Udara malam terasa lebih berat.
Lila masih memeluk Jatinegara erat, menangis dalam diam.
Anaknya selamat.
Dimas berdiri di sampingnya, menatap tanah kosong tempat rumah pria tua itu berdiri beberapa menit yang lalu.
Tidak ada apa-apa di sana.
Hanya tanah kosong.
Seolah-olah rumah itu tidak pernah ada sebelumnya.
Ustadz Harman menghela napas panjang, lalu menatap mereka dengan mata yang masih dipenuhi kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang."
Dimas mengangguk cepat. "Ya, aku juga tidak ingin berada di tempat ini lebih lama."
Mereka semua berjalan cepat menuju mobil yang mereka parkir di luar desa.
Namun, saat mereka melewati gerbang Desa Pagerwesi, sesuatu terasa aneh.
Lila berhenti.
Dimas menoleh. "Kenapa?"
Lila menggigit bibirnya.
Dia tidak yakin, tapi…
Saat mereka pertama kali datang ke desa ini, suasananya terasa berat, penuh bisikan, dan seperti dihuni oleh sesuatu yan
Malam itu, Lila tidak bisa tidur.Jatinegara sudah terlelap di sampingnya, napasnya teratur, wajahnya terlihat damai.Tapi Lila tidak bisa menghilangkan suara bisikan tadi dari pikirannya."Ibu… kita belum selesai…"Lila menggenggam tangannya erat.Apakah dia hanya berhalusinasi?Atau ada sesuatu yang masih terikat pada anaknya?***Pagi harinya, saat Lila turun ke dapur, Dimas sudah duduk di meja makan, wajahnya tampak tegang."Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakan Jatinegara semalam," katanya pelan.Lila duduk di depannya. "Aku juga…"Ustadz Harman datang dengan membawa secangkir teh hangat. "Aku sudah meneliti sesuatu sejak semalam."Dimas mengernyit. "Meneliti apa?"Ustadz Harman meletakkan secangkir teh di depan mereka, lalu berkata dengan suara serius."Kutukan ini mungkin belum benar-benar hilang."Lila langsung menegang. "Tapi kita sudah menghancu
Lila merasa darahnya membeku.Nama itu terus terngiang di dalam kepalanya.Ibunya Arif.Satu-satunya anggota keluarga Arif yang masih hidup selain Jatinegara.Tapi bagaimana mungkin?Ibu Arif tidak pernah menunjukkan tanda-tanda keterlibatan dalam pesugihan ini.Dia adalah wanita tua yang selalu tampak sakit-sakitan, yang sering menangis di pemakaman Arif, yang selalu berkata bahwa dia kehilangan satu-satunya anaknya.Tidak mungkin dia bagian dari ini… kan?Lila menatap Ustadz Harman dengan wajah penuh kecemasan. "Bagaimana bisa? Apa mungkin… dia yang membuat perjanjian itu sejak awal?"Ustadz Harman menggeleng. "Bukan dia yang pertama kali membuat perjanjian."Dimas menyipitkan mata. "Lalu?"Ustadz Harman menghela napas panjang."Tapi dia mungkin orang terakhir yang masih menjaga jalannya perjanjian ini."Dimas mengepalkan tangannya. "Sial… kita harus menemuinya sekarang juga!"Lila me
Tubuh ibu Arif tergeletak di lantai, tak bergerak.Dimas masih memegang keris erat di tangannya, matanya tajam menatap tubuh wanita tua itu, bersiap jika sesuatu terjadi lagi.Lila berlutut, mengguncang bahu wanita itu. "Bu Wati? Bu?"Tidak ada jawaban.Ustadz Harman meletakkan dua jarinya di leher wanita itu, mencoba merasakan denyut nadi.Beberapa detik berlalu.Lalu, dia menarik napas dalam."Dia sudah pergi."Lila merasakan tubuhnya melemas.Dia tidak pernah benar-benar menyukai ibu Arif. Tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa wanita itu akan mati seperti ini.Dimas mengepalkan tangannya. "Apa ini berarti pesugihan akan berhenti?"Ustadz Harman menggeleng pelan. "Tidak. Justru sekarang mereka akan lebih agresif."Lila menatapnya panik. "Apa maksud Ustadz?"Ustadz Harman menatap tubuh ibu Arif dengan ekspresi muram."Tadi dia bilang bahwa dia yang menahan pesugihan itu selama ini
Mobil melaju kencang di jalanan sepi menuju Kandang Bubrah.Tidak ada yang berbicara.Hanya suara deru mesin dan napas mereka yang berat.Lila duduk di kursi belakang, memeluk Jatinegara erat, seolah-olah jika dia melepaskannya, anak itu akan menghilang.Jatinegara tidak menangis.Tidak bicara.Dia hanya duduk diam, menatap ke luar jendela dengan mata kosong.Seolah-olah dia sudah tahu apa yang menunggunya di sana.Dimas menekan pedal gas lebih dalam. "Kita hampir sampai."Ustadz Harman terus membaca doa dengan suara rendah.Angin di luar semakin kencang.Langit tidak lagi berwarna hitam biasa—tetapi merah gelap, seperti api yang terpendam di balik awan tebal.Semakin dekat mereka ke lokasi, udara semakin terasa berat, seolah-olah tempat itu tahu bahwa mereka akan datang.Dan ketika akhirnya mereka tiba—Lila merasakan darahnya berhenti mengalir.***Kandang Bubrah masih a
CETAK!Dimas menusukkan kerisnya ke dada Arif.Darah tidak mengalir.Sebaliknya, tubuh Arif mulai retak, seperti kaca yang pecah.Lila menahan napas, tubuhnya membeku.Jatinegara menutup matanya erat, melingkarkan tangannya di leher ibunya, gemetar ketakutan.Tapi Arif—atau sesuatu yang telah mengambil tubuhnya—hanya tersenyum lebih lebar."Kalian benar-benar berpikir… ini akan menghentikanku?"Dimas mencoba menarik kerisnya kembali, tetapi tangan Arif mencengkeram pergelangannya.Dimas tersentak.Genggaman itu dingin… seperti tangan mayat yang sudah lama membusuk.Mata Arif menatapnya dalam-dalam."Ini… baru saja dimulai."Lalu—BAM!Dimas terpental ke belakang, tubuhnya menghantam tanah keras.Lila menjerit, "DIMAS!"Tapi sebelum dia bisa bergerak, sesuatu yang mengerikan terjadi.Jasad Arif mulai ban
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu
Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi
Pagi itu, suasana rumah dipenuhi keheningan yang bukan berasal dari ketenangan, tapi dari sesuatu yang menggantung, belum selesai, dan terus mengintai. Lila bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai, namun ia sudah duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab, dan napasnya pendek-pendek. Ia tidak benar-benar tidur semalam.Dimas sudah di dapur, memanaskan air. Wajahnya sama letih. Ia belum bercerita bahwa malam sebelumnya, ia mendengar suara ketukan pelan dari balik dinding kamarnya sendiri. Ketukan yang berirama. Seolah seseorang mencoba mengetuk... dan mengetuk... meminta diizinkan masuk.“Pagi ini kita ke rumah Bu Retno. Habis itu, kita cari orang pintar yang bisa bantu,” ujar Dimas tanpa menoleh.Lila hanya mengangguk. Ia tak punya tenaga untuk membantah. Ia hanya tahu, apa pun yang mengikuti mereka, itu bukan hanya dari rumah Pak Bagas. Mungkin dari masa lalu mereka sendiri, dari tanah yang pernah terjamah keg
"Jati, ayo minum susunya dulu," panggilnya sambil meletakkan gelas di meja kecil.Anaknya menoleh, lalu berdiri pelan dan menghampiri. “Bu... aku tadi nggak sendirian.”Lila menelan ludah. “Di mana?”“Di kamar. Waktu aku ambil kertas. Ada suara bilang, ‘Ayo gambar aku lagi.’ Terus... aku dengar suara gesek-gesek dari dalam lemari.”Lila segera memeluk anaknya. Wajah Jatinegara dingin dan tubuhnya sedikit menggigil meski cuaca tidak terlalu dingin. Ia tahu tak bisa lagi menganggap semua ini sebagai halusinasi anak-anak.“Suara itu kayak... pelan banget, Bu. Tapi aku tahu dia ada di sana. Suaranya kayak bisikan yang nyangkut di kepala.”Setelah Jatinegara tertidur di kamarnya—dipenuhi oleh lampu tidur, kantong pelindung dari Bu Ngatmi, dan doa-doa yang ia baca dengan suara bergetar—Lila duduk di ruang tamu bersama Dimas. Mereka berdua tak bicara lama. Hanya diam dan saling bertukar pandang. Saling tahu bahwa sesuatu sedang berjalan di luar batas pemahaman mereka.“Besok kita ke rumah Bu
Tiba-tiba, suara dari kamar Jatinegara memecah keheningan.“BUUUU!!”Lila berlari masuk, diikuti Dimas. Jatinegara duduk di atas ranjang, tubuhnya gemetar hebat.“Dia di dalam dinding! Dia ngomong sama aku!” teriaknya.Lila memeluk anaknya erat. “Tenang... tenang sayang, Ibu di sini.”Dimas menyalakan senter dari ponselnya dan menyorot ke arah dinding yang ditunjuk. Tidak ada apa-apa. Hanya cat putih polos.Tapi ketika mereka mendekat, terlihat sesuatu yang membuat napas mereka tercekat.Jejak tangan. Kecil. Seperti tangan anak-anak. Tertempel samar di permukaan dinding, tepat di atas sandaran ranjang Jatinegara. Jejak itu tidak seperti bekas tangan biasa. Bentuknya aneh. Jari-jarinya lebih panjang, dan susunannya tidak sempurna.“Jangan-jangan... ini bukan Aldi,” bisik Lila.Dimas mengusap wajahnya. “Besok kita bersihkan temboknya. Malam ini, Jati tidur sama kita.”Dan malam itu, mereka bertiga tidur di ruang tengah. Semua lampu dibiarkan menyala. Tapi tetap saja, di antara sela-sela
Dimas membaca situasi dalam sekejap. Ia duduk di lantai di samping anaknya. “Jati, kamu tahu nggak kalau gambar bisa menyimpan energi?”Jatinegara mengangguk pelan. “Kayak buku cerita yang hidup, kan?”“Iya. Makanya, nanti gambar ini kita simpan dulu, ya. Jangan tempel di dinding kamar.”Jatinegara menurut, meski tampak sedikit enggan.Hari itu berjalan tenang, tapi tidak sepenuhnya lepas dari rasa waspada. Saat sore menjelang, Lila memberanikan diri untuk berjalan ke rumah seberang. Ia mengetuk pintu rumah Pak Bagas. Tidak ada sahutan. Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tak ada jawaban. Tapi jendela di lantai atas terlihat sedikit terbuka, tirainya bergerak perlahan meski angin nyaris tidak terasa.Saat ia hendak berbalik, pintu terbuka setengah.Seorang pria dengan wajah lelah dan kantong mata dalam menatap dari balik celah. “Ada perlu, Bu?”Lila tersenyum sopan. “Maaf, Pak. Saya Lila, dari seberang. Anak saya bilang semalam bertemu dengan Aldi. Saya cuma ingin memastikan..
Pagi pertama di rumah baru dimulai dengan aroma roti bakar dan suara sepeda motor yang melintas di depan gang. Lila membuka jendela dapur dan menyambut sinar matahari dengan napas panjang. Udara di lingkungan itu berbeda. Ramai, tapi tidak berisik. Hiruk-pikuknya justru terasa hidup, bukan membebani.Jatinegara duduk di ruang tamu, mengenakan seragam sekolah barunya. Kemeja putih, celana abu-abu, dan sepatu hitam yang masih mengilap. Di tangannya ada bekal berisi roti keju dan selembar surat kecil dari ibunya yang ditulis malam sebelumnya.“Kamu gugup?” tanya Lila sambil memeriksa kerah seragam anaknya.“Sedikit,” jawab Jatinegara jujur. “Tapi aku juga penasaran. Mungkin di sekolah ini nggak ada yang bisa lihat... bayangan-bayangan kayak dulu.”Lila menunduk dan mengecup kening anaknya. “Kalau pun ada, kamu tahu caranya tetap kuat.”Dimas yang berdiri di dekat pintu memberi kode. “Ayo, kita antar Jati dulu. Nanti aku lanjut ke bengkel motor.”Setelah mengantar Jatinegara ke sekolah da
“Bu, itu rumahnya?” tanya Jatinegara, menempelkan wajah ke kaca mobil yang sedikit berembun. Suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi juga hati-hati—seperti masih belum yakin apakah mereka benar-benar sudah sampai di tempat yang aman.Lila menoleh ke luar, melihat bangunan sederhana dengan dinding abu-abu dan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Ia mengangguk pelan. “Iya, Nak. Itu rumah kita sekarang.”Jatinegara diam sesaat, lalu menoleh pada ibunya. “Apa di sini nanti nggak ada suara-suara aneh lagi?”Lila tersenyum lembut, mengusap kepala anaknya. “Nggak ada, Sayang. Tempat ini baru. Bersih. Kita mulai hidup yang baru di sini.”Dimas yang duduk di depan menambahkan, “Nggak besar. Tapi cukup buat kita bertiga. Dan yang paling penting, tempat ini belum punya cerita buruk.”“Berarti kita bisa mulai dari awal, ya?” Jatinegara masih menatap rumah itu, matanya menyipit kar
Hari terakhir di rumah tua itu tiba lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Matahari baru saja menyembul dari balik bukit ketika Lila membuka jendela dan menghirup udara pagi yang basah. Kabut tipis menggantung rendah di halaman, seperti selimut terakhir yang diberikan alam pada tempat itu sebelum perpisahan yang tak terhindarkan.Bau kayu, tanah lembap, dan wangi samar dari bunga melati liar yang tumbuh di sudut pagar memenuhi udara. Rasanya seperti aroma yang menempel dalam ingatan, seolah rumah itu sendiri menginginkan mereka untuk tetap tinggal, meskipun Lila tahu sudah waktunya untuk pergi. Dimas sedang mengikat barang-barang di atas motor gerobak sewaan yang akan mengangkut sebagian besar milik mereka ke tempat baru di kota sebelah. Pekerjaannya tampak terburu-buru, tetapi dia terlihat seperti tidak memperhatikan apapun selain tugasnya. Di belakangnya, suara gemericik ranting yang bergesekan dengan angin terdengar semakin keras, seperti ada yang mencoba untuk mengingatk