semakin terengah. Namun, meskipun tubuhnya tak lagi kuat, matanya yang penuh penyesalan masih tampak terang dengan perasaan yang dalam. Kini, dia tahu bahwa dia harus memilih jalan yang tak bisa kembali.Lila mendekat, duduk di sisi tempat tidur Arif. "Arif," suara Lila bergetar. "Kita... kita bisa melarikan diri. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Kita bisa… kita bisa pergi jauh dari
Setelah beberapa waktu berdiskusi, mereka sepakat untuk bertindak. Dengan penuh semangat, mereka bergerak menuju rumah Mahoni, dengan langkah-langkah cepat dan penuh tekad.”Kalau tidak bergerak sekarang, Arif bisa kabur,” ujar salah satu warga memprovokasi.”Betul! Betul! ” Serentak sorakan lantang tu menyeruak ke udara memenuhi desa Misahan.Namun, perjalanan itu tak berlangsung tanpa halangan. Mereka tahu bahwa jika mereka menyerang rumah Mahoni, mereka harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Tetapi rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan lebih besar dari ketakutan apapun.Sementara itu, di rumah Mahoni, Lila sedang berusaha menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap. Dia merasa terjebak antara rasa cinta dan kebencian, antara keinginan untuk membangun kembali hidupnya dan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Namun, hari itu, saat ia sedang duduk sendiri di ruang tamu, terdengar suara langkah-langkah yang mendekat. Ia mendengar bisikan yang semakin keras dari luar,
Arif terdiam. Ia tidak bisa melihat mata Lila, hanya menatap kosong ke dinding. "Aku... aku sengaja melakukan inseminasi dengan donor. Agar kau tetap bisa punya keturunan. Aku takut, Lila, kalau anak-anak kita adalah keturunan Mahoni, mereka akan menjadi tumbal ritual ini. Sebab itu Jatinegara aman saat ini, tidak ada setetespun darah Mahoni dalam tubuhnya," kata Arif, suara penuh keraguan.Lila terperanjat, hatinya seperti dipenuhi oleh amarah yang membakar. "Jadi, kau melakukan semua itu demi kekuatan dan kekayaan, Arif? Semua yang kita jalani selama ini, semua kebahagiaan kita, hanyalah kebohongan?!" Lila merasa tubuhnya semakin lemas. Semua yang ia percayai selama ini ternyata sebuah ilusi.Arif menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu lagi, Lila. Aku sudah terjebak dalam ini. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa hidup lebih baik... Aku hanya ingin kau bahagia," ucap Arif dengan suara tercekat.Lila merasa hatiny
Lila duduk di sudut ruang tamu, matanya kosong menatap jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berat, menambah beban kecemasan yang sudah lama menggerogoti hatinya.’Kenapa begini, kamu janji waktu dulu akan terus bersamaku. Kenapa begini, Arif . Aku mohon kamu bisa,’ harap Lila di dalam hati.Di depannya, Arif terbaring lemah di atas sofa. Tubuhnya tampak semakin kurus, wajahnya pucat, seolah-olah hidupnya tergantung pada seutas benang. Penyakit yang menggerogoti tubuh Arif memperburuk keadaannya, membuatnya lebih mudah terperangkap dalam dunia gaib yang semakin menguasainya. Suaminya yang dulu penuh semangat kini hanya tampak seperti bayangan.Lila memandang Arif dengan hati yang penuh keraguan dan rasa sakit. Ia tahu suaminya bukanlah orang yang sama lagi. Arif berbicara tanpa arah, matanya kosong, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri seperti berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat Lila."Arif," Lila memanggil, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padamu? Ap
125Arif duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya yang dulu gagah kini terlihat rapuh, wajahnya pucat, penuh keriput, dan jauh dari semangat hidup. Tangannya menggenggam bingkai foto Afifah, keponakannya yang telah tiada. Setiap malam, wajah Afifah menghantuinya, seperti menuntut jawaban atas semua keputusan kelamnya di masa lalu."Afifah... maafkan Om," bisiknya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Lila melangkah mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu suaminya semakin larut dalam rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana cara menolongnya."Arif, kamu harus makan. Tubuhmu makin lemah," ucapnya lembut, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam.Arif hanya menggeleng pelan. "Untuk apa makan, Lila? Hidupku sudah selesai sejak Afifah pergi."Lila terdiam, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa duka yang mengikat suaminya.Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di tengah keheningan,
Beberapa hari setelah itu, Wina datang sendirian ke rumah Arif. Ia menemui pria itu di ruang tamu, yang kini berantakan. Foto-foto keluarga berserakan di lantai, dan bau pengap memenuhi ruangan. Wina duduk di depan Arif, mencoba menatapnya dengan penuh simpati.“Kak Arif,” katanya pelan, “Aku tahu ini berat. Tapi desas-desus di desa sudah tidak terkendali. Mereka terus menyalahkan Danyang, dan banyak yang percaya bahwa ini semua karena pesugihanmu.”Arif mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, dan wajahnya penuh kelelahan. “Apa pun yang mereka katakan… mereka benar,” katanya akhirnya, suaranya serak.Wina terkejut. “Apa maksud Kakak? Walau aku tau hal ini sejak lama. Tapi, seharusnya kakak jangan bicara seperti itu.” Protesnya dengan hati-hati.“Aku sudah melakukan dosa besar, Wina. Dosa yang tidak akan pernah bisa aku tebus.” Arif menunduk lagi, tangannya menggenggam erat lututnya. “Afifah… dia adalah tumbal terakhir. Semua ini salahku.”Wina menggeleng pelan, mencoba memproses
Desa mulai bergemuruh dengan desas-desus setelah tubuh Afifah ditemukan di hutan dalam keadaan yang mengenaskan. Penduduk desa berbisik-bisik di sudut-sudut jalan dan di pasar kecil, menciptakan suasana penuh ketegangan."Aku dengar tubuhnya ditemukan di dekat pohon besar yang katanya angker itu," bisik seorang perempuan tua pada temannya, matanya menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar."Ya, dan ada bekas cakar di lengannya. Kau tahu apa artinya, bukan?" balas temannya dengan suara lirih."Danyang! Sudah jelas ini ulah Danyang hutan itu. Kita sudah diperingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan hutan," tambah seorang lelaki paruh baya yang bergabung dalam obrolan itu.Namun, suara seorang pemuda terdengar dengan nada serius. "Tapi... ada yang bilang ini bukan hanya soal Danyang. Kau dengar cerita tentang Arif?""Arif? Maksudmu, Pamannya Afifah?" perempuan tua itu bertanya dengan mata membesar.Pemuda itu mengangguk pelan, lalu menurunkan suaranya. "Ada yang melihat dia b